Ade Armando: Pornografi Marak Karena Tak Ada Ketegasan Hukum


Ade Armando: Pornografi Marak Karena Tak Ada Ketegasan Hukum
Maraknya pornografi dan pornoaksi akhir-akhir ini telah meresahkan masyarakat. Tingkat kriminalitas akibat pengaruh pornografi dan pornoaksi telah demikian memprihatinkan. Bahkan banyaknya wanita hamil di luar nikah dampak dari pornografi disinyalir terus meningkat dari waktu ke waktu. Keresahan itu antara lain dirasakan oleh pakar media dan komunikasi, Ade Armando. Di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Universitas Indonesia (UI), Ade, bersama elemen masyarakat lain terus menggelorakan pentingnya pemberantasan pornografi dan pornoaksi, apapun bentuknya.

Bagi bapak dua anak ini, pornografi memang tak sekadar urusan pemerintah, tapi juga tugas masyarakat dan tokoh agama. ''Pemberantasan pornografi dan pornoaksi harus melibatkan semua elemen yang ada, termasuk pemerintah dan tokoh agama. Tanpa itu, sulit rasanya mengenyahkan maraknya pornografi dan pornoaksi dari lingkungan masyarakat,'' jelasnya.

Kepedulian Ade inilah, yang antara lain mendasari dirinya, bersama beberapa rekan lainnya, mendirikan Media Ramah Keluarga (MARKA). MARKA merupakan sebuah LSM yang berkonsentrasi pada masalah-masalah tayangan maupun liputan media massa dan dampaknya bagi masyarakat, khususnya anak-anak dan kaum muda. Di luar kegiatannya itu, ketua jurusan Ilmu Komunikasi program S1 UI ini juga aktif di Aliansi Masyarakat Anti Pornografi dan Pornoaksi sebagai salah satu ketua, serta di The Habibie Centre (THC) sebagai ketua Media Watch and Concumer Center.

Kini, di tengah upaya DPR dan pemerintah mempersiapkan terbitnya undang-undang (UU) tentang pornografi dan pornoaksi, Ade menjadi salah satu rujukan berkaitan dengan tayangan media massa, khususnya elektronik. Ia juga menjadi pembicara di pelbagai daerah di sekitar persoalan pornografi. Kepada Republika, pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, 24 September 1961, berbicara panjang lebar di sekitar maraknya pornografi dan pornoaksi. Berikut petikannya:

Bagaimana pandangan Anda tentang ngebor Inul, apakah sudah bisa disebut pornografi? 
Kalau pornografi bisa didefinisikan sebagai materi di media yang membangkitkan syahwat, hasrat seksual, maka tentu saja goyang ngebornya Inul bisa masuk dalam kategori itu. Tapi mengingat beragamnya pornografi yang tersedia secara bebas di pasar, dari tabloid mesum sampai VCD-VCD atau situs internet yang menampilkan adegan-adegan seks secara sangat eksplisit dan kasar, bisa dibilang Inul cuma berada di wilayah pinggiran pornografi.

Dalam hal ini Inul sebenarnya tidak ada apa-apanya kalau tidak diekspos media massa, terutama
stasium teve. Lalu mengapa Inul yang dicaci-maki? 

Tidak benar juga kalau dibilang cuma Inul yang jadi sasaran tembak. Sebelum kasus Inul, berbagai kelompok masyarakat sudah mengutarakan kemarahan terhadap beragam bentuk tampilan seks di media, termasuk di televisi. Dua lembaga pemantau media yang saya pimpin, Media Ramah Keluarga (MARKA) dan Media Watch dari The Habibie Center, sudah berulangkali mengangkat isu ini. Majelis Ulama Indonesia sudah pernah mengeluarkan fatwa mengenai pornografi. Begitu juga berbagai kelompok masyarakat, terutama yang tergabung dalam Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) dan Aliansi Masyarakat Anti Pornografi dan Pornoaksi (AMAPP).

Jadi, kepedulian terhadap tayangan seks di media sudah banyak dilontarkan. Masalahnya, media massa justru seperti menyembunyikan protes-protes ini. Ceritanya baru jadi lain ketika ada ulama di Jawa Timur dan kemudian di daerah-daerah lain mengeluarkan fatwa pencekalan terhadap Inul. Apalagi ketika kemudian Rhoma Irama mengeluarkan aksi boikotnya.

Di sisi lain, Inul bisa dilihat sebagai kasus khusus karena ia memang bisa dibilang artis yang berani menabrak tabu. Selama ini kita tahu, dangdut memang sering diidentikkan dengan hiburan yang punya muatan seks kental. Tapi itu kan cuma muncul di panggung-panggung pertunjukan dengan penonton terbatas. Inul muncul satu langkah lebih jauh dengan penampilannya di VCD-VCD dan kemudian di stasiun televisi yang bisa ditonton puluhan juta orang. Sebelum Inul, tidak ada penyanyi yang berani membelakangi penonton dan memutar-mutar bagian sensitif itu. Jadi Inul memang kasus khusus. Walaupun benar, bahwa tampilan berani itu tidak akan muncul menggemparkan seperti ini kalau tidak difasilitasi stasiun televisi.

Sejauh ini, seberapa parah sih pornografi dan pornoaksi di masyarakat kita ini? 
Sangat memprihatinkan. Kerusakannya amat serius. Beberapa waktu lalu misalnya, kantor berita AP (Associated Press) melansir bahwa Indonesia akan menjadi 'surga pornografi berikutnya'. Negara lain yang disebut paling parah adalah Rusia. Indonesia jauh lebih serius dari Thailand yang selama ini dikenal sangat terbuka dan vulgar pornografinya. Di Thailand sudah ada panataan serius soal pornografi, akibatnya industri pornografi ilegal sudah semakin sempit. Nah, Indonesia dianggap sangat bebas, terutama kalau bicara soal VCD porno. Selain itu, juga karena Indonesia tidak mengatur adanya regulasi internet sama sekali.

