KH Raden Asnawi - Berjalan Kaki 18 Km. ke Gunung Muria untuk Mengajar
Kudus adalah
daerah yang terkenal dengan nama kota Kretek dan kota Santri dalam wilayah
propinsi Jawa Tengah. Kota ini dibangun oleh Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq)
dengan rentetan historisitas yang berpusat pada kerajaan Islam pertama di Jawa
(Demak). Hal ini ditengarai dari inskripsi batu nisan yang ada di atas mihrab
Masjid al-Aqsha Menara Kudus.
Di belakang Masjid al-Aqsa Menara Kudus inilah, di Komplek Makam Sunan Kudus,
hampir selalu ada saja yang mengaji. Baik yang dengan tujuan untuk berziarah,
maupun santri yang niat tabarrukan agar diberi kemudahan dalam berbagai urusan.
Di antara deretan nisan di komplek makam tersebut, terdapat makam KH Raden
Asnawi. Salah seorang ulama keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq)
dan keturunan ke-5 KH Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati.
Kelahiran
Pada hari Jum’at Pon, kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran lahir
seorang bayi yang diberi nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra dari pasangan H.
Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah ini lahir di sebuah rumah milik Mbah
Sulangsih. Tempat tinggal Mbah Sulang begitu ia akrab disapa menjadi ramai
didatangi oleh sanak saudara dan tetangga sekitar lantaran kelahiran anak
pembarep. Sudah menjadi tradisi masyarakat Kudus, setiap ada babaran
(melahirkan bayi), tetangga ikut merasakan bahagia dengan menjenguk ibu dan anak
yang dilahirkan.
H. Abdullah Husnin terkenal seorang pedagang konfeksi yang tergolong besar.
Memang sudah menjadi hal yang lumrah, rata-rata penduduk di desa ini mempunyai
penggautan (kerja) di bidang konfeksi. Potensi ekonomi masyarakatnya mengandalkan
kreatifitas memproduksi kain menjadi pakain, kerudung, rukuh, dan lain
sebagainya.
Sejak kecil, Ahmad Syamsyi diasuh oleh kedua orang tuanya, dikenalkan pada
pelajaran agama dan tata cara bermasyarakat menurut ajaran-ajaran Islam. Selain
itu, Ahmad Syamsyi juga diajarkan berdagang sejak dini. Kemudian semenjak usia
15 tahun, pada kisaran tahun 1876 M. orang tuanya memboyong ke Tulungagung Jawa
Timur. Di sana H Abdullah Husnin mengajari anaknya berdagang pagi hingga siang.
Keinginannya mencetak putra sholih mengantarkan Husnin untuk mengikutsertakan
Syamsi mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung. Waktu mengaji adalah
sepulang dari berdagang mulai sore hingga malam. Tidak diketahui apa kitab yang
ditekuni kala itu. Selain mengaji di Tulungagung, Ahmad Syamsi kemudian
melanjutkan mengaji kepada KH. Irsyad Naib Mayong, Jepara.
Pergantian Nama dan Mengajar Agama
Sewaktu umur 25 tahun, kira-kira pada tahun 1886 M. Ahmad Syamsi menunaikan
ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, KHR. Asnawi
mulai mangajar dan melakukan tabligh agama.
Kira-kira umur 30 tahun KHR. Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang
kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah
haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap
diteruskan selama 20 tahun. Selama itu KHR. Asnawi juga pernah pulang ke Kudus
beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama
H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu
KHR. Asnawi telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.
Sepulangnya dari haji pertamanya, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan Raden
Haji Ilyas. Pergantian nama sepulang dari tanah suci sudah menjadi hal yang
wajar, namun nama Ilyas juga tidak menjadi nama hingga wafatnya. Nama Ilyas ini
kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan
ibadah haji untuk ketiga kalinya.
Selanjutnya nama Asnawi ini yang menjadi terkenal dalam pengembanagan
Ahlussunnah Waljama’ah di daerah Kudus dan sekitarnya. Dari sinilah kharismanya
muncul dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan Kiai. Sehingga nama harum
yang dikenal masyarakat luas menyebut dengan Kiai Haji Raden Asnawi (KHR.
Asnawi).
