Sandiwara Hukum dan Toleransi Rakyat
Sandiwara
penegakan hukum begitu nyata. kendati diam, rakyat yang awam pun tidak sulit
memahami kebohongan dari silat lidah penegak hukum. Toleransi rakyat terus
diuji.
Kini, sandiwara
itu sudah dirasakan sebagai penghinaan. Sebab, rakyat merasa dianggap bodoh.
Karena bodoh, diasumsikan bahwa rakyat akan percaya begitu saja apa pun
argumentasi penguasa atau penegak hukum dalam mempraktikan tebang pilih
penegakan hukum. Asumsi itu mutlak salah.
Sebab, rakyat
tahu dan paham. Untuk mengetahui dan memaham semua kebohongan itu, rakyat tak
perlu lagi bersusah payah mencari data dan informasi. Pada era keterbukaan
sekarang ini, data dan informasi terbaru dari setiap masalah atau kasus hukum
begitu cepat berseliweran di ruang publik.
Potretlah dan
belajarlah dari eskalasi kasus dugaan suap wisma atlet Sea Games Palembang atau
skandal Bank Century. Merasa akan dijadikan korban tunggal dalam kasus dugaan
suap wisma atlet, Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat
(PD) itu, melakukan perlawanan.
Dari perlawanan
Nazaruddin itu, mengalirlah ke ruang publik data dan informasi tentang perilaku
korup orang-orang penting di negara ini. Aliran data dan informasi dari
Nazaruddin itu membantu rakyat memahami kontruksi hukum kasus korupsi berjamaah
itu
Ketika muncul
keanehan, rakyat pun bisa membaca dan memahami keanehan itu. Negara ini
mengerahkan kekuatan besar untuk membidik Nazaruddin. Dari kasus dugaan suap
wisma atlet, sangkaan kepadanya dieskalasi menjadi dugaan korupsi bernilai Rp 6
trilyun lebih. Perintah perburuan dan penangkapannya pun datang langsung dari
presiden.
Ketika publik
bertanya tentang bagaimana penegak hukum memperlakukan sejumlah nama yang
disebut Nazaruddin, jawabannya standar; bahwa penegak hukum bekerja berdasarkan
bukti hukum. Publik pun bertambah heran melihat perilaku itu. Memangnya dokumen
yang diperlihatkan Nazaruddin tentang indikasi keterlibatan atasannya di partai
tidak layak menjadi bukti hukum?
Publik juga
mencermati kesaksikan serta pengakuan tersangka Mindo Rosalina Manulang dan M
El Idris, maupun saksi-saksi dalam persidangan keduanya. Pengakuan dan
kesaksian mereka juga mengindikasikan peran dan keterlibatan sejumlah orang
penting. Mengapa kesaksian dan pengakuan mereka tidak layak menjadi bukti?
Keanehan inilah
yang dimaknai sebagai sandiwara penegakan hukum. Keanehan ini muncul begitu
saja karena banyak orang melihat penegak hukum tidak taktis. Skenarionya
amatiran. Bukannya fokus ke kasus wisma atlet dan proyek Hambalang, penegak
malah melebar kemana-mana dengan mengeskalasi sangkaan kepada Nazaruddin.
Eskalasi
sangkaan itu otomatis dicurigai sebagai upaya mengalihkan perhatian publik dari
kasus wisma atlet dan proyek Hambalang, serta orang-orang penting yang
terindikasi terlibat dalam dua kasus itu.
Modus Stagnasi
Perlakuan
penegak hukum terhadap kasus Wisma atlet dan proyek Hambalang mengingatkan
publik tentang perlakuan terhadap skandal Bank Century maupun mafia pajak.
Publik bisa membaca modus penegak hukum menyederhanakan persoalan agar stagnasi
proses hukum menjadi masuk akal.
Caranya,
sangkaan untuk kasus korupsi berjamaah yang diduga melibatkan orang penting
dilokalisir pada satu-dua orang yang secara politis lemah. Mereka dijadikan
korban. Lalu, agar terjadi stagnasi proses hukum terhadap orang-orang penting
itu, penegak hukum pasang badan dengan bersilat lidah tentang bukti hukum yang
tidak ada.
Itulah yang
terjadi pada Robert Tantular dan Arga Tirta Kirana (mantan Kepala divisi legal
Bank Century) dalam skandal Bank Century, dan Nazaruddin dalam kasus wisma
atlet dan proyek hambalang, serta Gayus Tambunan dalam kasus mafia pajak.
