Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 (2/3)

Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 (2/3)
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
Jakarta, 8 Agustus 2010/28 Sya’ban 1432

Kejaksaan Di Amerika dan Philipina
Kalau kita membandingkan tugas dan wewenang jaksa di dua negara yang juga menganut sistem pemerintahan Presidensial, yakni Amerika Serikat dan Philipina, maka nampaklah bahwa tugas dan kewenangan kejaksaan kita yang kita warisi sejak zaman Hindia Belanda dulu,  jauh lebih luas dibandingkan dengan kedua negara ini. Di Amerika maupun di Philipina, kejaksaan adalah semata-mata penuntut umum (public prosecutor) yang pada tingkat pusat (federal di Amerika Serikat) dan (nasional  di Philipina) berada di bawah Department of Justice (Departemen Kehakiman). Jadi letak institusi kejaksaan, tidaklah rancu berada pada dua sisi sebagaimana dalam sistem parlementer di Belanda, tetapi tegas berada di dalam ranah dalam ranah kekuasaan eksekutif. Di Amerika Serikat, pemimpin Department of Justice disebut dengan istilah ”Attorney General”, yang diangkat Presiden dengan konsultasi kepada Kongres. Bagi orang di luar Amerika Serikat, penyebutan Attorney General ini dapat menimbulkan kerancuan seolah-olah di adalah Jaksa Agung Amerika Serikat. Padahal Attorney General di Amerika Serikat itu adalah sama dengan Menteri Kehakiman di Indonesia. Sementara di Philipina, Kepala Department of Justice itu disebut dengan istilah ”Secretary of Justice”. Di Philipina, istilah ”menteri” (minister) tidak dikenal. Sama halnya dengan di Amerika, Kepala sebuah Departemen umumya disebut sebagai ”Seccretary” dan bukan ”minister”.

Public Prosecutor di Amerika Serikat dan Philipina samasekali tidak mempunyai kewenangan intelejen dan penyidikan. Kedua kewenangan ini untuk jenis-jenis kejahatan tertentu di Amerika Serikat diserahkan kepada FBI (Federal Bureau of Investigation) dan selenihnya diserahkan kepada polisi lokal. Sementara FBI dan Public Prosecutor berada di bawah Department of Justice. Di Philipina, penyidikan atas hampir semua kejahatan diserahkan kepada NBI (National Bureau of Investigation), yang berada di bawah Department of Justice. Demikian pula Public Prosecutor Philipina, juga berada di bawah Department of Justice. Jadi, baik kewenangan penyidikan oleh FBI dan NBI, maupun kewenangan penuntutan oleh Public Prosecutor, semuanya berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, dan bukan yudikatif. Di Philipina istilah Attorney General samasekali tidak dikenal. Istilah ”Attorney” digunakan untuk menyebut Advokat profesional yang bekerja sebagai ”lawyer” swasta.

Di Amerika Serikat dan Philipina, Public Prosecutor akan menuntut seseorang tersangka pelaku kejahatan ke pengadilan dengan mengatas namakan seluruh rakyat Amerika dan seluruh rakyat Philipina. Pada tingat daerah, jaksa wilayah akan menuntunya atas nama seluruh rakyat di negara bagian (di Amerika) dan atas nama seluruh rakyat di provinsi (di Philipina). Mengapa jaksa (public prosecutor) yang menjadi bagian dari eksekutif yang menuntut, dan mengapa mereka mengatas-namakan seluruh rakyat? Ini didasarkan pada filosofi mereka bahwa tiap kejahatan yang dilakukan, apapun jenisnya, adalah perbuatan yang melawan dan merugikan seluruh rakyat.  Rakyat diwakili oleh eksekutif, yang Presidennya  pada tingkat federal –  dan Gubernur pada tingkat wilayah dipilih langsung oleh rakyat.  Sementara penyelenggara badan-badan yudikatif, termasuk pada hakim di Amerika dan Philipina, bukanlah dipilih langsung oleh rakyat, karena itu mereka tidak berhak mengambil tindakan apapun atas nama rakyat. Sebab itulah, dalam sistem Presidensial, tidak mungkin Kejaksaan akan berada di bawah ranah yudikatif.

