KH. Ma'ruf Amin: Tak Ada Lagi Ijtihad Secara Individu


Kasus Muhammad Yusman Roy, yang gigih memperjuangkan keyakinannya mengenai legalnya shalat dua bahasa, atau 'temuan' DR Aminah Wadud mengenai perempuan bisa menjadi imam laki-laki menyisakan satu pertanyaan bagi umat. Sejauh mana sesungguhnya 'inovasi' baru, terutama dalam ibadah, bisa diterima? Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia KH Ma'ruf Amin meyakini, tak ada ijtihad dalam ibadah, apalagi dalam shalat yang merupakan tiang agama. ''Dalam ibadah shalat, kita harus patuh pada tuntunan yang telah diperintahkan Allah SWT melalui Rasulullah SAW,'' ujar rais syuriah dan Ketua Harian Dewan Syariah Nasional (DSN) ini. Menurut Kiai Ma'ruf, aturan shalat tidak bisa direkaya oleh manusia. ''Karena sifatnya taukifi (baku) dan sudah qhat'i (pasti),'' tambahnya. Berikut hasil wawancara dengan pimpinan Pondok Pesantren Al Nawawi Tanara, Banten ini, bertutur banyak tentang ijtihad dan kaitannya dengan persoalan ibadah.

Beberapa hari ini muncul polemik mengenai shalat dengan menggunakan bahasa Arab dan Bahasa Indonesia secara bersamaan. Bagaimana Anda melihat persoalan yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai sebuah terobosan baru ini?

Dalam ibadah shalat, kita ikut apa yang dituntunkan (taukifi). Makanya Nabi Muhammad SAW mengatakan, shallu kama raaitumuni ushalli (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat). Kemudian kalau di dalam masalah muamalah, ekonomi, kemasyarakatan kita memang boleh berkreasi, berbuat upaya-upaya dan itu bisa dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. Jadi, ada kebebasan kita melakukan dalam hal muamalah asal dalam melakukan itu tidak bertentangan. Tetapi di dalam soal ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, haji, dan zakat, sudah ada aturan dan tuntunannya. Nah, karena ketika ada orang berpikir ingin meningkatkan kualitas shalat dengan membuat cara yang tidak sesuai dengan tuntunan itu, maka tidak dibenarkan. Jadi, kita harus patuh pada tuntunan karena kita sedang beribadah kepada Allah. Ibadah itu Allah yang menentukan lewat Nabi-Nya yang mengajarkan kepada umatnya sampai hal yang sekecil-kecilnya. Seperti dalam fikih, membaca Surat Al Fatihah adalah kewajiban. Lalu ada hadis yang menyebut kalau tidak bisa, boleh membaca doa subhanallah, walhamdulillah, allahu akbar. Kalau tidak bisa ya berdiri saja tidak usah membaca apa-apa. Sudah jelas disebut seperti itu.


Bagaimana bila itu ditujukan untuk pengajaran, misalnya, jika makmumnya tidak memahami bahasa Arab, maka ia akan paham saat imam membacakan artinya?

Kalau mengajarkan jangan di dalam shalat. Karena shalat itu adalah ibadah, bukan belajar. Inovasi dalam beribadah yang keliru bisa disamakan dengan bid'ah?
Ya. Pekerjaan yang dilakukan itu menjadi bid'ah dhalalah. Tapi karena dia tidak faham dia tabrak saja. Dia tidak bertanya lagi. Ini berbahaya bagi orang awam. Kalau orang awam itu siapa yang mengajak, ya, ikut saja, apalagi dia tidak ada upaya untuk bertanya kepada yang lebih alim sehingga paham. Tapi, sekarang banyak orang yang mudah terprovokasi, dan terpengaruh. Sebenarnya mereka tidak banyak tapi harus menjadi perhatian. Tugas para pemimpin agama untuk meluruskan yang semacam ini.