Sebagaimana lazimnya, sebutan Kiai ini tidaklah muncul begitu saja, atau
dedeklarasikan dalam sebuah peristiwa, namun ia diperoleh melalui pengakuan
masyarakat yang diajarkan agama secara berkesinambungan sejak KHR. Asnawi
berumur 25 tahun. Pada setiap Jumu’ah Pahing, sesudah shalat Jumu’ah, KHR.
Asnawi mengajar Tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak + 18
Km dari kota Kudus, dan jalan pegunungan yang menanjak ini ditempuhnya dengan
berjalan kaki. KHR. Asnawi juga selalu berkeliling mengajar dari masjid ke
masjid sekitar kota saat shalat Shubuh.
Secara khusus KHR. Asnawi juga mengadakan pengajian rutin, seperti Khataman TafsirJalalain
dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab
Bidayatul Hidayah dan al-Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam
Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar
dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid
al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai KHR. Asnawi wafat, kitab ini belum khatam,
makanya diteruskan oleh al-Hafidh KHM. Arwani Amin sampai khatam.
Kegiatan tabligh KHR. Asnawi untuk menyebarkan akidah Ahlusunnah wal Jamaah
tidaklah terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, melainkan juga menjangkau ke
daerah lain seperti Demak, Jepara, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu,
dan Blora.
Di antara ilmu yang diutamakan oleh KHR. Asnawi adalah Tauhid dan Fiqih. Karenanya,
bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, KHR. Asnawi hingga kini masih selalu
diingat melalui karya populernya yang kini dikenal dengan “Shalawat
Asnawiyyah.” Selain itu karya Asnawi seperti Soal Jawab Mu’taqad
Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (yang disusun oleh KH. Minan Zuhri), Syi'ir
Nasihat, Du’aul ‘Arusa’in, Sholawat Asnawiyyah dan syi’iran lainnya juga
tetap diajarkan di pengajian-pengajian pesantren dan masjid-masjid hingga saat
ini.
Mukim di Tanah Suci
Di Makkah, KHR. Asnawi tinggal di rumah Syeikh Hamid Manan (Kudus). Namun
setelah menikahi Nyai Hj. Hamdanah (janda Almaghfurlah Syeikh Nawawi
al-Bantani), KHR. Asnawi pindah ke kampung Syami’ah. Dalam perkawinannya dengan
Nyai Hj. Hamdanah ini, KHR. Asnawi dikaruniai 9 putera. Namun hanya 3 puteranya
yang hidup hingga tua. Yaitu H. Zuhri, Hj. Azizah (istri KH. Shaleh Tayu) dan
Alawiyah (istri R. Maskub Kudus).
Selama bermukim di Tanah Suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala
rumah tangga, KHR. Asnawi masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu
agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di
Masjidil Haram maupun di rumah. Para Kyai Indonesia yang pernah menjadi gurunya
adalah KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Mahfudz (Termas), KH. Nawawi (Banten)
dan Sayid Umar Shatha.
Selain itu, KHR. Asnawi juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya,
di antara yang ikut belajar padanya, antara lain adalah KH. Abdul Wahab
Hasbullah (Jombang), KH. Bisyri Sansuri (Pati/Jombang), KH. Dahlan
(Pekalongan), KH. Shaleh (Tayu pati), KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan
KHA. Mukhit (Sidoarjo). Di samping belajar dan mengajar agama Islam, KHR.
Asnawi turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat
Islam) di Mekah bersama dengan kawan-kawannya yang lain.
Pada waktu bermukim ini, KHR. Asnawi pernah mengadakan tukar pikiran dengan
salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau
tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis
dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat
antara keduanya. Karena itu KHR. Asnawi bermaksud ingin memperoleh fatwa dari
seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan KHR. Asnawi dan
Syeikh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti
di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi fatwanya. (sayang,
catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang
keluarga KHR. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas, meskipun sudah diberitahu).
Melihat tulisan dan jawaban KHR. Asnawi terhadap tulisan Syeikh Ahmad Khatib
itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan KHR. Asnawi.
Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syeikh Hamid Manan untuk
diperkenalkan dengan KHR. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan
yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan
kepada KHR. Asnawi dan diatur agar KHR. Asnawi nanti yang melayani mengeluarkan
jamuan.
Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syeikh Hamid Manan
dan KHR. Asnawi sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah
bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana
Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk
KHR. Asnawi yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu
dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat KHR.
Asnawi, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala KHR. Asnawi sambil
berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: "Sungguh
saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira
tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapih".
Madrasah, Masjid Menara dan Penjara
Saat menjenguk kampung halamannya, bersama kawan-kawannya KHR. Asnawi
mendirikan Madrasah Madrasah Qudsiyyah (1916 M). Dan tidak berselang lama, KHR.
Asnawi juga memelopori pembangunan Masjid Menara secara gotong royong. Malam
hari para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk
dikerjakan pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan
itulah, terjadi huru-hara pada tahun 1918 H. Di mana KHR. Asnawi dan
kawan-kawannya terpaksa menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah Belanda
yang menghina Islam.
Di tengah-tengah umat Islam bergotong royong membangun Masjid Menara siang
malam, orang-orang Cina malah mengadakan pawai yang akan melewati depan Masjid
Menara. Para Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam pun mengirim surat kepada
pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawai lewat depan masjid Menara, karena
banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari.
Permintaan itu tidak digubris. Pawai tetap digelar. Ironisnya, dalam rentetan
pawai itu, juga menampilkan adegan yang sangat menghina umat Islam. Di mana ada
dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang
berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menyebutnya Cengge. Pawai
Cina yang datang dari depan masjid Manara menuju selatan, itu pun berpapasan
dengan santri-santri yang sedang bergotongroyong mengambil pasir dan batu
dengan grobak dorong (songkro). Kedua pihak tidak ada yang mengalah. Hingga
terjadi pemukulan terhadap seorang santri oleh orang Cina.
Pemukulan terhadap salah seorang santri ditambah adanya Cengge itulah, insiden
Cina-Islam di Kudus yang dikenal dengan huru hara Cina, terjadi. Ejekan dan
hinaan dari orang-orang Cina terus saja terjadi. Hingga orang-orang Islam
terpaksa mengadakan perlawanan. Para Ulama memandang beralasan untuk mengadakan
pembelaan, namun tidak sampai pada pembunuhan.
Ironisnya, dalam insiden tersebut, ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan
untuk mengambil barang-barang orang Cina. Dan tanpa sengaja, menyentuh lampu
gas pom yang menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun
orang Jawa.
Kejadian inilah yang berbuntut penangkapan terhadap KH. Asnawi dan rekannya KH.
Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain, dengan
dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah.
Mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman 3 tahun.
Tidak sekali saja KHR. Asnawi di penjara. Pada zaman penjajahan Belanda, KHR.
Asnawi sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya tentang Islam
serta menyisipkan ruh nasionalisme dalam pidatonya. Pun pada masa pendudukan
Jepang. KHR. Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan
pondok KHR. Asnawi dikepung oleh tentara Dai Nippon. KHR. Asnawi pun dibawa ke
markas Kempetai di Pati.
Meski sering menghadapi ancaman hukuman, namun KHR. Asnawi tidak pernah
berhenti berdakwah, amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan di dalam penjara sekalipun,
KHR. Asnawi tetap melakukan amar ma'ruf nahi munkar. KHR. Asnawi tetap membuka
pengajian di penjara. Banyak kemudian di antara para penjahat kriminal yang
dipenjara bersamanya, kemudian menjadi murid KHR. Asnawi.
Pada masa-masa revolusi kemerdekaan terutama menjelang agresi militer Belanda
ke-1, KHR. Asnawi mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah dan
do’a surat Al-Fiil. Tidak sedikit pemuda-pemuda yang tergabung dalam
laskar-laskar bersenjata berdatangan meminta bekal ruhaniyah sebelum berangkat
ke medan pertempuran melawan penjajah.
Larangan Berdasi dan Prinsip Perjuangan
Dalam memperjuangkan Islam, KHR. Asnawi memiliki pendirian yang teguh.
Prinsip-prinsip hidupnya sangat keras dan watak perjuangnnya terkenal galak,
sebab kala itu bangsa Indonesia sedang dirundung nestapa penjajahan kaum kafir.