Kejaksaan di bawah UUD 1945
Pertanyaannya sekarang, dalam ranah kekuasaan manakah kejaksaan – dengan kewenangan yang lebih luas daripada di Amerika Serikat dan Philipina — itu berada dalam sistem pemerintahan Presidensial di bawah UUD 1945? Di dalam UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, kita tidak menemukan satu katapun yang menyebut institusi kejaksaan, baik dalam Batang Tubuh maupun Penjelasannya. Demikian pula setelah UUD 1945 mengalami empat kali perubahan di Era Reformasi. Di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950 yang menganut sistem pemerintahan Parlementer, kata kejaksaan juga tidak kita temukan, kecuali kata ”Jaksa Agung pada Mahkamah Agung” (Pasal 106 UUD Sementara 1950), tetapi hanya dalam konteks pejabat tinggi negara yang hanya dapat diadili oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan pertama dan terakhir kalau mereka didakwa dalam perkara pidana. Ketentuan ini hanya mengatur ”forum previlegiatum” yang samasekali tidak ada hubungannya dengan kedudukan kejaksaan dalam ranah kekuasaan negara.

Karena tidak ada satu katapun di dalam UUD 1945 yang menyebutkan tentang Kejaksaan, maka wajar saja jika para akademisi dan politisi, mereka-reka di manakah tempat yang sesuai bagi isntitusi ini. Sebagian akademisi berpendapat bahwa kejaksaan adalah lembaga penegak hukum dan karena itu seharusnya berada dalam ranah kekuasaan yudikatif. Sementara dalam UUD 1945  sebelum perubahan,  hanya ada dua pasal saja yang mengatur badan yudikatif ini, yakni ketentuan dalam Bab IX tentang ”Kekuasaan Kehakiman”.  Pasal 24 dibawah Bab IX itu mengatakan ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang” (Ayat 1). ”Susunan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang” (Ayat 2). Sementara Pasal 25 mengatakan ”Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan penjelasan atas kedua pasal ini mengatakan ”Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukannya para hakim”.

Kalau disimak pikiran para penyusun UUD 1945 di zaman pendudukan Jepang itu, rumusan tentang kekuasaan kehakiman ini nampak didominasi oleh pikiran-pikiran Mr. Muhammad Yamin, seorang jurist tamatan Rechts Hooge School, yang memang banyak dipengaruhi oleh sistem yudikatif di Negeri Belanda. Fokus perhatiannya adalah kemerdekaan badan-badan peradilan, dalam konteks pengadilan, bukan keseluruhan sistem yang terkait dalam penyelenggaraan proses peradilan, seperti yang dikenal dalam teori Criminal Justice System yang muncul belakangan. Dalam pikiran Yamin, institusi kejaksaan ialah apa yang dikenal pada masa itu, baik dipraktikkan di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Karena itu, dalam keseluruhan proses pembahasan UUD 1945 tidak ada ruang untuk membahas kedudukan kejaksaan. Bahkan kepolisian – yang sebagian tugas dan kewenangannya juga berkaitan dengan peradilan, juga tidak disinggung dalam UUD 1945 sebelum perubahan.

Sayangnya pikiran-pikiran untuk mempertegas kedudukan Kejaksaan dalam sistem Presidensial UUD 1945, baru muncul tatkala terjadi ketegangan politik antara Presiden Sukarno, Parlemen, militer dan politisi akibat tindakan-tindakan Jaksa Agung Soeprapto, yang terkenal gigih membangun institusi Kejaksaan yang mandiri dan independen dalam melaksanakan tugas, kendatipun hanya bermodal HIR dan RIB.  Politik kemudian mulai mempengaruhi Kejaksaan, terutama ketika Mr. Djody Gondokusumo dari PRN (Partai Rakyat Nasional) menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Djuanda Kartawiguna dan berupaya untuk melakukan PRNisasi institusi kejaksaan.