Secara definisi, bid'ah itu apa?
Bid'ah dalam ibadah adalah sesuatu yang tidak ada kemudian dibuat-buat atau diada-adakan. Atau sesuatu yang baru dalam ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Adapun bahayanya, dia beribadah tidak sesuai dengan tuntunan dan tentunya tidak akan diterima oleh Allah SWT. Istilahnya raddun (tidak diterima), karena kita melakukan sesuatu ibadah yang tidak diajarkan. Apa perbedaan antara bid'ah, inovasi, dan ijtihad?
Kalau ijtihad itu kan sesuatu yang memang dibenarkan. Misalnya terhadap penafsiran yang interpretable, biasanya dalam amalan-amalan shalat, dalam doa, qunut itu sebelum ruku atau sesudah ruku. Nah, itu memang ada riwayat-riwayat. Kemudian ada riwayat yang membaca lafal bismillah dikeraskan ada yang pelan. Mengambil satu pendapat mengenai hal itu bukan tergolong bid'ah. Ini ijtihad yang benar. Jadi, masih berada dalam koridor yang dibenarkan yang disebut dairatul manhaj (wilayah, metode, penafsiran yang dibenarkan). Ini tidak bid'ah dan boleh dilakukan.

Tapi, kalau yang sudah qath'i, kesepakatan, semua itu tidak boleh lagi. Apa syarat untuk ijtihad?
Ya, ahliyatul ijtihad, artinya dia ahli dan memiliki kemampuan yang mengerti bahasa Arab, faham Alquran dan artinya, asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), hadis, dan artinya (asbabul wurud). Dan ma'ruf (dikenal) sebagai ulama. Kalau bukan ulama bagaimana? Itu yang disebut sebagai mujtahidun jahil atau mujtahid yang bodoh dan bodohnya sudah bertingkat-tingkat atau jahil murakkab atau orang yang tidak tahu tapi dia tidak mengerti bahwa dirinya tidak tahu jadi merasa tahu. Pada zaman sekarang ijtihad pun hampir semua sepakat yaitu orang yang memiliki kualifikasi seperti itu. Dan sekarang hampir tidak ada, karena itu kita menggunakan ijtihad jamaah (kolektif). Maka kita biasanya mengambil langkah seperti itu secara bersama-sama seperti kita di Komisi Fatwa MUI. Kalau di NU ada bahstul masail, dan Muhammadiyah punya majlis tarjih. Lembaga ini intinya sama, ijtihad jamaah. Kalau di tingkat internasional, seperti di OKI, ada majma'ul fiqli islam dan di Rabithah Alam Islami ada majma'ul fiqh.

Jadi hampir tidak ada lagi ijtihad secara individu. Tapi, kok, bid'ah selalu muncul dari masa ke masa?
Ya, begitulah. Dalam bidang muamalah, kita memang bisa berkreasi. Dan itu ada panduan atau manhaj-nya. Tapi tidak dalam soal ibadah. Ini harus kita waspadai, karena banyak kaum liberalis yang dalam merespons sesuatu tidak menggunakan manhaj yang ada tapi membuat manhaj sendiri yang justru tidak Islami. Kalau yang mujma' itu harus diterima secara utuh, sedang yang mukhtalaf ada mekanismenya. kalau ada yang mujma' kemudian dia tabrak, walapun menyangkut masalah kemasyarakatan, itu juga tidak boleh. Jadi harus menggunakan manhaj, hudud (batasan), dan dhawabith (patokan). Dalam agama ini kita tidak berpikir di dalam ruang yang kosong, kemudian kita membuat nash baru.

Pekerjaan yang berat menjaga kemurnian ajaran Islam, ya?
Ya. Saya menamakan sekarang ini sebagai periode tashfiyatul afkar (penjernihan pemikiran). Dulu tahun 1990-an, saya melontarkan tajdidul afkar (pembaharuan pemikiran-red) karena waktu itu kita mengalami keterbelakangan, konservatif. Kenapa? Karena kita hanya berpegang kepada pendapat-pendapat tekstual , pekerjaan yang dilakukan para ulama terdahulu. Akibatnya banyak masalah yang tidak terjawab di zaman sekarang, karena masalah seperti itu belum ada pada zaman terdahulu. Dalam tajdidul afkar, kita tidak boleh hanya qauli tapi juga manhaji, atau istilahnya berfikir qaulan wa manhajan. Jadi kita bisa merespons walaupun tidak ada qaul dan bisa menjawab segala persoalan karena menggunakan metode. Dulu kita mendinamisasi pemikiran, sekarang malah justru kebablasan, liberal. Akibatnya terjadilah penyimpangan-penyimpangan itu. 

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "KH. Ma'ruf Amin: Tak Ada Lagi Ijtihad Secara Individu"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!