Prof Dr Nurcholish Madjid: Islam Jaya karena Peradaban Bangsa Lain


Selalu mengalir gagasan-gagasan tercerahkan. Itulah kesan yang timbul bila berbincang dengan sosok yang satu ini, Nurcholish Madjid. Cendekiawan Muslim yang akrab disapa Cak Nur ini sejak muda memang dikenal dengan gagasan dan pemikiran yang tak saja "menyegarkan", tapi sekaligus tak jarang memicu kontroversi, khususnya berkaitan dengan kehidupan keberagamaan di Indonesia. Polemik keagamaan di tahun 70-an dan awal 90-an misalnya, betapa kencang melibatkan dirinya lantaran beberapa pikirannya dinilai terlalu modern.


Dilahirkan di Jombang pada 17 Maret 1939, Cak Nur menempuh pendidikan dasar dan menengah di kampung halamannya. Merasa kurang mendalam, Cak Nur lalu menuntut ilmu di Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor. Setamat dari pesantren ini, rektor Universitas Paramadina Mulya ini meneruskan pendidikan tingginya di IAIN Jakarta. Sementara program pascasarjana (S2 dan S3) diselesaikan di Chicago University, Amerika Serikat. 



Kini, tokoh yang mulai "dilamar" beberapa partai politik untuk dicalonkan sebagai presiden pada pemilu mendatang itu, merasakan kehidupan umat beragama di Indonesia perlu terus ditumbuhkan dan ditingkatkan. Karena, kata Cak Nur, bila tidak pandai membina kerukunan hidup beragama, konflik dan disintegrasi bangsa akan mengancam kehidupan kita sebagai sebuah bangsa. Di luar aktivitasnya sebagai "pendidik" bangsa, guru besar Filsafat Islam ini juga tergolong produktif menulis buku.



Puluhan buku telah ia tulis, antara lain: Islam Doktrin dan Peradaban, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, Dialog Keterbukaan, Dialog Ramadhan Bersama Cak Nur, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Pesan-pesan Taqwa, Islam Agama Peradaban, Atas Nama Pengalaman, dan Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan. Selain itu, puluhan artikel dalam bahasa asing juga ia tulis dan dipublikasikan di pelbagai jurnal ilmiah luar negeri. 



Untuk mengetahui lebih jauh persoalan dan bagaimana upaya membangun kehidupan yang damai, saling mengerti antarsesama penganut agama, dan kerja sama antarumat beragama, berikut perbincangan Republika dengan tokoh gerakan moral nasional di sela-sela acara workshop Petikannya: 



Menurut Anda, seberapa jauh urgensi dialog antar-agama sekarang ini? 
Saya kira sangat penting. Kita tahu bahwa budaya dialog itu sesungguhnya telah lama menjadi tradisi para Nabi, dan orang-orang terdahulu. Mereka mengembangkan peradaban antara lain juga melalui dialog. Nah di masa krisis dan multikrisis kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, dialog itu mestinya menjadi prioritas dari sekian jalan penyelesaian suatu permasalahan. Kalau kita tarik dalam konteks kehidupan antarumat beragama di kita, ini dinilai teramat mendesak. Dialog antaragama tak lagi kewajiban kita, tapi sudah menjadi kebutuhan segenap elemen yang memang peduli dan komitmen kuat terhadap ajaran agama-agama langit. 



Dari mana dialog antaragama sebaiknya dimulai? 
Sebagai kaum beriman, kita tentu sepakat, bahwa agama datang untuk kedamaian dan kerukunan hidup manusia berlandaskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Semua agama mengajarkan prinsip dasar saling mengasihi, menyayangi, dan mencintai antarsesama manusia, makhluk Sang Maha Pencipta. Jika umat beragama mengabaikan prinsip dasar tersebut atau menjadikan agama sebagai legitimasi terhadap tindak kekerasan dan kekejaman terhadap sesama manusia, itu berarti telah mengingkari nilai paling pokok ajaran agama itu sendiri. Yakni, nilai rahmatan lil alamin atau kasih sayang bagi alam semesta.



Karena itulah, sejauh mana kita umat beragama mampu mewujudkan cita-cita luhur agama, akan banyak bergantung pada beberapa hal penting, antara lain; Pertama, kesadaran dan kepekaan terhadap kemajemukan serta keberagaman. Dalam konteks ini ketentuan perundangan yang dimiliki bangsa kita harus bertolak dan memperhitungkan kemajemukan itu. Kenyataan pluralitas ini hendaknya tidak sekadar dihayati sebagai fakta sosial, tapi perlu digiring ke arah realitas baru, yakni sebagai kebajikan sosial (social virtue). 



Kedua, membangun sikap yang menghargai agama-agama yang ada. Publikasi, film, televisi, berbagai media komunikasi sepatutnya tidak mengekspos hal-hal yang bersifat anti, menghina atau melecehkan ajaran suatu agama. Sikap respek terhadap agama-agama harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. 



Ketiga, agama-agama harus terus-menerus diaktualisasi, sehingga berfungsi dalam memandu umat menjalankan kehidupan pluralitas yang bertanggung jawab, sambil menghindarkan penggunaan nilai-nilai agama dari tujuan politik yang sempit dan temporer yang bertentangan secara diametral dengan keluhuran nilai-nilai agama. Ini yang harus disadari dan dipahami semua pihak. Sejak ini dimengerti, barulah kita beranjak pada kerja besar, yakni dialog antaragama sebagai jalan untuk merajut kehidupan yang damai dan saling menguntungkan di tengah-tengah pluralisme kita saat ini. 