Praktis tidak ada proses hukum terhadap orang-orang penting yang diindikasikan
terlibat dalam kasus-kasus itu.
Padahal, baik
skandal Century, kasus mafia pajak maupun kasus Wisma Atlet, bisa menyedot
perhatian publik karena indikasi keterlibatan orang penting atau pejabat tinggi
negara. Kasus wisma atlet menyita perhatian publik karena terlibatnya
Nazaruddin yang saat itu menjabat bendahara umum PD.
Kalau bukan
karena faktor Nazaruddin sebagai orang PD, kasus ini dengan cepat dilupakan
publik. Kalau kasus ini hanya menampilkan Rosa, El Idris dan Wafid Muharam,
publik pasti kurang peduli, sebab mereka bukan tokoh atau pengurus partai yang
berkuasa. Begitu pula Skandal Bank Century. Karena pejabat tinggi negara
terindikasi menyalahgunakan wewenang, kasus ini bahkan mungkin akan sulit
dilupakan rakyat Indonesia dalam rentang waktu yang sangat lama.
Rakyat
kebanyakan memang memilih diam menyaksikan semua kebohongan itu. Sikap mereka
memang berbeda dengan kepedulian anak-anak muda yang turun ke jalan melancarkan
protes atau menyampaikan aspirasi, termasuk para cendekiawan yang sering tampil
berbicara di sejumlah acara talk show.
Namun, dalam
diam itu, bukan berarti rakyat kebanyakan bersikap masa bodoh terhadap masa
depan penegakan hukum di negara tercinta ini. Mereka, sesekali, tetap
menggunjingkan proses hukum sejumlah kasus yang menjadi perhatian mereka. Kalau
nama Gayus, Nazaruddin atau Bank Century sangat popular hingga di akar rumput,
itu pertanda rakyat mencermati setiap masalah.
Hanya saja,
mereka tidak lantang. Suara atau aspirasi mereka tidak terdengar. Dalam diam
itu, rakyat sesungguhnya terus memberi toleransi atas semua kebohongan dalam
praktik penegakan hukum. Mereka hanya bisa tersenyum sinis sambil geleng kepala
ketika tahu Gayus boleh jalan-jalan kendati berstatus tahanan.
Namun, rakyat
juga kecewa ketika Nazaruddin memilih diam dan mengaku lupa atas beberapa kasus
korupsi yang dia ungkap selama periode pelariannya. Kecewa karena Nazaruddin
tidak mempertajam tuduhannya dengan bukti-bukti yang lebih meyakinkan.
Rakyat pun ikut
menangis ketika Arga Tirta Kirana dituntut dengan hukuman yang lebih berat dari
Robert Tantular. Padahal, dia hanya seorang bawahan yang mengikuti perintah dan
kemauan keluarga Robert Tantular.
Sikap diam
Nazaruddin terlanjur dinilai publik sebagai antiklimaks kasus Wisma Atlet.
Penilaian itu mencerminkan kekecewaan yang sangat mendalam. Bersamaan dengan
itu, penanganan skandal Bank Century memunculkan dua perkembangan baru.
Pertama, hasil sementara audit forensik BPK yang mengindikasikan penyalahgunaan
wewenang oleh dua pejabat tinggi negara. Kedua, tampilnya Muhammad Misbakhun,
mantan anggota DPR dari F-PKS, yang telah bebas dari masa hukumannya.
Misbakhun
berjanji akan pro aktif mendorong penuntasan skandal Bank Century. Dia punya
bukti tambahan baru yang bersumber dari Robert Tantular sendiri. Selama
menjalani masa hukumannya, dia sempat bertemu dan berbincang dengan Robert
Tantular di penjara.
Dengan
demikian, pasca lebaran nanti, tekanan publik kepada pemerintah dan penegak
hukum akan semakin kuat. Jika dimunculkan bukti baru maupun bukti tambahan atas
beberapa kasus besar tadi, dinamikanya akan ikut memengaruhi toleransi rakyat.
Pada posisi
sekarang, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan penegak hukum sudah
anjlok. Jika tidak bijak merespons tuntutan publik bagi kejelasan proses hukum
kasus Century dan kasus Wisma Atlet, risikonya bisa saja menjadi sangat
mahal.
Oleh: Bambang
Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
0 Response to "Sandiwara Hukum dan Toleransi Rakyat"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!