Inkonsistensi Penegakan Hukum
Konsistensi
kita mengaktualisasi era penegakan hukum terus menghadapi godaan. Tak kuat
menghadapi tekanan dan tergiur iming-iming, penegak hukum tidak hanya
ambivalen, tetapi juga selingkuh. Kasus Bibit-Chandra, skandal Bank Century
hingga pemberantasan makelar kasus (markus) jelas-jelas sudah membelokkan arah
penegakan hukum. Ekstremnya, kita sedang bergerak mundur. Ketiga kasus itu
setidaknya telah membuat institusi penegak hukum bingung alias kehilangan
fokus. Inkonsistensi penegak hukum kita boleh jadi disebabkan adanya tekanan
plus iming-iming kekuasaan. Dua faktor itu membuat penegak hukum gelap mata,
tergoda dan nekad selingkuh.
Akibatnya,
kesan yang muncul menjadi kontradiktif. Setelah 4-5 tahun kita tampak begitu
heroik mewujudkan penegakan hukum, wajah institusi penegak hukum kita kini
terkesam lamban. Lalu, kalau dihadapkan pada ambisi mewujudkan negara hukum,
kita ibarat sosok dengan nafsu besar tenaga kurang.
Kepercayaan dan
keyakinan masyarakat akan konsistensi penegakan hukum mulai menurun saat kita
dihadapkan pada episode kasus "cicak vs buaya" tempo hari. Dalam
episode itu, masyarakat diberi gambaran kalau unsur pimpinan KPK akan dijerat
kasus penyuapan atau pemerasan. Beruntung, dimunculkan rekaman pembicaraan para
pihak tentang "kemungkinan" rekayasa kasus ini. Banyak orang
ternganga, setengah tak percaya, atas keterlibatan para pejabat penegakan hukum
dalam rekaman pembicaraan itu.
Tim Delapan
yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemudian merekomendasikan
agar polisi menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) jika
perkara ini masih di tangan polisi. Sedangkan kejaksaan diminta menerbitkan
surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) jika perkaranya sudah dilimpahkan
ke kejaksaan. Atau, jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum,
perkara perlu dihentikan berdasarkan asas oportunitas.
Jaksa Agung
dapat mendeponir perkara ini. Rekomendasi ini tidak dilaksanakan, sehingga
kasus Bibit-Chandra berpotensi sampai ke pengadilan, setelah Anggodo memenangi
gugatan praperadilannya di Pengadilan Tinggi Jakarta.
Sementara itu,
para ahli hukum masih memperdebatkan perkembangan terbaru kasus Bibit-Chandra.
Rapat koordinasi antara Tim Pengawas Century dan pimpinan KPK, Kapolri Bambang
Hendarso Danuri, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji di DPR, baru-baru ini,
seperti melahirkan kontroversi baru. Wakil Ketua KPK M Jasin mengaku belum
menemukan indikasi pelanggaran tindak pidana korupsi dalam kasus kucuran dana
talangan ke Bank Century. KPK juga belum menemukan tindak pidana korupsi dalam
penelusuran penggunaan dana fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP). Lalu,
Jaksa Agung Hendarman Supandji pun mengaku kasus Century belum dapat disebut
merugikan keuangan negara.
Mendengar
jawaban seperti itu, saya langsung menantang KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung
untuk melakukan gelar perkara kasus bailout Bank Century. Saya harus
menunjukkan laporan hasil investigasi Fraksi Partai Golkar. Saya juga
membacakan sejumlah temuan hasil penyelidikan Pansus mengenai nasabah yang kami
yakini fiktif.
Dalam perang
terhadap markus, masyarakat juga bingung. Sebab, orang yang melaporkan praktik
markus tidak diapresiasi sebagaimana mestinya. Alih-Alih dilindungi, si pelapor
malah diseret ke ruang tahanan dengan tuduhan terlibat dalam kasus lain.
