Belum Pernah Dilakukan Rasulullah SAW itu Belum Tentu Dilarang
Belum Pernah Dilakukan Rasulullah SAW itu Belum Tentu Dilarang - Dalam diskusi di Mushalla al-Fitrah, Jl.
Gunung Mangu, Monang Maning Denpasar, pada akhir Juli 2010, ada seorang Wahhabi
berinisial HA berkata: “Ustadz, Rasulullah SAW tidak pernah mengumpulkan para
sahabat, lalu membaca Surat Yasin secara bersama-sama. Oleh karena itu, berarti
tradisi Yasinan itu bid’ah dan tidak boleh dilakukan.” Demikian kata HA dengan
suara agak berapi-api.
Pernyataan HA tersebut saya jawab:
“Sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, atau para sahabat dan
ulama salaf itu belum tentu dilarang atau tidak boleh. Berdasarkan penelitian
terhadap hadits-hadits Nabi SAW, al-Hafizh Abdullah al-Ghumari menyimpulkan,
bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW mengandung beberapa
kemungkinan:
Pertama, Nabi SAW meninggalkannya karena
tradisi di daerah beliau tinggal. Nabi SAW pernah disuguhi daging biawak yang
dipanggang. Lalu Nabi M bermaksua menjamahnya dengan tangannya. Tiba-tiba ada
orang berkata kepada beliau: “Itu daging biawak yang dipanggang.” Mendengar
perkataan itu, Nabi SAW tidak jadi memakannya. Lalu beliau ditanya, “Apakah
daging tersebut haram?” Beliau menjawab: “Tidak haram, tetapi, daging itu tidak
ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak selera.” Hadits ini terdapat dalamShahih al-Bukhari
dan Muslim.
Kedua, Nabi SAW meninggakannya karena
lupa. Suatu ketika Nabi SAW lupa meninggalkan sesuatu dalam shalat. Lalu beliau
ditanya, “Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?” Beliau menjawab: “Saya juga
manusia, yang bisa lupa seperti halnya kalian. Kalau aku lupa meninggalkan
sesuatu, ingatkan aku.”
Ketiga, Nabi SAW meninggalkannya
karena khawatir diwajibkan atas umatnya. Seperti Nabi SAW meninggalkan shalat
tarawih setelah para sahabat berkumpul menunggu untuk shalat bersama beliau.
Keempat, Nabi SAW meninggalkannya karena
memang tidak pemah memikirkan dan terlintas dalam pikirannya. Pada mulanya Nabi
SAW berkhutbah dengan bersandar pada pohon kurma dan tidak pemah berpikir untuk
membuat kursi, tempat berditi ketika khutbah. Setelah sahabat mengusulkannya,
maka beliau menyetujuinya, karena dengan posisi demikian, suara beliau akan
lebih didengar oleh mereka. Para sahabat juga mengusulkan agar mereka membuat
tempat duduk dari tanah, agar orang asing yang datang dapat mengenali beliau,
dan temyata beliau menyetujuinya, padahal belum pernah memikirkannya.
Kelima, Nabi SAW meninggalkannya karena
hal tersebut masuk dalam keumuman ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-haditsnya,
seperti sebagian besar amal-amal mandub (sunnat) yang beliau tinggalkan karena
sudah tercakup dalam firman Allah :
“Lakukanlah
kebaikan, agar kamu menjadi orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Hajj: 77).
Keenam, Nabi SAW meninggalkannya
karena menjaga perasaan para sahabat atau sebagian mereka. Nabi bersabda kepada
Aisyah: “Seandainya kaummu belum lama meninggalkan kekufuran, tentu Ka’bah itu
aku bongkar lalu aku bangun sesuai dengan fondasi yang dibuat oleh Nabi Ibrahim
karena orang-orang Quraisy dulu tidak mampu membangunnya secara sempuma.”
Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Nabi SAW tidak
merekonstruksi Ka’bah karena menjaga perasaan sebagian sahabatnya yang baru
masuk Islam dari kalangan penduduk Makkah.
Kemungkinan juga Nabi SAW meninggalkan
suatu hal karena alasan-alasan lain yang tidak mungkin diuraikan semuanya di
sini, tetapi dapat diketahui dari meneliti kitab-kitab hadits. Belum ada suatu
hadits maupun atsar yang menjelaskan bahwa Nabi SAW meninggalkan
sesuatu karena hal itu diharamkan. Demikian pernyataan al- Hafizh Abdullah
al-Ghumari dengan disederhanakan.
Berkaitan dengan membaca al-Qur’an atau
dzikir secara bersama, al-Imam al-Syaukani telah menegaskan dalam kitabnya, al-Fath
al-Rabbai fi Fatawa al-Imam al-Syaukani sebagai berikut:
“Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an
ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan
dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan
suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian
anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.” (Syaikh al-Syaukani, Risalah al-Ijtima’
‘ala al-Dzikir wa al-Jahr bihi, dalam kitab beliau al-Fath al-Rabbani min
Fatawa al-Imam al-Syaukani, hal 5945).
Pernyataan al-Syaukani di atas, adalah
pernyataan seorang ulama yang mengerti al-Qur’an, hadits dan metode pengambilan
hukum dari al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan pernyataan al-Syaukani di atas,
membaca al-Qur’an bersama-sama tidak masalah, bahkan dianjurkan sesuai dengan
ayat-ayat al-Qur’an yung menganjurkan kita memperbanyak dzikir kepada Allah
dengan cara apapun.
Sumber: Buku Pintar
Berdebat Dengan Wahhabi karya Ust. Muh. Idrus Ramli
0 Response to "Belum Pernah Dilakukan Rasulullah SAW itu Belum Tentu Dilarang"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!