Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 (1/3)

Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 (1/3)
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
Oleh: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
Jakarta, 8 Agustus 2010/28 Sya’ban 1432

Pendahuluan
Hampir seluruh negara modern di dunia ini mempunyai sebuah institusi yang disebut dengan istilah ”kejaksaan”, yang mempunyai tugas utama melakukan penuntutan dalam perkara pidana ke pengadilan.  Istilah ”jaksa” atau ”kejaksaan” sebagai institusi dalam bahasa Indonesia tidaklah mudah untuk dipersamakan dengan istilah yang sama dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris dibedakan antara ”attorney general” dengan ”public prosecutor”. Istilah pertama diartikan sebagai ”jaksa agung” dalam bahasa Indonesia, sedang yang kedua diartikan sebagai ”penuntut umum”. Demikian pula dalam Bahasa Belanda, dibedakan antara ”officer van justitie” untuk istilah ”jaksa” dan ”openbaar aanklager” untuk ”penuntut umum”. Sementara dalam Bahasa Melayu Malaysia digunakan istilah ”peguam negara” untuk jaksa, dan ”pendakwa raya” untuk ”penuntut umum”, yang kesemuanya berada di bawah Jabatan Peguam Negara. Jabatan ini adalah semacam Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Dalam Negeri.

Sebelum membahas lebih lanjut kedudukan kejaksaan dan posisi jaksa agung di bawah sistem Presidensial UUD 1945, di bawah ini akan saya jelaskan latar belakang sejarah kedudukan kejaksaan di negara kita.

Latar Belakang Sejarah
Dalam sejarah Indonesia sejak zaman kolonial Hindia Belanda, kita mengenal adanya institusi yang dinamakan dengan istilah officer van justitie, yang tugas pokoknya adalah menuntut seseorang ke pengadilan dalam suatu perkara tindak pidana. Istilah ”jaksa” umumnya digunakan untuk menerjemahkan istilah officer van justitie itu, karena pada kesultanan-kesultanan di Jawa, istilah ini terkait dengan kegiatan menuntut seseorang yang diduga melakukan kejahatan ke hadapan mahkamah, untuk diadili dan diambil keputusan apakah salah atau tidak, meskipun kegiatan itu dilakukan oleh polisi atau malahan oleh hakim sendiri.  Istilah ”jaksa” baru secara resmi digunakan di masa pendudukan Jepang untuk menggantikan istilah ”officer van justitie” bagi petugas yang melakukan penuntutan perkara di pengadilan pemerintah militer Jepang.

Di awal kemerdekaan, pada tanggal 19 Agustus 1945, Presiden RI  mengumumkan pengangkatan Jaksa Agung RI yang pertama, Mr. Gatot dan mengumumkan pelantikan Ketua Mahkamah Agung,  Dr. Kusumah Atmadja. Pelantikan ini merupakan pelantikan kedua pejabat negara, setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden sehari sebelumnya, tanggal 18 Agustus 1945. Hanya lebih kurang sebulan Mr. Gatot  menjalankan jabatan itu, kemudian digantikan oleh tokoh yang lebih berpengaruh, yakni Mr. Kasman Singodimedjo, yang juga merangkap sebagai Panglima Barisan Keamanan Rakyat (BKR).

Dalam tradisi penyelenggaraan peradilan di zaman Hindia Belanda, jaksa tidaklah semata-mata berurusan dengan penuntutan perkara pidana ke pengadilan. Ketententuan-ketentuan dalam Herzeine Indonesich Reglement  (HIR)  yang diperluas dengan Regerings  Reglement Stb Tahun 1922  No 522  menyebutkan tugas jaksa, selain sebagai ”officer van justitie” juga menjadi ”advokaat” dan ”lands advokat” yang mewakili kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dalam perkara-perkara perdata.  Dalam menjalankan tugas  sebagai penuntut umum atau openbaar anklager  jaksa juga tidak sekedar menerima hasil penyidikan perkara pidana yang dilimpahkan oleh polisi, tetapi berwenang untuk melakukan penyidikan lanjutan untuk memperdalam hasil penyidikan yang dilimpahkan itu, guna mempertajam penyusunan surat dakwaan yang akan mereka serahkan  ke pengadilan. Ketika Indonesia telah merdeka, ketentuan-ketentuan dalam HIR diperbaharui menjadi Reglement Indonesia yang Diperbaharui (RIB).

