Status Nasab dan Hak Waris Anak

Status Nasab dan Hak Waris Anak
Status Nasab Anak
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42: adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan, anak sah adalah:

1. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
2. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Bila dicermati secara analitis, sepertinya bunyi pasal tentang anak sah ini memimbulkan kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Bila dinyatakan “anak yang lahir akibat perkwinan yang sah” tidak ada masalah, namun “anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah” ini akan memimbulkan suatu akibat hukum jika dihubungkan dengan status anak setelah orang tuanya fasad karena memiliki hubungan mahram. Perkawinan tersebut adalah sah selama tidak diketahui tentang informasi tentang hubungan nasab tersebut. Seandainya beberapa bulan sesudah perkawinan yang
sah itu berlansung, lahir anak yang dikandungnya, tentu akan berarti anak yang lahir anak sah dari suami yang mengawininya bila masa kelahiran telah enam bulan dari waktu pernikahan.

Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional antara lain:

1. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pada akhirnya bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Hukum Perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan orang tua, yakni timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan keluarga ibunya. Agaknya dapat dinyatakan mafhum mukhalafah dari pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam bentuk; nasab, hak dan kewajiban secara timbal balik.

Status Hak Waris Anak
Pasal 42 UUP menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam pernikahan yang sah, ia mempunyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan yang melekat padanya, ia juga berhak untuk memakai nama ayah di belakang namanya. Demikian juga halnya anak yang perkawinan orangtuanya fasakh, ia tetap berstatus sebagai anak yang sah dan mendapat nasab dari ke dua orang tuanya. Dalam pandangan fiqh, Menurut Aljaziri jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seseorang yang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja, maka setelah tahu pernikahan tersebut harus segera dibatalkan. Jika telah terjadi persetubuhan maka di pandang sebagai wathi subhat, tidak dipandang sebagai perzinaan, dan anak yang dilahirkan dalam pernikahan tersebut adalah anak sah, dimana pertalian nasab dan waris tetap berkaitan dengan bapak dan ibunya. Begitupula nanti saat penghitungan waris tidak ada perbedaan dengan anak dari pernikahan biasa, baik dalam posisi maupun takarannya. Fasakhnya pernikahan orang tua tidak menjadi sebab berubahnya status hak waris anak. Tetapi jika telah diketahui adanya larangan pernikahan sedang pasangan suami isteri tetap melakukan hubungan sebagai suami isteri, maka hubungan tersebut termasuk perbuatan zina, dan status anak yang dilahirkan adalah tidak sah yang hanya mempunyai nasab dan waris dengan ibunya saja.

Referensi:
Aljaziri, (1982) al-Fiqhu ‘Ala Madzahibul Arba’ah, Beirut: Darul Fikri, juz IV.
Kompilasi Hukum Islam

Manan, Abdul (2006) Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

2 Responses to "Status Nasab dan Hak Waris Anak"

  1. Artikel yg sangat membantu saya,, terimakasih. izin copas :)

    ReplyDelete

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!