KH Hussein Umar: Dakwah Kultural Bagian Dari Strategi Dakwah Islam
Perkembangan dan dinamika
zaman yang demikian pesat, menuntut dakwah Islam terus memformulasi bentuknya
yang tepat. Hal itu agar pesan-pesan risalah agama terakhir ini dapat diterima
masyarakat di tengah globalitas dan kompleksitas permasalahan modern kini.
Selain itu, juga untuk membuktikan bahwa Islam adalah doktrin yang shalih
likulli zaman wa makan (Islam sesuai dengan setiap masa dan tempat). Jelas
doktrin mulia yang tak pernah luntur ditelan masa itumembutuhkan orientasi dan reformulasi baru sesuai
dengan tuntutan zaman.
Menjawab fenomena demikian inilah tampaknya,
sebagian kalangan masyarakat kita beberapa tahun belakangan merumuskan pelbagai
model dakwah Islam yang selaras dengan napas kemajuan modern. Salah satunya
yang digagas ormas Muhammadiyah yang mengusung "Dakwah Kultural"
Islam, sebuah model penyampaian misi Islam yang lebih terbuka, toleran, dengan
mengakomodir budaya dan adat masyarakat setempat. Sejauhmana perkembangan
Dakwah Kultural dan relevansinya di era modern kini? Sekjen Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII), KH Hussein Umar menilai, dakwah kultural hanyalah
bagian dari strategi dakwah Islam secara luas.
"Cara itu baik-baik saja, apalagi di tengah
pesatnya perkembangan dewasa ini. Namun dakwah kultural bukan berarti kita
diperbolehkan kompromi pada nilai-nilai lokal setempat yang dianggap
bertentangan dengan ajaran Alquran dan Hadis. Hal semacam itu tetap
kita tolak," ujar Hussein. Itu sebabnya, kata pria kelahiran 14 Desember
1940 ini, bahwa dakwah kultural tetap relevan. Malah, ketua komisi dakwah MUI
Pusat ini menunjuk, model dakwah kultural pun sebenarnya sudah diterapkan sejak
masa Nabi SAW dan para sahabatnya.
"Praktik itu tentu dengan formulasi yang
disesuaikan dengan masyarakat kala itu. Jadi pendekatan kultural harus mampumenjadi solusi
dakwah Islam kontemporer, jangan malah menjadi bagian dari problem dakwah itu
sendiri," Hussein yang juga salah satu Ketua KISDI ini berharap. Kepada
Republika, Anggota Dewan Pembina YPI Al-Azhar Jakarta ini berbicara panjang
lebar di sekitar prospek dakwah kultural dan tantangan umat Islam ke depan.
Petikannya:
Menurut Anda, apa yang disebut Dakwah Kultural
itu?
Saya tak ingin pendekatan kita menjadi sangat
dikotomis berkaitan dengan pendekatan dan cara-cara dakwah Islam dewasa ini.
Bila kemudian sebagian kalangan memperdebatkan dakwah kultural, bagi saya,
dakwah kultural itu merupakan salah satu dimensi dari proses dakwah itu
sendiri. Kalau kita mengacu pada nas-nas Alquran maupun Hadis, dakwah itu
selalu mengacu pada pemahaman, antara lain; mengajak orang lain pada kebaikan
(yad'uuna ilal alkhair), seperti ditegaskan dalam Surat Ali Imran, 104. Nah,
ini kemudian disebut sebagai dimensi-dimensi dakwah. Jadi, dakwah kultural
lebih merupakan refleksi pemahaman, pendekatan, dan metodologi kita tentang
medan dakwah. Itu sebabnya, cara yang ditempuh lebih banyak mengakomodir budaya
setempat, serta lebih menyatu dengan kondisi
lingkungan setempat. Hanya saja, kita jangan sampai terjebak pada peristilahan
dan perdebatan yang menyesatkan lantaran istilah dakwah kultural tersebut.
Ada nggak batasan tertentu dikatakan dakwah
kultural?
Pada dasarnya kategori itu sama saja dengan
model dakwah-dakwah lainnya, yakni selama dakwah itu sejalan dengan nas-nas
kedua sumber Islam, Alquran, dan Hadis. Memang dakwah kultural, seperti
ditegaskan tadi, lebih banyak mengakomodir lokalitas (budaya setempat), tapi
hal itu tidak serta merta ada semacam kompromi antara yang haq dan yang batil.
Hanya saja yang perlu saya tekankan di sini, bahwa dakwah kultural lantas
seolah-olah ini dianggap satu-satunya cara yang tepat. Mengapa? Karena
dihadapkan dengan pendekatan-pendekatan politik. Memang pendekatan politik pada
saat-saat tertentu dibutuhkan. Artinya, kalau medan yang kita hadapi itu
bermuatan politik dalam kaitan kepentingan umat Islam yang lebih luas, seperti
dalam kasus UU Sisdiknas beberapa waktu lalu, ya kita hadapi dengan pendekatan
politik.
Kalau kita hadapi dengan pendekatan kultural ya
tidak mengena, kita akan kalah. Contoh lain, dalam soal UU Peradilan Agama,
pada akhir 80-an. Banyak kasus seperti itu, dari sejak Natsir dulu (meski kala
itu tak terbayang, apakah dakwah kultural atau tidak, hingga kini). Karena
itulah, yang ingin saya tegaskan di sini, bahwa pendekatan kultural ada waktu
dan tempatnya, begitu pun pendekatan politik ada saatnya pula. Oleh sebab itu,
lembaga-lembaga dakwah juga punya tanggung jawab bila dakwah sudah memasuki
pendekatan politik. Nah di sinilah, saya menganggap penting pendekatan apapun,
termasuk pendekatan kultural.