Meskipun kita telah merdeka dan memiliki  UUD yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan telah  menjadi Jaksa Agung, namun di awal kemerdekaan itu, kita belumlah mempunyai peraturan perundang-undangan sendiri yang mengatur kedudukan, tugas dan kewenangan kejaksaan.  Untuk mengatasi  kevakuman hukum inilah, maka  Pemerintah kita  tetap menggunakan peraturan-peraturan lama yang diwariskan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dasar hukum menggunakan peraturan warisan kolonial itu ialah ketentuan    Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa ”segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Kejaksaan adalah badan negara (staatsorgan) yang sudah ada sebelum kita merdeka, demikian pula aturan-aturannya. Jadi, Kejaksaan Agung RI,  pada dasarnya  meneruskan apa yang telah ada diatur di dalam Indische Staatsregeling, yakni semacam undang-undang dasar negeri jajahan, Hindia Belanda, yang menempatkan Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah Agung. Sementara secara administratif, baik kejaksaan maupun pengadilan berada di bawah Kementerian Kehakiman. Itulah sebabnya, dalam rapat PPKI (Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 19 Agustus, Professor Soepomo melaporkan bahwa ruang lingkup tugas Kementerian Kehakiman yang akan dibentuk ialah menangani hal-hal administrasi pengadilan, kejaksaan, penjara, nikah, talak dan rujuk serta penanganan masalah wakaf dan zakat.  Sedangkan  landasan hukum bagi Kejaksaan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya, seperti telah saya katakan, sepenuhnya didasarkan pada Herzeine Indonesich Reglement  (HIR) yang diperluas dengan Regering Reglement Stb 1922 No 522. HIR kemudian dirubah menjadi RIB (Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui).

Ketentuan-ketentuan di dalam Indische Staatsregeling yang mengatur kedudukan Kejaksaan, pada dasarnya adalah sama dengan ketentuan-ketentuan di dalam UUD Negeri Belanda. Negeri Belanda menganut sistem pemerintahan Parlementer. Secara teori, konstitusi Belanda memang memisahkan tugas badan eksekutif dengan badan yudikatif. Namun dalam tradisi di Negeri Belanda, semua hakim dan jaksa, adalah pegawai negeri. Secara struktural organisasi, personil dan keuangan baik jaksa maupun pengadilan berada di bawah Ministrie van Justititie (Kementerian Kehakiman). Namun secara fungsional dalam menjalankan tugas dan kewenangannya di bidang yudikatif, jaksa dan hakim adalah independen. Jadi, memang terdapat kerancuan kedudukan kejaksaan dalam sistem Belanda, yakni berada di antara dua sisi, antara eksekutif dan yudikatif. Pola yang sama dengan di Belanda ini, kita teruskan bukan saja berdasarkan Indische Staatsregeling, tetapi juga kita teruskan ketika kita mengundangkan UU No 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kedudukan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan.