Dalam suasana politik yang kisruh setelah Dekrit Presiden 5 Juli  1959, Presiden Sukarno berkeinginan untuk memusatkan kekuasaan pada tangan Presiden, dengan dukungan militer dan partai-partai politik pendukungnya. Suasana Revolusi kembali digelorakan, sehingga segala organ negara, semua kekuatan dihimpun dan disatukan untuk mencapai tujuan Revolusi. Dalam suasana yang penuh curiga, para akademisi berpendapat bahwa UU Kejaksaan yang hendak disusun itu, tidak lain adalah untuk memperkokoh hasrat Presiden Sukarno untuk memusatkan kekuasaan di tangan dirinya. Sukarno memang tidak begitu perduli dengan teori trias politika, karena keinginannya untuk menghimpun semua kekuatan revolusioner menghadapi kolonialisme dan imprerialisme. Namun di sisi lain, kita harus pula menghargai sebuah upaya untuk menata ulang institusi kejaksaan, untuk tidak lagi mengikuti tradisi kolonial Belanda yang rancu, tetapi benar-benar didasarkan pada konstitusi kita sendiri, UUD 1945, yang ketika itu baru didekritkan untuk berlaku kembali. Itulah sebabnya, maka pada tanggal 22 Juli 1960, Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No 204 Tahun 1960, yang secara tegas memisahkan Kejaksaan dari Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung, dan menjadikanya sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri dan merupakan bagian langsung dari kabinet. Inilah landasan hukum pertama yang menempatkan Kejaksaan sepenuhnya sebagai bagian dari ranah kekuasaan eksekutif.

Kedudukan Kejaksaan Dalam UU No 15 Tahun 1961
Dalam suasana revolusioner yang dibangun Presiden Sukarno pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden segera menata ulang lembaga-lembaga dan institusi pemerintahan untuk diseuaikan dengan keadaan yang baru. DPR lama hasil Pemilu 1955 dibubarkan, dan dibentuk DPR baru yang seluruh anggotanya diangkat. Kabinet Presidensial yang langsung dimpimpin Presiden juga dibentuk hanya dua minggu setelah dekrit. Setahun kemudian, Pemerintah dan DPR mensahkan UU Kejaksaan yang pertama dalam sejarah kemerdekaan kita, yakni UU No 15 Tahun 1961 (LN 1961 No 254) tentang Pokok-Pokok  Kejaksaaan RI. Dalam UU ini disebutkan bahwa kejaksaan bukan saja  ”alat negara penegak hukum”,  tetapi dalam konteks penyelesaian Revolusi, kejaksaan adalah ”alat revolusi”,  yang tugas utamanya adalah sebagai ”penuntut umum”.

Secara khusus, dalam konsideran ini, Pemerintah dan DPR setuju mengatakan bahwa Kejaksaan bukanlah ”alat pemerintah”, tetapi ”alat negara”. Namun dalam merumuskan UU No 15 tentang Kejaksaan ini, Presiden dan DPR rupanya tidak menggunakan ketentuan Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman dalam konsideran mengingatnya. Ini secara implisit menggambarkan bahwa Presiden dan DPR sejak awal tidaklah memandang Kejaksaan sebagai organ yang terletak dalam ranah yudikatif, sebagaimana Presiden telah mengangkat Menteri/Jaksa Agung sebagai anggota kabinet. Pasal yang digunakan justru adalah Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan ”segala warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya”.

Konsisten dengan pendirian bahwa institusi kejaksaan bukanlah bagian dari organ kekuasaan yudikatif, , maka ketentuan Pasal 5 huruf a UU ini mengatakan ”Penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan oleh Menteri”. Kalau Kejaksaan adalah sebuah departemen pemerintahan yang dipimpin Menteri, maka dengan sendirinya wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung dalam sistem pemerintahan Presidensial adalah Presiden. Ketentuan ini, sebenarnya hanyalah legitimasi atas apa yang telah dilakukan oleh Presiden dalam mengangkat Jaksa Agung sebagai menteri anggota kabinet dua tahun sebelumnya. Namun ketentuan ini, sekaligus pula menghapuskan ketentuan-ketentuan dalam Indische Staatsregeling, HIR dan RIB. Jaksa Agung tidak lagi diangkat oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Perdana Menteri, tetapi langsung diangkat oleh Presiden.

