Apa Istri Harus Bayar Sewa Rumah pada Suami?
Pertanyaan:
Bung Pokrol
Yth., Saya seorang wanita, 53 tahun, yang mempunyai usaha di lantai 1 rumah
kami. Jadi, saya, suami, dan satu anak berdiam di atas tempat usaha saya
(kursus menjahit). Selama ini suami tidak pernah memberi nafkah karena dia
berpendapat penghasilan saya sudah lebih dari cukup untuk hidup sekeluarga.
Sedang tokonya pas-pasan (malas sih). Lama-lama saya tidak tahan, apalagi
perlakuannya kasar dan cuek pada istri. Saya memutuskan pisah kamar. Dia marah
sekali, saya kira karena dia tersinggung harga dirinya. Lalu dia mulai berbuat
apa saja untuk mempersulit keuangan saya. Makan tidur, nonton TV semua atas
biaya saya, tapi dia merasa yang menemukan lokasi strategis dari rumah ini
adalah dia, lalu kami bangun. Saat itu sayalah yang mengelola tokonya jadi
ramai. Jadi rumah ini gono gini. Sekarang dia rasan-rasan mau narik sewa lantai
1 yang saya pakai, untuk lebih mempersulit hidup saya karena saya tidur di
kamar lain itu. Bung Pokrol, bisakah rumah gono gini yang ditempati sekeluarga,
tapi usaha punya istri, saya harus bayar sewa ke suami? Dia merasa separuh
rumah ini miliknya (by the way, dia tidak merasa bahwa nasi, kursi, telepon,
dll. yang diperolehnya adalah cuma-cuma, padahal semua saya yang bayar). Terima
kasih bung.
Jawaban:
Pada
prinsipnya, hukum perkawinan di Indonesia menentukan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat [1] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan –“UUP”).
Sehingga terhadap harta bersama tersebut, suami atau istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat [1] UUP). Anda tidak menyebutkan
agama apa yang Anda anut. Bagi pemeluk agama Islam berlaku pula ketentuan dalam
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Dalam Pasal 1 huruf f KHI disebutkan
bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan harta tersebut terdaftar atas nama siapapun.
Anda juga tidak
menyebutkan apakah di antara Anda dan suami ada perjanjian kawin atauprenuptial
agreement sebelumnya. Perjanjian Perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata - "KUHPerdata" maupun
UUP adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama
perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh
UUP.
Jika di antara
suami dan istri telah dibuat perjanjian kawin sebelumnya yang mengatur mengenai
pembagian harta, maka memang terhadap harta dapat dibagi bagian suami dan
bagian istri (ada pemisahan harta). Akan tetapi, UUP mensyaratkan bahwa
perjanjian kawin ini harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan
selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali
jika dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga (lihat Pasal 29 UUP).
Namun, jika
tidak ada perjanjian perkawinan sebelumnya, maka semua harta yang diperoleh
selama dalam perkawinan adalah menjadi harta bersama suami istri. Dengan logika
berpikir tersebut maka suami tidak dapat menagih biaya sewa dari istri terhadap
penggunaan suatu harta (dalam hal ini rumah) bila rumah tersebut diperoleh
setelah perkawinan berlangsung karena rumah tersebut juga merupakan milik
istri.
Selain itu, UUP
dan KHI menegaskan bahwa suami istri wajib saling cinta-mencintai
hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu
kepada yang lain (lihat Pasal 33 UUP jo Pasal 77 ayat [2] KHI). Suami
juga wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sedangkan istri wajib
mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dan jika suami atau istri
melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan (lihat Pasal 34 UUP jo Pasal 77 ayat [5] KHI).
Jadi,
seharusnya suami Anda tidak mengenakan biaya sewa terhadap Anda dan Anda juga
tidak turut menghitung-hitung apa yang sudah Anda berikan terhadap suami Anda
(nasi, kursi, telpon, dll) karena baik secara agama, moral maupun hukum, sudah
menjadi tanggung jawab suami untuk mencukupi istrinya dan sudah menjadi
tanggung jawab istri untuk mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Di sisi lain,
jika suami Anda tidak pernah memberikan nafkah, ada pidana yang dapat
mengancamnya yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga yang berbunyi:
Dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta,
setiap orang yang:
a. menelantarkan
orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1);
b. menelantarkan
orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Dengan
demikian, ada baiknya dalam menghadapi permasalahan ini Anda dan suami
membicarakannya secara baik-baik demi mempertahankan keutuhan rumah tangga Anda
dengan mengingat tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal (lihat Pasal 1 UUP).
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
4. Kompilasi
Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991);
Sumber:
www.hukumonline.com
0 Response to "Apa Istri Harus Bayar Sewa Rumah pada Suami?"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!