Dalam amatan Anda, apa yang paling mendasar dari kendala atau tantangan dalam kerukunan umat beragama? 
Ya, dilema mendasar itu kan terletak pada masalah simbol. Itu karena pemeluk agama mengira bahwa agama itu hanya pada simbol-silmbolnya saja, padahal sesungguhnya kan tidak. Dalam banyak kesempatan diskusi saya kemukakan, adanya konsep lauhul mahfuz dan lain sebagainya itu sebenarnya menunjukkan kesamaan inti dari agama-agama. Simbolnya yang berbeda-beda. 



Ada semacam archetype, yakni apa yang ingin dikatakan dengan simbol, tapi intinya nanti akan ketemu juga. Misalnya, shalat itu simbol, nah archetype-nya itu bisa ketemu dengan Tuhan. Jadi lebih bersifat batiniyah saja. Syariat dan cara melaksanakannya misalnya, juga demikian. Islam yang menegaskan, wa likullin ja'ala syiratan (setiap kelompok itu Kami tetapkan syariat dan tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda). Saya contohkan, dalam realitas sosial ada pandangan bahwa umat Islam tidak diperbolehkan mengucapkan selamat Natal atau mengucapkan selamat hari besar agama lainnya.



Dalam hemat saya, pandangan semacam ini terlalu terpukau oleh simbol-simbol dan tidak menangkap maknanya. Kalau memberi ucapan selamat Natal dalam arti memperingati hari lahirnya Nabi Isa kan tidak masalah, boleh saja. Begitu juga dengan ungkapan-ungkapan lainnya. Jadi lebih pada problem simbol saja. Ada fenomena menarik di Mesir, yakni Syeikh Al Azhar, Sayyed Thanthawi, menghadiri undangan buka puasa yang diadakan pimpinan tertinggi Kristen Koptik, Patrik Baba Sanoda, atau perayaan Natal. 



Begitu pula sebaliknya, Thanthawi mengundang Sanoda. Apa makna fenomena ini? Jadi begini. Hemat saya kok mereka (umat Islam Mesir) telah kaya akan pengetahuan. Sebaliknya, bagi kita itu mungkin akan menggegerkan masyarakat di sini. Persoalannya ya masalah kurangnya pengetahuan tadi. Kita tahu bangsa Mesir itu lama bergulat dan sangat kaya akan pengetahuan dan peradaban. Contoh simpel, kata Allah misalnya. Orang Islam di sini mengira Allah itu hanya haknya Muslim. Padahal di Arab itu, orang Kristen dan pemeluk agama lainnya juga menyebut dan memakai kata Allah. Ini kalau kita tarik ke pandangan ulama klasik dan ahli fikih, Baidhawi, akan sangat menarik. 



Menurut Baidhawi, dalam tafsirnya, tauhid itu bukan tauhidul ism (tauhid nama), tapi tauhid Dzaat . Namanya bisa bermacam-macam, yang penting itu konsepnya. Jadi kalau namanya Allah tapi konsepnya beda ya bukan tauhid. Seperti orang musyrik dulu itu kan juga menyebut nama Allah, tapi Allahnya mereka itu yang punya anak dan seterusnya. Jadi kadar pengetahuan yang kurang atau rendah memang dengan sendirinya juga berdampak dan berpengaruh pada pola pemahaman terhadap agama. 



Karena itulah, kalau mau jujur, yang paling toleran di dunia ini adalah orang Arab Muslim. Mereka tidak mempersoalkan misalnya perdana menteri itu Kristen atau presidennya dan lain sebagainya. Nah sebaliknya, orang Barat sendiri yang sesungguhnya paling tidak toleran. Belakangan saja mereka toleran setelah pecah Perang Dunia II dan meninggalkan eksklusivisme Yahudi, dan juga sejak mereka mengenal Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokratisasi. 



Jadi kendala itu lebih bersifat teologis? 
Benar, terfokus pada masalah teologis. Begini aja deh . Coba Anda elaborasikan rukun iman bahwa kita harus percaya pada semua agama atau semua kitab suci. Ini yang tidak ada keyakinan pada umat beragama. Pada kebanyakannya kan hanya percaya dan meyakini masing-masing kitab suci agamanya, padahal menurut hemat saya kan semua agama itu intinya akan sama, muaranya satu, yakni iman kepada Tuhan. 



Sebenarnya, batasan-batasan seperti apa yang mendasari kerja sama atau kerukunan antarumat beragama? 
Ya saya kira harus ada pengertian dan saling memahami yang mendalam antarumat beragama itu sendiri. Karena saya percaya bahwa tidak setiap orang akan mau mengerti. Itu sebabnya dalam Islam sendiri sampai ada kategori "ulul abshar" (kaum yang mau berpikir). Nah pentingnya rasa kebersamaan dalam beragama yang berlainan dan pengertian tadi, harus disadari umat beragama sebagai modal penting terjalinnya kerukunan antarumat beragama. Kedepan, apa yang harus dilakukan pemeluk beragama agar kerukunan antarumat beragama itu terwujud dengan baik? 



Yang paling mendasar, selain yang saya katakan tadi, harus ada pemahaman pengertian pada kalimatun sawa (kalimat yang sama) yang kemudian diturunkan dalam bentuk amal sosial umat beragama. Kita harus belajar pada bangsa-bangsa terdahulu. Mereka jaya antara lain juga membangun etos kerja dan peradaban yang mengedepankan budaya dialog antar-semua pihak. Islam jaya juga kan bersentuhan (berdialog) dengan bangsa lain. Jadi ini catatan penting kita semua sebagai umat beriman.

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Prof Dr Nurcholish Madjid: Islam Jaya karena Peradaban Bangsa Lain"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!