NU dan Bid’ah? Siapa Takut!
NU dan Bid’ah? Siapa Takut! - BID’AH! Tiba-tiba kata itu populer lagi,
setelah untuk beberapa tahun terkubur oleh realitas yang sungguh menyejukkan.
Kemesraan yang terjalin antar umat Islam tanpa membedakan pemahaman
keberagamaannya. Namun sayang, kemesraan itu kini terancam berantakan seiring
dengan massifnya gerakan- gerakan yang menamakan diri sebagai kelompok
purifikasi (pemurnian) agama dari bid’ah, ta- khayyul dan khurafat dalam beberapa
tahun belakangan ini. Dengan segala daya upaya tanpa mengenal waktu dan tempat
mereka melakukan “intimidasi” dengan menuduh mereka melakukan bid’ah,
melakukan gajuatu yang menurut mereka syirik dan sesat, bahkan ada yang melakukan
takfir (pengkafiran). Dalam beberapa kasus mereka malah “mengambil alih”
managemen masjid dan mengganti atau menghapus kegiatan masjid dengan hal-hal
yang menurut mereka paling benar dan murni. Tak pelak ini menimbulkan gejolak
di kalangan masyarakat yang nantinya akan berpeluang memunculkan konflik.
NU adalah golongan yang selama ini
sering dituduh sebagai pelopor praktik bid’ah, takhayyul dan khurofat. Ini
tidak lepas dari tradisi tahlil, istighotsah, diba’ dan ziarah kubur ke makam
para wali yang memang banyak diiakukan oleh warga NU. Alhasil, bagi mereka NU
adalah bid’ah maker (pencipta bid’ah). Bagi mereka semua bid’ah adalah sesat.
Tidak perlu ada peninjauan makna bid’ah. Tidak perlu ada pembagian bid’ah
hasanah dan dlalalah. Kullu bid’atin dlolalah. Titik! Tanpa kecuali! Mereka
lupa (atau tidak tahu ?) bahwa sayyidina Umar RA pernah berkata:
“Inilah sebaik-baik bid’ah”
Kata-kata itu diucapkannya ketika
sahabat lain menegurnya karena meyelenggarakan shalat tarawih berjama’ah dengan
20 rakaat di masjid Nabawi selama satu bulan penuh. Ini adalah sesuatu yang
pada masa Nabi tidak pernah dilakukan. Demikian juga dengan pembukuan al-Quran
(baca: Mushaf), baik pembukuan pertama pada masa Abu Bakar RA maupun pembukuan
kedua pada masa Utsman bin Affan RA yang pada masa Rasulullah SAW belum
dilakukan atau tidak dilakukan.
Dakwah Kultural NU dan Bid’ah
Berbeda dengan dakwah Islam di Asia
Barat, Afrika, dan Eropa yang dilakukan dengan penaklukan; masuknya Islam ke
Indonesia adalah dengan cara damai, yakni dengan pendekatan pada masyarakat
pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya Islam dan budaya lokal).
Berdasarkan literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah
perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus).
Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat
persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab
menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika
singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan dalam Kanzul ‘Ulum bahwa di Aceh
telah tersebar pengikut madzhab Syafii. Tapi baru abad 9 H (XV M) penduduk
pribumi memeluk Islam secara massal. Inilah masa dakwah Walisongo yang konon
datang ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I Turki dengan menjadikan
budaya dan tradisi lokal sebagai sarana atau media dakwah. Style inilah yang
disebut dengan dakwah kultural yang dikembangkan oleh Walisongo, sebagaimana
dijelaskan dalam beberapa literatur seperti “Ensiklopedi Islam”, “Tarikhul
Auliya” (Bisri Mustofa), “Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia” (KH Saifuddin Zuhri), “Sekitar Walisanga” (Solihin Salam) dan “Ulama
Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya”.
Sebelum Islam masuk, mayoritas penduduk
Indonesia beragama Hindu dan Budha, sehingga budaya dan tradisi lokalnya amat
kental diwarnai kedua agama tersebut. Oleh Walisongo, budaya dan tradisi lokal
ini tidak dianggap sebagai “musuh agama” yang harus dibasmi selama tak ada
larangan dalam syariat. Justru sebaliknya, tradisi tersebut di- manfaatkan
sebagai sarana atau media dakwah.
