Nikah Sirri dan Nikah Kontrak Rugikan Perempuan
Nikah Sirri dan Nikah Kontrak Rugikan Perempuan
Salah satu
tantangan bagi Kantor Urusan Agama sebagai pencatat pernikahan di tanah air
adalah masih adanya masyarakat yang melakukan nikah kontrak dan pernikahan
dibawah tangan alias nikah sirri. Sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai
buku nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Demikian dikemukakan Drs Zamhari Hasan MM saat menyampaikan orasi ilmiah pada
pengukuhan sebagai widyaiswara utama Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan
Departemen Agama di Jakarta. Sidang pengukuhan dipimpin Kepala Badan Litbang dan
Diklat Depag Prof Dr Atho Mudzhar, dihadiri Deputi Bidang Pembinaan Aparatur
Lembaga Administrasi Negara Prof Dr Endang W. Sri Lestari.
Nikah sirri dikenal muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam peraturan
tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan
menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan.
Menurut Zamhari, pernikahan sirri biasanya terjadi untuk nikah kedua dan
seterusnya, karena untuk mendapatkan izin dari isteri pertama sangat sulit.
"Pernikahan seperti ini jelas tidak punya kepastian hukum atau tidak punya
kekuatan hukum yang paling dirugikan adalah wanita," ujarnya.
Adapun nikah kontrak, kata Zamhari, yaitu nikah yang dibatasi oleh waktu.
Apabila habis waktunya maka bubarlah perkawinan tersebut. Kejadian ini
dilakukan oleh orang asing yang datang ke Indonesia tidak bersama istrinya.
Kalau pernikahan terjadi, pernikahan tersebut sudah pasti tidak tercatat, tidak
mempunyai kekuatan hukum yang pada akhirnya yang dirugikan adalah pihak
perempuan.
"Di daerah Bogor dan sekitarnya biasanya dilakukan oleh etnis Arab,"
ungkap widyaiswara yang menyampaikan orasi berjudul "Optimalisasi
pelayanan penghulu pada KUA di kecamatan Bogor Selatan, Bogor tahun 2006."
Ia juga mengungkapkan masalah lain dalam peristiwa pernikahan di tanah air,
yaitu calon penganten yang tidak datang sendiri ke KUA untuk pendaftaran nikah,
dengan berbagai alasan, mereka menggunakan jasa calo, sehingga informasi yang
diberikan oleh calo itu bisa menyesatkan seperti biaya nikah mahal.
Akibat masyarakat yang tidak datang sendiri ke KUA juga berdampak pasangan
nikah memperoleh buku nikah palsu. "Biasanya ini terungkap apabila para
pihak ada masalah seperti akan terjadi perceraian ke Pengadilan Agama atau ke
Kantor Catatan Sipil, ketika mengurus akte kelahiran atau saat konsultasi ke
KUA," ungkapnya.
Guna mengatasi masalah tersebut, menurut Zamhari, perlu dilakukan pembinaan,
pengawasan dan penyuluhan terhadap praktek penghulu liar serta nikah dibawah
dibawah tangan dan nikah kontrak. Juga diupayakan jalinan kordinasi dengan
aparat terkait dan tokoh agama dan msyarakat secara efektif.
Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan SDM para penghulu, karena pendidikan
dan pelatihan menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan optimalisasi para
penghulu dalam pelayanan masyarakat
Kepala Badan Litbang dan Diklat Atho Mudzhar dalam sambutannya menyebutkan
bahwa, berbagai masalah muncul dalam perkawinan tidak lepas dari bagaimana
pengamalan agama masing-masing. Selain itu masih rendahnya kualitas SDM para
penghulu di tanah air.
sepakat gan.. bagaimana pun kita sebagai kaum adam harus menghormati perempuan, karena islam sendiri datang mengangkat derajat kaum hawa..
ReplyDeletesiip,,, harus menghargai, mengingat kita dilahirkan dari kaum hawa..
ReplyDelete