Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab


Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab - Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.

Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain:

1. Alquran
2. hadits
3. ijma’ ummat
4. ijma’ orang Madinah
5. qiyas,
6. pendapat sahabat
7. maslahah mursalah
8. istishab
9. bara’ah ashliyah
10. adat/‘urf
11. istiqra’ (induksi)
12. sadd al-dzariah (tindakan preventif)
13. istidlal
14. istihsan
15. mengambil yang lebih mudah
16. ishmah
17. ijma’ orang Kufah
18. Ijma’ sepuluh orang
19. dan ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).

Perdebatan mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya. Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.

Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad.

Orang Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.

Penggunaan amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan hadits. Alquran dan hadits tetap menjadi pilar utama istimbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai hadits. Hasil istimbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi dengan dasar Alquran dan hadits.

Penolakan terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang saja. Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Alquran dan menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang sahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.

Sejalan dengan munculnya pemlsuan hadits tersebut, muncullah aliran ingkar al-sunnah. Aliran tersebut berpandangan bahwa Alquran saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan hadits, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya aliran ingkar al-sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm..

Imam Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu:
1. Alquran
2. Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas

Melalui sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Alquran dibandingkan hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madhab Syafi‘i.

Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas nanti.

Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.

Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh. Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.

Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.

Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna universal lafal Alquran atau hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru.

Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh
Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain:

1. Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w. 415H/1024M)
2. Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H 1044M)
3. Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M)
4. Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M)
5. Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M)
6. Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)
7. Kitab Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w. 490H/1096M).

Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagian hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad ke-5.

Di antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar, al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa karya al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah, seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya.

Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain.

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!