Mungkin,
mengacu pada kecenderungan penanganan kasus-kasus itu, Ketua Mahkamah
Konstitusi Mahfud MD menilai bahwa 12 tahun pascareformasi ternyata tak
menghasilkan perkembangan situasi hukum yang signifikan. Saat membuka Focus
Group Discussion (FGD) di Jakarta, baru-baru ini, Mahfud bahkan menilai
reformasi justru membuat hukum kian karut-marut, korupsi makin merajalela,
terutama karena aparat birokrasi dan penegak hukum masih bermasalah.
Kasus
Bibit-Chandra, terungkapnya fakta-fakta tentang markus hingga skandal Bank
Cengury, tampaknya menjadi alasan ideal bagi perselingkuhan penegak hukum
dengan kekuasaan. Ketiga kasus itu telah dijadikan alat tawar untuk saling
menekan dan saling menjanjikan iming-iming. Akibatnya, langkah dan gerak
penegak hukum kita ambivalen. Terus memburu dan memproses hukum beberapa kasus
baru, tetapi pada saat bersamaan berupaya memutarbalikkan fakta atau
mengabaikan kasus-kasus hukum yang semestinya diprioritaskan demi alasan rasa
keadilan rakyat.
Kemenangan
Anggodo atas gugatan praperadilannya di Pengadilan Tinggi Jakarta bisa kita maknai
sebagai gertakan terhadap Bibit-Chandra. Bahwa kalau KPK konsisten mengatakan
ada tindak pidana korupsi dalam bailout Bank Century, proses hukum dugaan
penyuapan atau pemerasan yang disangkakan kepada Bibit-Chandra akan berlanjut
sampai di pengadilan.
Bibit-Chandra
mungkin saja bersih. Tetapi, adakah jaminan bahwa kasus mereka di pengadilan
tidak diintervensi markus untuk menyatakan keduanya terbukti bersalah? Walau
"bersih", keduanya pun pasti tidak mau berkorban atau dipaksa tidur
bertahun-tahun di hotel prodeo.
Sesi awal
pengungkapan fakta tentang markus ternyata begitu dahsyat. Kita semua terkejut
karena markus dipraktikan begitu kolosal, melibatkan birokrasi negara dan
penegak hukum. Oknum birokrasi melakukan korupsi dan oknum penegak hukum akan
mengamankannya manakala kasus korupsi itu terungkap. Itulah yang terjadi pada
kasus Gayus Tambunan. Gayus tidak sendiri. Atasannya di Ditjen Pajak, polisi,
jaksa dan hakim diduga terlibat.
Fakta-fakta
awal tentang markus pun langsung dijadikan alat tawar oleh pihak-pihak yang
saling berkepentingan. Maka, instruksi Presiden untuk memerangi markus seperti
kehilangan acuan, dan hanya berkutat di sekitar kasus Gayus Tambunan.
Sungguh cara
penegak hukum menangani kasus Bibit-Chandra, masalah markus, dan skandal Bank
Century benar-benar mengecewakan masyarakat. Kepercayaan rakyat dan masyarakat
internasional terhadap Indonesia akan menurun ke titik nol jika ketidakpastian
hukum seperti sekarang dibiarkan berlarut-larut. Sekarang, masyarakat menilai
pemerintahan Presiden SBY sudah tidak konsisten lagi mengaktualisasikan era
penegakan hukum.
Dalam kasus
Bank Century, kalau institusi penegak hukum kita berperilaku seperti sekarang,
tatanan kenegaraan bisa berantakan, rusak tidak keruan. Bagaimana tidak? DPR
sampai harus menyelenggarakan sidang paripurna untuk membuktikan bailout Bank
Century sebuah skandal. DPR juga memutuskan dan memberi rekomendasi agar
dilakukan proses hukum terhadap pejabat tinggi negara yang terlibat. Kalau KPK
mengaku tidak menemukan tindak pidana korupsi, sama artinya dengan kerja Pansus
DPR dianggap tidak ada. Saya bingung, bagaimana penegak hukum kita
memersepsikan eksistensi DPR?
Untuk
memulihkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat, sangat penting bagi penegak
hukum meluruskan kembali berbagai penyimpangan di ranah hukum.
Oleh: Bambang
Soesatyo (Anggota Komisi III DPR/Tim Pengawas Kasus Bank Century)
0 Response to "Inkonsistensi Penegakan Hukum"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!