Menggusur Tanah Rakyat untuk Kepentingan Umum
Menggusur Tanah Rakyat untuk Kepentingan Umum - Pembangunan ternyata banyak menimbulkan
ekses. Di antaranya yang cukup serius dan merugikan kepentingan rakyat, adalah
penggusuran tanah untuk kepentingan pembangunan. Dalih penggusuran tersebut
biasanya untuk kepentingan umum. Tetapi, tak jarang diktum kepentingan umum itu
adalah selubung saja untuk menutupi kepentingan beberapa oknum tertentu. Hal
ini diperparah lagi oleh kenyataan bahwa ganti rugi penggusuran biasanya tidak
sesuai dengan yang dikehendaki rakyat. Pada dasarnya penggusuran tanah oleh
pemerintah demi kepentingan umum (al-maslahah al-’ammah) hukumnya adalah boleh,
dengan syarat betul-betul pemanfaatannya untuk kepentingan umum yang dibenarkan
oleh syara’ tentunya dengan ganti rugi yang memadai.
Hal ini pernah terjadi ketika sahabat
Umar ra diangkat sebagai Khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, ia
perluas mesjid Nabawi dengan membeli rumah dan dirobohkannya. Lalu ia menambah
perluasannya dengan merobohkan (bangunan) penduduk sekitar mesjid yang enggan
menjualnya. Beliau lalu memberi harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya.
Beliau membangun dinding yang pendek kurang dari tinggi manusia, dan memasang
lampu-lampu di atasnya. Beliau adalah orang yang pertama kali membuat dinding
untuk mesjid. Begitulah yang diterangkan oleh al-Mawardi dalam Ahkamus
Sulthoniyah.
Nampaknya penggusuran tanah oleh
pemerintah bukanlah barang baru. Pertanyaan dan permasalahan serupa juga sudah
pernah dibahas dalam Hasyiyah ‘Ali Syibramallisi ‘ala Nihayah al-Muhtaj
وَقَعَ
السُؤَالُ عَمَّا يَقَعُ بِمِصْرِنَا كَثِيْرًا مِنَ الْمُنَادَاةِ مِنْ جَانِبِ
السُّلْطَانِ بِقَطْعِ الطُّرُقَاتِ الْقَدْرَ الْفُلاَنِيَّ هَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ
وَهَلْ هُوَ مِنَ اْلأُمُوْرِ الَّتِيْ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا مَصْلَحَةٌ
لِعَامَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ فَتَجِبُ عَلَى اْلإِمَامِ ثُمَّ مَيَاسِرِ
الْمُسْلِمِيْنَ أَمْ لاَ؟ وَالْجَوَابُ، الظَّاهِرُ الْجَوَازُ بَلِ الْوُجُوْبُ
حَيْثُ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ مَصْلَحَةٌ. وَالظَّاهِرُ الْوُجُوْبُ عَلَى اْلإِمَامِ
فَيَجِبُ عَلَيْهِ صَرْفُ أُجْرَةِ ذَلِكَ مِنْ أَمْوَالِ بَيْتِ الْمَالِ فَإِنْ
لَمْ يَتَيَسَّرْ ذَلِكَ لِظُلْمِ مُتَوَلِّيْهِ فَعَلَى مَيَاسِرِ
الْمُسْلِمِيْنَ
Ada pertanyaan tentang kasus yang sering
terjadi di kota kami, tentang orang-orang pemerintahan yang menyerukan pemotongan
beberapa ruas jalan dengan ukuran tertentu: “Apakah hal itu boleh? Apakah
termasuk perkara yang menghasilkan kemaslahatan umum umat Islam, maka wajib
bagi penguasa, lalu orang-orang kaya muslim atau tidak?” Jawabannya adalah:
“Yang jelas hal itu boleh, bahkan wajib bagi penguasa sekira menghasilkan
kemaslahatan. Yang jelas kewajiban itu dibebankan bagi penguasa, dan ia wajib
membayar biayanya dari bait al-mal. Bila hal itu tidak mudah dilakukan karena
kezaliman pegawainya, maka biaya itu dibebankan pada orang-orang kaya muslim.
Bahkan As-Syathibi dalam muwafaqatnya,
secara jelas meqiyaskan alasan pendahuluan kepentingan umum ini dengan
pelarangan pembelian barang dagangan sebelum sampai di pasar. Atau juga
pelarangan melakukan perdagangan kepada penduduk pedalaman yang buta harga.
Karena hal ini menjurus pada monopoli harga yang akan merugikan masyarakat
(kepentingan umum).