Dalam hukum tatanegara  Belanda, Jaksa Agung diangkat oleh Perdana Menteri atas usul Menteri Kehakiman. Calon Jaksa Agung diambil dari pejabat karir berdasarkan kecakapan, pengalaman dan kemampuan. Jabatan Jaksa Agung bukanlah jabatan politik. Oleh karena tugas jaksa terkait langsung dengan pengadilan, maka dalam tradisi Belanda, Jaksa Agung disebut sebagai ”Jaksa Agung (Hoofd Officer van Justitie) pada Mahkamah Agung (Hooge Raad)”. Pola seperti ini, diikuti dengan konsisten di Hindia Belanda, dan terus dipraktikkan sampai tahun 1958, ketika Perdana Menteri Juanda mulai merintis jalan untuk melepaskan keterkaitan kejaksaan dengan pengadilan, dan mulai menempatkan kejaksaan sebagai institusi yang sepenuhnya berada di bawah eksekutif. Dalam UU Republik Indonesia Serikat (RIS) No 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, pola penempatan Jaksa Agung di Mahkamah Agung tetap dilanjutkan. Pasal 2 UU itu mengatakan ”Pada Mahkamah Agung adalah seorang Jaksa Agung dan dua orang Jaksa Agung Muda”. Sedikit perubahan terjadi para proses rekruitmen Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda, yang dalam tradisi Belanda diangkat oleh Perdana Menteri atas usul Menteri Kehakiman,   dalam undang-undang ini diangkat oleh Presiden, yang dalam praktiknya dilakukan atas usul Perdana Menteri. Sebagaimana kita maklumi, Konstitusi Republik Indonesia Serikat menganut sistem Parlementer. Keberadaan kejaksaan yang rancu antara eksekutif dan yudikatif ini, baru  berakhir pada tahun 1959,  ketika UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Meskipun Jaksa Agung pertama, sebagaimana telah saya katakan,  telah dilantik dilantik tanggal 19 Agustus 1945,  namun institusi ini belumlah dapat bekerja secara normal, akibat situasi revolusi dan perang kemerdekaan yang berlangsung hingga akhir tahun 1949. Kejaksaan baru dapat berbenah diri setelah terbentuknya  kembali Negara Kesatuan RI  menggantikan Republik Indonesia Serikat, pada tanggal 17 Agustus 1950. Pemerintah Negara Kesatuan yang baru ini dipimpin oleh  Mohammad  Natsir sebagai Perdana Menterinya. Salah satu program Kabinet Natsir ialah ”mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang bulat”. Badan-badan yudikatif, yang keadaannya tidak menentu selama Perang Kemerdekaan, kembali dikonsolidasikan Natsir.

Untuk mewujudan programnya ”menyempurnakan susunanan pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang bulat” itu,  Natsir mengangkat Mr. Wongsonegoro –  Ketua Partai Indonesia Raya dan dikenal sebagai tokoh kebatinan Jawa –  menjadi Menteri Kehakiman. PM Natsir,  kemudian mengusulkan kepada Presiden untuk mengangkat Mr. Soeprapto menjadi Jaksa Agung pada Mahkamah Agung RI, pada tanggal 28 Desember 1950.  Natsir juga membenahi badan-badan peradilan dan mengajukan ke nama-nama calon hakim agung ke DPR, yang akhirnya menyepakati untuk  mengangkat Dr. Mr. Wirjono Prodjodikuro menjadi Ketua Mahkamah Agung. Inilah awal Kejaksaan dan badan-badan peradilan bekerja secara normal dalam sejarah ketatanegaraan RI. Mr. Soeprapto lah yang meletakkan dasar-dasar Kejaksaan yang tetap dikenang sampai sekarang, sehingga patungnya didirikan di depan Gedung Kejaksaan Agung RI di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Soeprapto mulai membenahi struktur organisasi kejaksaan baik di pusat maupun di daerah, dalam suasana baru, yakni terbentuknya kembali Negara Kesatuan RI. Menyadari kekurangan-kekurangan pengaturan tentang tugas dan wewenang Kejaksaan  untuk melakukan penyidikan lanjutan sebagaimana diatur  dalam RIB, Jaksa Agung Mr. Soeprapto membentuk sebuah Direktorat di bawah Kejaksaan Agung, yang dinamakan dengan Djawatan Reserse Pusat (DRP) yang bertugas melakukan pemantauan, analisis dan penghimpunan informasi, yang meliputi berbagai kegiatan dalam masyarakat, yakni  politik, agama, aliran kepercayaan dan luar negeri.  Secara umum, terkesan bahwa kewenangan DRP hampir sama dengan kewenangan Politiek Inlichten Dienst (PID), yakni badan intelejen kolonial Belanda yang tugasnya memantau kegiatan-kegiatan yang berpotensi subversif dan dapat mengancam stabilitas keamanan pemerintah Kolonial.
Dengan informasi intelejen yang dihimpun direktorat ini, Kejaksaan memang mampu bekerja secara efektif memberantas penyelundupan, yang dilakukan oleh perwira-perwira Angkatan Darat, serta mengungkap persekongkolan politik yang dilakukan Sultan Hamid II, Sultan Pontianak yang dikenal pro-Belanda, dengan Kapten Westerling yang melakukan genosida di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Kejaksaan berhasil mengungkap persekongkolan itu, dan mendakwa Sultan Hamid ke pengadilan, yang pernah diangkat menjadi menteri dalam Kabinet RIS.  Kewenangan intelejens  Kejaksaan yang begitu besar, dan keberaniannya mendakwa para plitisi , perwira militer serta mendakwa Asa Bafagih, seorang wartawan terkemuka, menyebabkan institusi kejaksaan tidak disenangi termasuk oleh Presiden Sukarno dan kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Abdul Haris Nasution. Mr. Soeprapto berkeinginan menjadikan Kejaksaan sebagai institutsi negara yang independen, bebas dari campur tangan  manapun dalam menjalankan tugasnya.

