Zakat Uang Kertas
Zakat Uang Kertas - Dalam
karya-karya fiqih klasik disebutkan bahwa zakat dikenakan pada emas dan perak
dalam fungsinya sebagai alat tukar. Emas dan perak yang tidak digunakan sebagai
alat tukar, seperti untuk perhiasan, tidak dikenai zakat. Dan saat ini nyaris
tidak ada satu negarapun yang menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar.
Kini fungsi emas dan perak sebagai alat tukar telah digantikan kertas yang
secara intrinsik tidak bernilai.
Pertanyaannya
adalah, apakah uang kertas bisa diperlakukan sama dengan emas dan perak dengan
mempertimbangkan bahwa uang tersebut dapat digunakan dan diakui sebagai alat
tukar; atau sebaliknya uang tersebut tidak bisa disamakan dengan emas dan perak
dengan memandang nilai intrinsiknya?.
KH Muhammad
Najih Maemoen berpendapat
bahwa uang kertas atau uang yang berlaku sekarang termasuk kekayaan yang harus
dikenai zakat. Menurut beliau fatwa yang sama juga dikeluarkan ulama mutaakkhirin dari
kalangan Syafi'iyah, Malikiyah dan Hanafiyah, sebagaimana kutipan berikut :
- Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa
bertransaksi menggunakan uang kertas termasuk kategori transaksi
pengalihan hutang (hiwalah) kepada bank sejumlah nilai nominal uang
tersebut. Karenanya, memiliki uang tersebut sama dengan memiliki piutang
atas bank. Dan bank sebagai debitor (madin) termasuk kategori
mampu, mengakui dan siap membayar hutangnya seketika. Dan jika debitor
termasuk kategori tersebut diatas, maka piutang (dalam hal ini dibuktikan
dengan kepemilikan uang kertas) harus dizakati seketika. Tidak adanya ijab-qabulsecara
verbal dalam akad pengalihan hutang tidak membatalkan akad pengalihan
hutang itu sendiri, ketika hal yang demikian sudah umum berlaku. Disamping
itu sebagian ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ijab-qabul adalah
segala bentuk tindakan atau ucapan yang dapat mengindikasikan kerelaan
masing masing pihak yang bertransaksi. Dan dalam kasus ini kerelaan yang
dimaksudkan sudah terwujud.
- Ulama Hanfiyah berpendapat bahwa
surat berharga (banknote) termasuk piutang potensial (ad-dain
al-qowy) kecuali bahwa ia dapat ditukar seketika dengan perak. Oleh
karena itu surat berharga wajib dikenai zakat.
- Ulama Malikiyah berpendapat bahwa
surat berharga, meskipun hanya berupa bukti pengakuan hutang, namun ia
dapat ditukar dengan perak seketika dan dapat berfungsi seperti emas dalam
traksaksi. Oleh karena itu surat berharga harus dizakati seketika.
- Ulama' Hanabilah berpendapat bahwa
uang kertas tidak dikenai zakat kecuali jika ia telah dicairkan menjadi
emas atau perak dan telah memenuhi syarat kewajiban zakat. (al-fiqh
ala mazahib al-arba'ah, juz 1, hal. 486)
Dari kutipan di
atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban zakat uang kertas atau surat berharga
didasarkan pada perluasan makna (takhrij) dari kewajiban zakat piutang
seperti dikenal di kalangan fuqoha' klasik. Kutipan di atas
juga menyimpulkan bahwa uang kertas diposisikan sebagai bukti pengakuan hutang
(promissory note) yang tidak wajib dizakati kecuali menurut ulama yang
tidak mensyaratkan keberadaan serah-terima (qabdlu) dalam zakat piutang.
Mengomentari dua
kesimpulan tersebut, Syekh Muhammad Husnin Makhluf -- Mantan Mufti Mesir –
mengatakan bahwa memasukkan zakat uang kertas dalam perluasan makna (takhrij)
zakat piutang, disamping merupakan penzaliman hak faqir-miskin menurut selain
Syafi'iyah, juga didasarkan pada asumsi bahwa nilai nominal uang kertas adalah
piutang yang menjadi kewajiban debitor dan bahwa kertas tersebut adalah
pernyataan pengakuan hutang. Padahal ada perbedaan antara uang kertas dan nilai
nominalnya di satu sisi dengan piutang dan surat pernyataan hutang di sisi
lain. Piutang, sepanjang masih belum dibayar, tidak dapat diinvestasikan atau
dimanfaatkan. Dan kertas yang menjadi surat pengakuan hutang juga tidak dapat
digunakan untuk bertransasksi. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa
piutang tidak dikenai zakat karena ia tidak termasuk harta yang likuid. Hal ini
berbeda dengan uang kertas yang bisa diinvestasikan atau di belanjakan sebagai
harta likuid. Bagaimana mungkin uang kertas dikategorikan sebagai surat
pernyataan hutang, sedangkan surat pernyataan hutang adalah sesuatu yang
ditulis debitor sebagai bukti otentik (watsiqah) kewajiban hutang dan
bukan sebagai ijin untuk membelanjakan atau menginvestasikan sejumlah nilai
hutang yang masih berada dalam tanggungan debitor.