Mengapa pornografi dan pornoaksi selama ini sepertinya susah ditertibkan? 
Pertama-tama, saya tidak terlalu suka dengan istilah 'pornoaksi', karena batasannya tidak jelas. Saya lebih concern saat ini dengan pornografi. Dan pornografi tumbuh karena sejumlah hal. Yang paling utama karena tidak ada ketegasan hukum saat ini di Indonesia. Jelas-jelas VCD porno melanggar hukum, tapi tidak ada usaha serius menertibkannya. Karena tersedia secara bebas, orang pun membelinya. Seks jelas mudah menarik minat masyarakat. Apalagi harganya murah. VCD-VCD Inul di berbagai panggung itu bisa dibeli dengan harga tidak sampai tiga ribu rupiah.

Apakah maraknya pornografi selama ini merupakan bias dari reformasi/kebebasan? 
Bukan. Maraknya pornografi terjadi karena ketidaktegasan hukum. Hanya saja mereka yang mendukung pornografi seringkali menggunakan argumen 'kebebasan pers' atau 'kebebasan berekspresi', seolah-olah kebebasan itu berarti kebebasan untuk menyiarkan apapun melalui media. Argumen itu jelas dangkal dan mencerminkan ketidakapahaman mengenai apa yang disebut 'kebebasan berekspresi'. Ini semua menyesatkan masyarakat, dan anehnya argumen seperti ini yang secara opini publik terus diperkuat kalangan pengelola media massa, terutama elektronik.

Dalam kasus Inul misalnya, dalih para pendukung Inul kan Rhoma itu memasung kebebasan ekspresi dan kreatifitas, juga kebebasan pers. Padahal masalah Inul itu kan masalah moral, sensualitas dan erotisme. Sama sekali tak ada hubungannya dengan pemasungan hak berekspresi. Kalau semuanya berdalih seperti itu, orang telanjang pun nanti muncul di televisi dan dianggap sebagai hal biasa dan bernilai seni. Ini yang parah nanti. Bangsa kita akhirnya menjadi bangsa kuli dari media konsumtif, kapitalisme, dan budaya Barat.

Sejauh mana peran pemerintah, termasuk DPR, terhadap maraknya pornografi dan pornoaksi? 
Beberapa saat terakhir ini kelihatan ada upaya yang lebih serius untuk memberantas pornografi. Departemen Agama dan DPR sudah menulis dua versi Rancangan Undang-undang Pornografi. Saat ini Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan sudah berperan sangat aktif melakukan langkah-langkah lanjutan, seperti mendiskusikan masukan untuk penyempurnaan RUU Pornografi, dengan melibatkan banyak kelompok masyarakat, agar RUU tersebut nantinya memperhatikan kepentingan banyak pihak. Kementerian tersebut juga mengundang para wakil media massa untuk mengingatkan mereka tentang tanggungjawab moralnya kepada publik.

Pihak kepolisian juga sudah mulai memperkarakan beberapa tabloid dengan sangkaan menyebarkan materi yang melanggar kesusilaan. Jadi ada beberapa perkembangan yang cukup penting. Perkembangan ini saya rasa terjadi karena memang semakin gencar suara anti-pornografi di tengah masyarakat. Kasus penyebaran VCD casting sabun, Bandung Lautan Asmara, pengambilan gambar diam-diam sejumlah model yang sedang tak berpakaian, serta kasus Inul, saya rasa sangat punya peran dalam hal mendorong pemerintah dan DPR untuk mengambil langkah lebih serius.

Menurut Anda, bagaimana batasan sebuah karya seni/hiburan bisa disebut pornografi? Seperti yang saya katakan, semua materi di media yang mengeksploitasi seks atau membangktikan syahwat bisa disebut pornografi. Apapun bentuknya, yang jelas memenuhi standar penilaian memunculkan nafsu syahwat.

Bisakah dibuat undang-undang yang mengatur tentang pornografi dan pornoaksi ini? 
Kalau soal pornografi bisa, kalau pornoaksi saya tidak terlalu yakin. Untuk pornografi pun, saya rasa kita harus lebih realistis. Mungkin nantinya UU itu tidak akan bisa melarang semua bentuk pornografi, tapi paling tidak bisa mengaturnya. Jadi, mengikuti banyak negara, memang ada pornografi yang sama sekali dilarang, misalnya pornografi yang mengandung kekerasan seksual, atau melibatkan anak-anak, atau yang menjijikkan, atau yang menyajikan ketelanjangan. Tapi ada pula pornografi yang sekadar dibatasi. Misalnya saja, kalaupun Inul show, ya itu seharusnya ditayangkan pada larut malam. Atau kalau ada buku pendidikan teknik-teknik bercinta, ya itu seharusnya dijajakan di tempat khusus orang dewasa di toko buku.

Menurut Anda, bisakah agama menjadi pengukur sebuah karya seni/hiburan disebut pornografi? 
Ya, selalu bisa. Namun, yang harus disadari Indonesia ini bukan negara agama. Jadi, barangkali pengaturan pornografi bisa berbeda antar-daerah. Pengaturan di Aceh misalnya akan bisa berbeda dengan pengaturan di Bali atau Manado. Karena pada dasarnya kultur masyarakat masing-masing kan berbeda. Jadi pengaturannya pun harus kontekstual. Ini bila tidak ingin upaya pemberantasan pornografi dan pornoaksi sia-sia belaka.

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Ade Armando: Pornografi Marak Karena Tak Ada Ketegasan Hukum"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!