Perdana Menteri Natsir yang dikenal jujur dan bersih,  setuju dengan tindakan Mr. Soeprapto. Namun  Kabinet Natsir  memerintah tidak terlalu lama. Ketika sistem pemerintahan parlementer dianggap gagal menjelang akhir tahun 1950, Presiden Sukarno dengan dukungan militer, berusaha untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih sentralistik dengan pemusatan kekuasaan di tangan Presiden. Ketidakberhasilan Konstituante menyusun UUD yang baru,  terjadinya pergolakan-pergolakan di daerah yang memuncak dengan berdirinya PRRI dan Permesta, semakin mempercepat proses pemusatan kekuasaan ini.  Usaha Soeprapto menegakkan hukum kandas. Dia dianggap terlalu ”Belanda” dalam menjalankan tugas dan tidak berjiwa revolusioner seperti diinginkan Sukarno. Dia diberhentikan menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Di bawah UUD 1945 yang didekritkan, keinginan untuk membangun pemerintahan yang sentralistik makin terbuka. Slogan Sukarno bahwa ”Revolusi Belum Selesai” mengharuskan adanya sebuah  pemerintahan yang kuat agar mampu  mendayagunakan semua institusi negara untuk menjadi kekuatan revolusi. Hanya seminggu sesudah dekrit, 13 Juli 1959, Presiden Sukarno membentuk kabinet baru yang bercorak Presidensial yang dinamakan dengan Kabinet Kerja I. Dalam kabinet ini,  Presiden Sukarno mengangkat Mr. Gatot Tarunamihardja sebagai Menteri/Jaksa Agung. Inilah pertama kalinya terjadi pergeseran kedudukan kejaksaan dan posisi  Jaksa Agung, yang dulunya rancu karena mengikuti tradisi Belanda, menjadi lebih tegas: Kejaksaan adalah bagian dari ranah eksekutif.   Jaksa Agung adalah anggota kabinet dengan sebutan Menteri/Jaksa Agung.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa sejak era Mohammad Natsir sampai tahun 1959, Kejaksaan dapat tumbuh mandiri menjalankan tugas dan kewenangannya yang semata-mata didasarkan atas peraturan-peraturan kolonial yang sudah usang. Kedudukan Kejaksaan di masa itu berada di antara dua sisi, antara eksekutif dan yudikatif, sebagaimana dipraktikkan dalam tradisi Parlementer di Negeri Belanda.  Namun kerancuan kedudukan itu tidaklah mengurangi independensi jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Mungkin faktor  individu Suprapto dan para jaksa yang lain di masa itu, yang membuat independensi itu tetap berjalan.  Sebelum kita menelaah bagaimanakah kedudukan kejaksaan dalam UUD 1945 yang menganut sistem Presidensial, maka kita akan melihat lebih dulu bagaimana kedudukan Jaksa di dua negara yang menganut sistem itu, yakni Amerika Serikat dan Philipina.

Sumber: yusril.ihzamahendra.com

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 (1/3)"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!