Ketika fuqoha menetapkan
bahwa piutang tidak dikenai zakat sepanjang masih belum dibayarkan oleh
debitor, hal itu didasarkan pada prinsip bahwa harta yang tidak likuid memang
tidak dikenai zakat. Dan dalam kasus piutang yang sudah jatuh tempo tetapi
belum dibayar, Syafi'iyah mewajibkan zakat juga dengan alasan bahwa piutang
yang sudah jatuh tempo hukumnya sama dengan harta likuid meskipun secara aktual
belum dibayarkan.
Jadi,
sesungguhnya uang kertas adalah hal baru yang sama sekali berbeda dengan
praktik hutang-piutang yang dikenal fuqoha selama ini. Dan
karenanya dalam masalah uang kertas tidak berlaku khilaf yang
terjadi dalam persoalan hutang-piutang. Bahkan seharusnya ulama sepakat bahwa
uang kertas wajib dizakati karena uang kertas bersifat likuid.
Selanjutnya
Syekh Husnin Makhluf mengatakan bahwa uang kertas bisa dikenai zakat dengan
mengasumsikan empat hal. Pertama, uang kertas diasumsikan sebagai
harta yang dijamin oleh bank, dan karenanya kedudukannya sama dengan harta likuid
meskipun praktiknya tidak sama dengan hutang-piutang. Kedua, uang
kertas diasumsikan sebagai harta yang disimpan di bank. Dengan memandang kedua
hal tersebut, ulama sepakat bahwa uang kertas harus dikenai zakat. Ketiga,
uang kertas diasumsikan sebagai piutang jatuh tempo yang menjadi kewajiban
bank. Karena bank adalah debitor yang mampu dan piutang sudah jatuh tempo, maka
uang kertas dikenai zakat dalam kedudukannya sebagai piutang jatuh tempo atas
debitor mampu, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'iyyah. Keempat, uang
kertas dipandang dari sudut nilai nominal yang berlaku dan diterima masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah. Dalam kasus ini uang kertas wajib dikenai
zakat diqiyaskan dengan kewajiban zakat fulus dan nuhas.
Syaikh Yusuf
Qordlowi dalam Fiqhuz Zakaat berkata bahwa asumsi terkahir
inilah yang seharusnya menjadi landasan dalam menetapkan hukum uang kertas.
Uang kertas kini telah menjadi alat pembayaran utama dalam berbagai pertukaran
dan transasksi. Dan uang kertas kini tidak lagi harus dijamin dengan sejumlah
logam tertentu di bank. Bank juga tidak lagi menukar uang kertas dengan emas
atau perak. Perbedaan pendapat berkaitan uang kertas bisa dimaklumi pada awal
pemberlakuan uang tersebut dimana masyarakat belum percaya dengan uang kertas,
layaknya sesuatu yang biasa terjadi dalam setiap perkara baru. Tetapi kini
keadaan sudah benar benar berubah. Uang kertas sekarang bisa menjadi pendapatan
negara sebagaimana logam mulia. Masyarakat pun memandang uang kertas seperti
mereka memandang logam mulia. Uang kertas bisa dibayarkan sebagai mahar, dan
karenanya dapat menghalalkan hubungan suami istri, tanpa ada yang menentang. Ia
juga dapat diserahkan sebagai alat pembayaran, dan karenanya mengalihkan
kepemilikan suatu komoditas kepada pembayaranya, tanpa ada perdebatan. Uang
kertas dapat pula dibayarkan sebagai upah atas jerih payah seseorang dan tak
seorang buruh atau pegawaipun yang menolaknya. Uang kertas juga dibayarkan
sebagai denda pembunuhan sibhul amdi, dan karenanya dapat
membebaskan pembunuh serta menghilangkan tuntutan dari keluarga korban. Jika
uang kertas dicuri, maka pencurinya akan dijatuhi hukuman pencuri, tanpa ada
yang meragukan. Ketika uang kertas disimpan dan dimiliki seseorang, maka orang
itu disebut orang kaya. Dan kekayaan seseorang dihitung berdasarkan seberapa
banyak ia memiliki uang kertas. Semakin banyak uang kertas di tangannya, maka
akan semakin besar pula kekayaannya, baik menurut pandangan orang lain maupun
menurut dirinya sendiri.
