Bisakah Menceraikan Istri Karena Pindah Agama?
Pertanyaan:
Saya dan istri
saya menikah di Vihara. Tapi sekarang istri pindah agama menjadi Kristen,
sehingga semakin meyakinkan saya bahwa kami berdua memang tidak bisa sejalan
lagi. Saya sendiri pernah mencoba untuk memulai pisah sekitar satu tahun lalu,
tapi psikiater berhasil meyakinkan saya untuk mencoba memperbaiki hubungan kami
berdua. Namun, sampai sekarang komunikasi antara saya dan istri tidak pernah
bisa terjalin, sebab kami berdua datang dari 2 dunia yang berlainan. Saat ini
saya sudah merasa TIDAK MUNGKIN lagi untuk melanjutkan hidup saya dengan istri
saya. Saya sudah memulai aksi pisah ranjang sejak sebulan lalu, dan ini adalah
aksi yang kedua kali. Pertanyaan saya: - Karena saya kuatir dianggap tidak
mempunyai alasan yang cukup untuk bercerai, apakah kepindahan agama istri bisa
dijadikan alasan? Perlu anda ketahui, saya tidak berjudi, tidak punya sejarah
kriminalitas, tidak punya wanita simpanan, semuanya kelihatan baik baik saja
dari luar. - Apakah pisah ranjang meskipun masih di bawah satu atap bisa dianggap
sebuah perpisahan? Jika kami berdua sudah pisah ranjang selama 2 tahun
(meskipun dalam satu atap), apakah perceraian boleh dilakukan? Hal apa yang
akan membuktikan bahwa saya sudah pisah ranjang untuk sekian waktu? Apa harus
ada saksi? Dan bagaimana jika saksi itu (misalnya adik saya) tidak mau bersaksi
atau berbohong di pengadilan? – Di mana saya bisa mendapatkan penasehat hukum
yang baik dan bisa dipercaya? Terima kasih banyak.
Jawaban:
1. Mengenai
persyaratan untuk melakukan perceraian diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) bahwa
untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
Dijelaskan
dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP bahwa alasan-alasan yang dapat
dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu
pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu
pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemauannya;
c. Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu
pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap
pihak yang lain;
e. Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Alasan-alasan
perceraian Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP juga ditegaskan pula
dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP (“PP
9/1975”).
Berdasarkan
ketentuan tersebut di atas, kepindahan istri Anda ke agama lain tidak dapat
dijadikan alasan untuk menceraikan istri Anda. Berbeda halnya jika Anda dan
istri Anda sebelumnya beragama Islam, dalam Pasal 116 huruf h Kompilasi
Hukum Islam (KHI)ditentukan, peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga dapat menjadi
alasan untuk dapat dilakukannya perceraian.
Namun memang,
jika antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi, hal tersebut dapat menjadi alasan
untuk dilakukannya perceraian.
2. Mengenai
cerita bahwa Anda telah pisah ranjang selama dua tahun mungkin dapat menjadi
indikasi bahwa antara Anda dengan istri Anda telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus. Untuk dapat membuktikan perselisihan maupun
pisah ranjang yang telah terjadi selama 2 (dua) tahun memang diperlukan adanya
saksi. Dalam perkara ini, saksi yang dapat didengar dalam proses pembuktian
adalah pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-istri tersebut
(lihat Pasal 22 ayat [2] PP 9/1975).
Sehingga, dalam
hal ini, gugatan perceraian Anda baru dapat diterima apabila pengadilan telah
mendengar kesaksian pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan Anda dan
istri Anda (misalnya, kesaksian pembantu rumah tangga yang tinggal serumah
dengan Anda beserta istri Anda, saudara-saudara Anda maupun saudara istri
Anda), mengenai perselisihan dan pertengkaran antara suami istri tersebut.
3. Apabila
kemudian adik Anda tidak mau bersaksi, maka adik Anda terancam dikenakan pidana
penjara atau denda sebagaimana diatur dalam Pasal 224 dan Pasal
522 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Sedangkan, apabila adik Anda berbohong ketika memberikan kesaksian di
pengadilan maka adik Anda akan terancam sanksi pidana penjara sebagaimana
diatur dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP:
“Barangsiapa
dalam hal-hal di mana undang-undang menentukan supaya memberikan keterangan di
atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan
sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau
tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. “
4. Mengenai
di mana Anda bisa mendapatkan penasihat hukum yang baik dan bisa dipercaya, namun perlu diketahui, memang
untuk menangani kasus perceraian tidak ada kewajiban untuk Anda menggunakan
jasa advokat/penasehat hukum.
Menutup
penjelasan kami, yang dapat kami sarankan adalah sesuai dengan ketentuan Pasal
1 UUP, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ada
baiknya Anda dan istri Anda kembali mengupayakan agar rumah tangga yang telah
Anda bina selama ini dapat memenuhi tujuannya yakni sebagai keluarga yang
bahagia dan kekal.
Demikian
jawaban dari kami, semoga membantu.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek
van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentan Perkawinan;
5. Kompilasi
Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991).
Sumber:
www.hukumonline.com
terimakasih gan..
ReplyDelete