... ِلأَنَّ الْمَصَالِحَ الْعَامَّةَ مُقَدَّمَةٌ عَلَى
الْمَصَالِحِ الْخَاصَّةِ بِدَلِيْلِ النَّهْيِ عَنْ تَلَقِّى السِّلَعِ وَعَنْ
بَيْعِ الْحَاضِرِ لِلْبَادِيِّ وَاتِّفَاقِ السَّلَفِ عَلَى تَضْمِيْنِ
الصُّنَّاعِ مَعَ أَنَّ اْلأَصْلَ فِيْهِمْ اْلأَمَانَةُ ... لَكِنْ بِحَيْثُ لاَ
يَلْحَقُ الْخُصُوْصُ مَضَرَّةً
... sesungguhnya kepentingan umum itu
didahulukan di atas kepentingan khusus, berdasarkan dalil pelarangan pembelian
barang sebelum sampai pasar, penjualan barang orang kota ke orang pedalaman
(yang buta harga) dan kesepakatan ulama salaf terhadap jaminan yang harus
ditanggung oleh tukang (jika terjadi kerusakan) besertaan hukum dasar bagi
mereka adalah amanah. ... sekiranya yang khusus itu tidak mengalami bahaya.
Adapun mengenai kreteria kepentingan
umum, para ulama fiqih terdahulu biasa menyebutkan tiga hal yaitu masjid, jalan
umum dan kuburan. Seperti halnya yang dikemukakan oleh ad-dasuqi dalam Hasyiyah
al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir. Tentunya pemaknaan kepentingan umum ini akan
terus berkembang hingga kini, termasuk di dalamnya adalah fasilitas umum
misalnya taman kota, halte, dan juga WC umum.
وَأَمَّا
لَوْ أُجْبِرَ عَلَى الْبَيْعِ جَبْرًا حَلاَلاً كَانَ الْبَيْعُ لاَزِمًا
كَجَبْرِهِ عَلَى بَيْعِ الدَّارِ لِتَوْسِعَةِ الْمَسْجِدِ أَوِ الطَّرِيْقِ أَوِ
الْمَقْبَرَةِ
Adapun jika dipaksa untuk menjual dengan
pemaksaan yang halal, maka penjualannya sah sebagaimana pemaksaan menjual tanah
untuk perluasan mesjid, jalan umum atau kuburan.
Begitu tingginya posisi kepentingan
umum, sehingga jikalau terjadi pembangkangan terhadap keputusan pemerintah ini,
fiqih tidak melarang adanya pemaksaan. Dengan catatan pihak pemerintah benar-benar
amanah (tidak ada kepentingan pribadi atau golongan) dan dengan ganti rugi yang
berdasar pada konsep ‘saling rela’. Begitulah yang dikemukakan oleh Musthafa
Ahmad al-Zarqa dalam Madkhal al-Fiqh al-‘Amm
وَالصُّوْرَةُ
الثَّانِيَةُ هِيَ الاسْتِمْلاَكُ لِأَجْلِ مَصَالِحِ الْعَامَّةِ فَقَدْ أَجَازَ الشَّرْعُ
اْلإِسْلاَمِيُّ اسْتِمْلاَكَ اْلأَرْضِ الْمُجَاوِرَةِ لِلْمَسْجِدِ جَبْرًا عَلَى
أَصْحَابِهَا إِذَا امْتَنَعُوْا عَنْ بَيْعِهَا وَضَاقَ الْمَسْجِدُ بِأَهْلِهِ وَاحْتَاجَ
إِلَيْهَا كَمَا أَجَازُوْا مِثْلَ ذَلِكَ لِأَجْلِ تَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ إِذَا دَعَتْ
حَاجَةُ النَّاسِ إِلَى تَوْسِيْعِهِ وَذَلِكَ بِالْقِيْمَةِ الَّتِيْ يُسَاوِيْهَا
الْعِقَارُ الْمُسْتَمْلَكُ حَتَّى لَقَدْ نَصَّ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ
أَنْ يُؤْخَذَ لِتَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ جَانِبٌ مِنَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ الْحَاجَةِ
Contoh kedua adalah pengambilan hak
milik demi kepentingan umum. Agama Islam memperbolehkan pengambilan hak milik
tanah yang berdampingan dengan mesjid secara paksa jika si pemilik enggan
menjualnya. Sementara mesjid sudah sempit bagi para jamaahnya dan mereka
membutuhkannya. Seperti halnya para ulama memperbolehkan kasus semacam itu
untuk perluasan jalan umum ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan
memberikan (ganti rugi) harga yang sepadan dengan harga tanah yang diambil hak
miliknya. Bahkan para fuqaha juga telah menjelaskan, bahwa boleh mengambil satu
sisi dari mesjid untuk keperluan perluasan jalan umum ketika dibutuhkan.
Sampai di sini jelas kiranya bahwa fiqih
sangat memperhatikan kepentingan umum, adapun pemerintah sebagai pengayom dan
pengambil kebijakanharuslah tetap berada dalam koridor obyektif. Sehingga
kepentingan umum itu benar-benar berfungsi sebagai kepentingan umum, bukan
kepentingan pribadi atau golongan.
Sumber: nu.or.id
0 Response to "Menggusur Tanah Rakyat untuk Kepentingan Umum"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!