Arti semua ini
adalah bahwa uang kertas telah berfungsi sebagaimana uang yang diakui syara' dan
diterima masayarakat. Jika demikian, patutkah kita menghalangi fakir-miskin dan mustahiq lain
untuk dapat memanfaatkan uang dengan beragam fungsinya? Bukankah setiap orang
berupaya mendapatkannya? Bukankah setiap orang yang memilikinya akan
menganggapnya sebagai nikmat yang harus disyukuri? Bukankah faqir-miskin juga
menginginkannya bahkan ngiler karena sangat ingin
mendapatkannya? Bukankah mereka akan merasa berbahagia, jika diberi sedikit
saja uang tersebut? Demi Allah iya. (Yusuf Qordlowi :274)
Keputusan yang
sama juga ditetapkan oleh Konferensi Fiqih Islam (Majlis al-majma' al-fiqhy
al-Islamy) yang diadakan di Makkah tahun 1402 H, Syaikh Mustofa al-Bagho
dalam fiqh Manhajy, Syaikh Musthafa Khan dan Syaikh Ismail bin Zain
al-Yamany al-Makky. Menurut Syaikh Ismail bin Zain kewajiban zakat uang kertas
didasari alasan agar kewajiban zakat naqdain tidak vakum.
Sebab saat ini semua jenis transaksi di berbagai belahan dunia menggunakan uang
kertas dan tidak ada lagi daerah yang menggunakan dinar dan dirham dalam
bertransaksi. (Bulghot ath-Thulaab, hal:205).
Selanjutnya KH
Najih Maemoen menjelaskan bahwa syarat kewajiban zakat adalah kepemilikan satu nishab dalam
satu tahun penuh. Dan menurut Hanafiyah kepemilikan satu nishab dihitung
diluar kewajiban hutang yang harus dibayar. Sebab uang kertas termasuk
"harta tidak tampak" seperti uang logam dan aset dagang, dan
karenanya keberadaan hutang bisa menggugurkan kewajiban zakat sebagaimana
pendapat mayoritas fuqoha, seperti Atho', Sulaiman bin Yasar,
Hasan, Nakho'iy, Laits, Malik, Tsaury, Awza'iy, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Abu
Hanifah dan para pengikutnya. (lihatal-Mughny, Ibnu Qudaamah, juz 3 ,
hal 42-43): Sedangkan pada "harta yang tampak" seperti tanaman dan
hewan ternak, Hanafiyah berpendapat bahwa hutang juga bisa menggugurkan
kewajiban zakat, sementara ulama lain berpendapat sebaliknya.
Paramuhaqqiqun dari
kalangan Hanfiyah menambahkan persyaratan yaitu, kepemilikan satu nishab harus
dihitung diluar kebutuhan pokok. Pengertian kebutuhan pokok disini adalah
segala biaya yang diperlukan untuk bertahan hidup baik secara riil, seperti
nafkah, perumahan, alat perang, pakaian yang diperlukan untuk melindungi diri
dari cuaca panas dan dingin; ataupun secara asumtif, seperti membayar hutang,
alat kerja, perabot rumah tangga, hewan transportasi, buku pengetahuan bagi
seorang intelektual, sebab kebodohan bagi seorang intelektual adalah
kehancuran. Allah Berfirman:
( ويسألونك
ماذا ينفقون قل العفو… )
... dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari
keperluan."… (QS
al-Baqarah:219)
Pengertian 'al-afwa' dalam
ayat di atas adalah kelebihan dari kebutuhan pribadi dan keluarga. Dan
Rasulullah juga bersabda:
( ابدأ بمن
تعول )
Mulailah dengan
orang yang menjadi tanggungan kamu (Ahmad:6114)
Oleh: Moh. Najib Buchori, Lc
jadi gk ada alasan untuk tidak mengeluarkan zakat...
ReplyDeleteok kang,, sudah menjadi kewajiban kita melaksanakan rukun islam yg ke-3..
ReplyDelete