Hukum Mengasuransikan Harta dan Jiwa
Hukum Mengasuransikan Harta dan Jiwa - Asuransi adalah suatu akad
yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan
sejumlah harta kepada nasabah atau kliennya (muamman) ketika terjadi musibah
seperti kecelakaan, kebakaran atau lainnya sebagaimana disepakati dalam akad
(transaksi). Dalam akad asuransi, nasabah membayarkan secara rutin dan berkala
atau secara kontan kepada perusahaan asuransi di saat hidupnya. Sementara
Perusahaan pada saatnya akan memberikan imbalan berupa uang atau ganti rugi
barang.
Singkatnya, asuransi
merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami
musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.
Forum Bahtsul Masa’il (BM)
pada Muktamar Ke-14 Nahdlatul Ulama di Magelang pada 14 Jumadil Ula 1358 H atau
1 Juli 1939 M mengharamkan akad asuransi tersebut, baik dalam bentuk harta
maupun jiwa.
Asuransi rumah, misalnya,
disepakati merupakan transaksi judi. Para ulama mengambil keterangan dari Kitab al-Nahdlatul Islamiyah, halaman 471-472, bahwa asuransi menyerupai pemberian
kupon “Ya Nashib..!” dimana seseorang yang membelinya selama hidupnya menunggu
tanpa memperoleh kemenangan.
Nasabah dijanjikan
memperolah jaminan rumah jika terbakar. Jaminan ini memang disukai barangkali
karena bila pemiliknya meningal atau terjadi kebakaran pada rumahnya maka ia
memperoleh uang sebesar jaminan yang telah ditetapkan. Sementara selama
menempati rumah tersebut ia harus membayar premi yang ditetapkan pihak
perusahaan asuransi. Dikatakan, itu jelas merupakan judi murni karena dua pihak
yang telah melakukan transaksi pada dasarnya masing-masing tidak mengetahui
siapakah diantara mereka yang memeperoleh keuntungan, sampai uang yang
disepakati oleh keduanya diberikan.
Mengingat akad asuransi
sudah mulai membudaya, pada Konferensi Besar Pengurus Syuriah NU ke-1 di
Jakarta, 21-25 Syawal 1379 H 18-22 April 1960, ditegaskan kembali keharaman
akad asuransi tersebut, terutama berkenaan dengan jiwa.
Majelis Musyawarah
memutuskan seperti yang sudah diputuskan oleh Muktamar NU ke-14, yakni
mengasuransikan jiwa atau lainnya di kantor asuransi itu haram hukumnya, karena
termasuk judi. Para ulama mengambil ibarat dari Syeikh Bakhit, seorang Mufti
Mesir, dalam Ahkamul Fuqaha II , yang sempat diterbitkan dalam majalah Nurul
Islam, Nomor VI, Jilid I halaman 367 berikut
ini:
Asuransi jiwa itu jauh
dari akal sehat dan menimbulkan kekaguman yang hebat. Tidak ada perusakan yang
mampu memperpanjang umur dan menjauhkan takdir. Ia hanya memberikan iming-iming
dengan keamanan serupa dengan yang dilakukan oleh para Dajjal. Para petugas
mereka akan berkata kepada Anda sama seperti penyataan yang telah disebutkan
dalam pembahasan tentang asuransi harta benda atau pernyataan yang sejenisnya.
Ia akan berkata:
“Sesungguhnya ketika aku
membayar satu premi, jika aku mendadak meninggal, maka aku berhak atas
warisanku yang telah aku jaminkan ketika aku masih hidup. Dan itu berarti
membantu meringankan kepada ahli waris setelah kepergianku. Dan jika aku tetap
hidup dalam tempo yang telah ditetapkan maka aku berhak memperoleh kembali
semua yang telah dibayarkan beserta keuntungannya. Dengan demikian, maka aku
beruntung dalam dua hal tersebut (mati dan hidup).”
“Demikian halnya
perusahaan asuransi berhak mengelola keuangan yang dihimpun dariku dan dari orang
lain sehingga menjadi modal yang besar sebagaimana yang Anda lihat berbentuk
proyek-proyek niaga. Risiko kerugian sangat sedikit; karena masing-masing orang
sangat menjaga hidup dan hartanya, dan akan berusaha semampunya. Masing-masing
akan berkarya bagi kepentingan dirinya, sehingga masing-masing pihak
beruntung.”
Para ulama menyatakan
bahwa setiap yang diucapkan dalam akad asuransi mengandung klaim denda terhadap
satu pihak secara wajib tanpa suatu kepastian mengenai pengganti yang sepadan.
Padahal dalam Islam hendaknya ada kesesuaian pengganti dari masing-masing pihak
yang bertransaksi agar dapat mewujudkan keadilan, walaupun itu relatif. Jika
salah satu pihak saja yang me!akukan klaim denda wajib tanpa memberikan
keuntungan kepada yang lain maka tidak ada keadilan di sini, dan itu merupakan
judi.
Sesungguhnya salah satu
diantara mereka, entah pihak perusahaan asuransi atau nasabah, mempunyai
keinginan untuk menundukkan orang lain. Para ulama menilai akad asuransi lebih
besar bahayanya dari pada manfaatnya.
Mengutip Syeikh Bakhit,
dikatakan, perundang-undangan Allah SWT yang benar itu mesti berpedoman pada
adanya keseimbangan antara manfaat dan mudharat. Jika manfaamya lebih besar,
maka Allah akan menghalalkannya. Sedangkan jika maharatnya lebih besar, maka
Allah akan mengharamkannya.
Baru pada Munas Alim Ulama
Lampung, 1992, asuransi harta (kerugian) dan jiwa diperbolehkan, itu pun
dengan syarat yang sangat ketat. Asuransi kerugian hanya diperbolehkan bagi
obyek-obyek yang menjadi agunan bank; dan atau ketika asuransi kerugian
tersebut tidak dapat dihindari karena terkait oleh ketentuan-ketentuan
pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang diimpor dan diekspor.
Asuransi jiwa hukumnya
haram kecuali apabila memenuhi ketentuan bahwa asuransi jiwa tersebut
mengandung unsur saving (tabungan). Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak
tertanggung beniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan
asuransi). Sementara pihak penanggung bemiat menyimpan uang tabungan milik
pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat
agama Islam.
Pada
Munas yang sama para ulama secara mutlak membolehkan praktik ”asuransi sosial”
dalam pengertian asuransi yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan
diselenggarakan oleh pemerintah, seperti asuransi kecelakaan lalu lintas (jasa
raharja), asuransi TASPEN, ASTEK. ASKES, ASABRI. Asuransi sosial dapat bersifat
asuransi kerugian (harta) dan asuransi jiwa.
0 Response to "Hukum Mengasuransikan Harta dan Jiwa"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!