Kecintaan masyarakat Jawa pada kesenian
dimanfaatkan oleh Walisongo dengan menciptakan tembang-tembang berisi ajaran Islam
berbahasa Jawa. Pertunjukan wayang diisi dengan lakon Islami. Kebiasaan
berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu diisi pembacaan kalimat thayyibah
(dzikir dan doa). Kebiasaan menyediakan makanan untuk anggota keluarga yang
meninggal dunia diubah menjadi sedekah kepada para tetangga yang berkumpul
untuk berdoa. Bahkan Sunan Ampel—yang dikenal sangat hati- hati—menyebut shalat
dengan kata sembahyang (dari asal kata sembah dan Hyang) dan menamai tempat
ibadah dengan langgar, mirip kata sanggar pada pemeluk Hindu. Bangunan masjid
dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat,
bahkan masjid Kudus dileiigkapi menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu,
untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang
menurut sebagian sejarawan mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha
untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama mereka.
Model dakwah kultural sebagaimana yang
dipraktekkan oleh Walisongo itulah yang oleh Nahdlatul Ulama terus dipelihara
dan dikembangkan di Indonesia ini dengan prinsip “al-muhafadhah ‘alal qadimish
shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah”. NU amat terbuka dengan hal-hal baru yang
membawa kepada kebaikan, termasuk tidak keberatan (amat mendukung) model dakwah
dengan media televisi, telepon genggam, internet, atau apapun sesuai dengan
perkembangan zaman dan tingkat kecerdasan (khootibun nasa biqodri ‘uqulihim)
serta kecenderungan obyek dakwah (umat) selama tidak bertentangan dengan
hukum-hukum syara’. Sungguh amat menggelikan kelompok yang gigih menuduh pihak
lain sebagai pelaku bid’ah (sesat) dengan alasan praktik tersebut tidak ada
pada masa Nabi tapi ternyata mereka berdakwah lewat televisi dan internet.
Tidakkah itu juga tidak ada pada masa Nabi dan Nabi juga tidak pernah melaku- kannya
? Tidakkah berarti mereka juga bid’ah maker?
Para Walisongo dan juga ulama-ulama
pendiri NU memang bukanlah seseorang yang ma’shum (terjaga dari dosa
sebagaimana nabi). Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang sembrono,
apalagi bodoh. Mereka adalah orang-orang alim yang wara’ dan mahfudh (terjaga
dari dosa karena kewaliannya). Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan
Allah. Tidakkah terlalu sombong jika mereka dan juga kita-kita ini yang ibadah
dan kealimannya masih dipertanyakan sudah berani menyalahkan bahkan merasa
lebih pintar dari para ulama itu? na’udzubillahi min dzalikin!
Sumber: H. RPA Mujahid Ansori (Ketua Forum Silaturahmi Ta'mir Masjid dan Mushalla Indonesia)
Mengomentari tulisan diatas :
ReplyDeleteMereka lupa (atau tidak tahu ?) bahwa sayyidina Umar RA pernah berkata:
“Inilah sebaik-baik bid’ah”
Kata-kata itu diucapkannya ketika sahabat lain menegurnya karena meyelenggarakan shalat tarawih berjama’ah dengan 20 rakaat di masjid Nabawi selama satu bulan penuh
=> Apakah Rasulullah tdk pernah melakukan shalat Tarawih berjama'ah sebelumnya ? Pernah kan ? berarti yg dikerjakan Umar tdk bid'ah......
Teknologi yang dipake sekarang ini dipake untuk dakwah bukan dipake untuk ibadah, tolong dibedakan antara sarana dakwah dengan ibadah. Dan perlu dimengerti bahwa yg dimaksud Bid'ah adalah perbuatan (ibadah) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun Sahabat.
Para Walisongo dan juga ulama-ulama pendiri NU memang bukanlah seseorang yang ma’shum (terjaga dari dosa sebagaimana nabi). Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang sembrono, apalagi bodoh. Mereka adalah orang-orang alim yang wara’ dan mahfudh (terjaga dari dosa karena kewaliannya)
=> Kata2 yang plin-plan, pertama dikatakan tdk ma'shum, tetapi kemudian dikatakan mahfudh yg artinya sama.....
ma'af sebelumnya..
ReplyDeletekalau anda merasa benar dan pintar maka jangan debat disini.