Tugas dan kewenangan kejaksaan yang diberikan oleh UU No 15 Tahun 1961, jauh lebih luas dari apa yang diatur di dalam HIR dan RIB. Tugas Jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagai penuntut umum. Namun dalam menjalankan tugas utamanya itu, Jaksa selain diberi wewenang untuk melakukan penyidikan lanjutan seperti diatur dalam HIR, juga melakukan tugas koordinasi semua penyidik berdasarkan hukum acara yang berlaku, termasuk melakukan pengawasan terhadap ”aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara” serta melaksanakan tugas-tugas lain ”yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara”.

Dalam menyelesaikan perkara pidana,  Jaksa diberi kewenangan untuk mengadakan penggeledahan badan dan tempat-tempat yang dipandang perlu dan mengambil tindakan-tindakan lain yang dipandang perlu sesuai hukum acara yang berlaku. Jaksa juga diberikan kewenangan untuk meminta ”Kepala Kantor Pos, Telekomunikasi dan lain-lain kantor perhubungan”  untuk membuat catatan-adanya surat-surat dan lain-lain benda yang dikirim pada seseorang yang patut diduga terlibat dalam suatu tindak pidana. Jaksa berhak untuk meminta supaya surat dan benda-benda tersebut ditahan. Dengan tugas-tugas tambahan seperti ini,  semakin tegas tidak mungkin institusi kejaksaan akan berada di dalam ranah kekuasaan yudikatif.

Ketika kekuasaan Presiden Sukarno runtuh di tahun 1967, pemerintah baru di bawah Pejabat Presiden, dan kemudian Presiden Suharto UU Kejaksaan No 15 Tahun 1961 ini terus berlaku selama tiga puluh tahun lamanya, tanpa perubahan. Namun demikian, dalam praktiknya, Kejaksaan Agung tidak lagi disebut sebagai Departemen Kejaksaan Agung dan Jaksa Agung tidak disebut pula sebagai Menteri Jaksa Agung. Institusi ini secara faktual disebut sebagai Kejaksaan Agung yang dipimpin oleh seorang Jaksa Agung. Namun kewenangan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung, sepenuhnya tetap berada di tangan Presiden. UU No 15 Tahun 1961 tidak secara spesifik menyebutkan berapa lama Jaksa Agung akan memegang jabatannya. Namun setelah Pemilihan Umum 1971, Presiden Suharto memulai sebuah konvensi ketatanegaraan, yakni Jaksa Agung selalu diangkat di awal Kabinet dan berakhir masa jabatannya dengan berakhirnya masa bakti kabinet itu.

Jaksa Agung yang disebut sebagai Menteri di dalam UU No 15 Tahun 1961 tidak lagi disebut demikian, namun sebagai bagian dari kabinet, Jaksa Agung diberi kedudukan setingkat menteri negara. Dalam perkembangan pelaksanaan UU No 15 tahun 1961, wewenang Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tambahan dalam perkara pidana, dihapuskan dengan berlakunya UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mencabut ketentuan-ketentuan di dalam HIR dan RIB. Namun, dengan munculnya berbagai undang-undang tindak pidana, yang sering disebut sebagai undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus dan tertentu, seperti UU Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan HAM. Dalam kedua undang-undang ini, kewenangan Jaksa untuk menyidik dikembalikan lagi,  bukan lagi melakukan penyidikan tambahan seperti diatur HIR dan RIB, tetapi bertindak sebagai satu-satunya penyidik.

UU No 15 Tahun 1961 memang memberi peluang untuk untuk memperluas tugas dan kewenangan Kejaksaan, karena kejaksaan dapat melaksanakan tugas-tugas khusus yang lain yang diberikan oleh suatu peraturan negara (Pasal 2 ayat 4). Tugas dan kewenangan Jaksa melakukan penyidikan, sebagaimana telah saya kemukakan sebelum ini, jelaslah bukan tugas suatu organ dalam ranah kekuasaan kehakiman. Tindakan penyidikan akan selalu diikuti oleh penggeledahan, penyitaan, penahanan dan bahkan belakangan dengan UU No 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, Jaksa Agung juga diberi kewenangan pencekalan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana. Tindakan-tindakan seperti ini, jelas tidak mungkin dilakukan oleh organ yang berada dalam ranah kekuasaan kehakiman.


Sumber: yusril.ihzamahendra.com

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 (2/3)"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!