Keyakinan inilah yang dipeganginya sangat kokoh sekali. Bagi KHR. Asnawi,
segala hal yang dilaksanakan oleh Belanda tidak boleh ditiru. Bahkan tidak
segan-segan KHR. Asnawi memfatwakan hukum agama dengan sangat tegas, anti-kolonialisme,
seperti mengharamkan segala macam bentuk tasyabbuh (menyerupai)
perilaku para penjajah dan antek-anteknya.
Salah satu diantara fatwanya yang keras ini adalah larangan untuk memakai
berdasi dan menghidupkan radio, termasuk menyerupai gaya jalan orang-orang
kafir (Belanda dan China). Fatwa larangan berdasinya ini sangat terkenal,
hingga suatu ketika KH Saifuddin Zuhri melepaskan dasi dan sepatunya ketika
mengunjungi KHR. Asnawi. KH Saifuddin Zuhri kala itu sedang menjabat Menteri
Agama, namun demi menghormati KHR. Asnawi, ia bertamu hanya dengan memakai
sandal tanpa dasi.
Kemauan keras KHR. Asnawi agar Islam tetap eksis tanpa campur tangan penjajah
kafir sudah menjadi pertaruhan jiwa dan raganya. KHR. Asnawi memadukan pola
keulamaan dan gerakan taushiyah dengan pesan melaksanakan jihad atas
pemberontakan bangsa kafir.
Pada kisaran tahun 1927 M. KHR. Asnawi membangun pondok pesantren di Desa
Bendan Kerjasan Kudus, di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar
Dalem) dan dukungan dari para dermawan dan umat Islam. Pada tahun ini pula,
Charles Olke Van Der Plas (1891-1977), seorang pegawai sipil di Hindia Belanda,
pernah datang ke rumah KHR. Asnawi untuk meminta kesediaannya memangku jabatan
penghulu di Kudus. Secara tegas KHR. Asnawi menolak penawaran tersebut.
Dalam pandangan KHR. Asnawi, jika dirinya diangkat sebagai penghulu, maka tidak
akan lagi dapat bebas melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat.
Beda halnya jika tetap menjadi orang partikelir, ia dapat berdakwah tanpa harus
menanggung rasa segan (ewuh pakewuh).
Pada tahun 1924 M. KHR. Asnawi ditemui oleh KH Abdul Wahab Chasbullah Jombang
untuk bermusyawarah guna membentengi pertahanan akidah Ahlussunah wal Jamaah
dan menyetujui gagasan tamu yang pernah belajar kepadanya ini. Selanjutnya,
bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab
1344 H./31 Januari 1926 M. KHR. Asnawi turut membidani lahirnya jam’iyah
Nahdlatul Ulama (NU).
Semasa hidupnya, KHR. Asnawi KH. Raden Asnawi telah berjasa besar bagi Islam
dan bangsa Indonesia melalui keterlibatannya dalam organisasi pergerakan
kemerdekaan. Selain itu, KHR. Asnawi juga menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh
pergerakan nasional dari berbagai kalangan, seperti Semaun, H Agus Salim dan
HOS. Cokroaminoto.
Syahadatain Terakhir
KHR. Asnawi berpulang ke rahmatullah pada Sabtu Kliwon, 25
Jumadil Akhir 1378 H. bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M. pukul 03.00 WIB.
KHR. Asnawi meninggal dunia dalam usia 98 tahun, dengan meninggalkan 3 orang
istri, 5 orang putera, 23 cucu dan 18 cicit (buyut).
Kepulangan ulama besar Kudus ke rahmatullah ini tidak terduga. Sebab
satu minggu sebelum wafatnya KHR. Asnawi masih masih nampak segar bugar ketika
turut bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta.
Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar
mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari
kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya, Nyai Hj. Hamdanah, kembali
berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. Dan dua
kalimat syahadat (syahadatain/Asyhadu an laa ilaaha illallah wa Asyhadu
anna Muhammadan Rasulullah) adalah kalimat terakhir yang mengantarkan
arwahnya kerahmatullah.
Kabar wafatnya KH.R Asnawi disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat
Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB. Penyiaran itu atas inisiataif
Menteri Agama RI KH Wahab Chasbullah yang ditelephon oleh HM. Zainuri Noor.
Sumber:
nu.or.id
0 Response to "KH Raden Asnawi - Berjalan Kaki 18 Km. ke Gunung Muria untuk Mengajar"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!