Kalau begitu, dakwah kultural bisa dijadikan
medium tajdid dong?
Tentu saja bisa. Pembaruan itu kan banyak
caranya. Kalau sekarang yang lagi dikembangkan banyak kalangan adalah dakwah
kultural atau semacamnya, saya kira berpotensi besar sebagai medium pembaruan
kehidupan beragama, dan itu kan yang dikehendaki oleh Islam. Bahwa adanya
pembaruan itu suatu keharusan, saya kira dakwah kultural itulah sangat tepat
dijadikan sarana ke arah situ.
Sejauh ini, bagaimana pendekatan dakwah yang
dilakukan NU dan Muhammadiyah?
Ya, kalau saya lihat, dakwah yang dikembangkan
NU kan lebih memberikan pada tekanan-tekanan tradisi, lebih berorientasi dan
menghargai tradisi. Malah boleh dibilang, pendekatan kultural NU sudah sejak
lama dikembangkan. Karena pada realitasnya, pendekatan lokalitas, yakni apresiasi
pada nilai-nilai tradisi di masyarakat lebih besar, maka NU dapat diterima
dengan cepat, khususnya di daerah-daerah pedesaan. Sementara di Muhammadiyah,
memang ada semangat pembaruan yang menonjol, meski tajdid (pembaruan) yang
sedari awal diusung Muhammadiyah terus mengalami frekuensi pasang-surut. Tapi
saya kira kedua-duanya (NU dan Muhammadiyah) dakwahnya sama-sama kultural.
Apa kelemahan dan kelebihan dakwah yang
dikembangkan kedua organisasi Islam tersebut?
Yang ideal itu dua-duanya harus bisa digabung. Kelebihan NU itu
seperti tadi, lentur dan cair. Walaupun menurut sebagian kritik lenturnya jadi
tidak jelas, tetapi mudah diterima oleh banyak orang. Tetapi, kelemahannya
adalah menggerakkan masyarakat secara sistematis menjadi agak susah. Dan
kecenderungan umat jadi tergantung pada bukan sistem, tetapi pada orang atau
ketokohan. Itu yang kemudian secara ekstrem disebut muncul kultus individu.
Sedangkan kelemahan Muhammadiyah adalah karena kebijakan organisasi harus
ditetapkan bersama, maka menjadi tidak mudah. Kalau voting itu gampang, tapi
seperti yang terjadi di Sidang Tahunan MPR kan susah juga untuk mencapai
kesepakatan. Dan itu yang kemudian menjadi lambat, menjadi birokratis. Bahkan
aktivis-aktivis Muhammadiyah sendiri kurang berani tampil sendiri. Karena dia
selalu merujuk pada keputusan-keputusan kelompok. Tetapi, sesungguhnya
Muhammdiyah bisa menjadikan organisasinya sebagai alat untuk menggerakkan
masyarakat.
DDII sendiri bagaimana memandang pendekatan
dakwah kultural ini?
Kami di DDII tidak melihat atau tak ingin masuk
dalam wilayah memperdebatkan istilah-istilah tersebut. Bagi kami, baik dakwah
kultural maupun lainnya itu, adalah bagian dari kebijakan-kebijakan dakwah.
Yang penting, tekanannya itu adalah bil hikmah (dakwah disampaikan dengan
pengetahuan), mauizatil hasanah (teladan positif), dan wa jadilhum billati hiya
ahsan (perdebatan dengan akal sehat dan baik pula). Ketiga cara yang
diisyaratkan Alquran ini kan jelas dan tegas, mengakomodir semua nilai-nilai
Islam. Jadi, tak masalah, apapun caranya, yang penting tak menyalahi ajaran
Islam.
Bagaimana relevansinya di tengah pluralitas dan
perkembangan zaman yang demikian pesat?
Saya kira dakwah kultural akan tetap relevan,
kapan pun. Tinggal bagaimana caranya saja mengemas pendekatan tersebut. Hemat
saya, dakwah dengan pendekatan kultural akan lebih berhasil lagi untuk menarik
lapisan elit yang mencapai tingkat kemapanan dalam hal-hal yang bersifat
materi, ekonomi, politik, tapi mereka agak jauh dari kehidupan yang sesuai
dengan akidah Islam. Orang-orang semacam itu, kalau didekati dengan pendekatan
formalistis yang lebih menekankan pada dogma-dogma formal semacam pendekatan
halal-haram, akan sulit tercapai. Boleh jadi malah akan menjauh. Maka cara
terbaik terhadap kelompok seperti itu adalah pendekatan kultural.
Hanya saja, di kalangan perkotaan, bahkan di
sebagian kalangan pedesaan juga, masyarakat kita ini mengalami dua
kecenderungan yang sama kuat yang harus dipecahkan oleh gerakan dakwah.
Pertama, kecenderungan positif, yakni fenomena transenden, dimana masyarakat
kota ingin tampil lebih agamis. Maka berbondong-bondonglah orang naik haji,
umrah, ingin lebih dekat dengan tuntunan-tuntunan agama, kajian keagamaan
marak, dan lain sebagainya. Kedua, kecenderungan masif dan negatif, seperti
fenomena sikap-sikap amoral, maraknya pornoaksi dan pornografi, dan sejenisnya.
Intinya, dua hal saling berhadapan dan bertentangan ini akan terus bertarung.
Karena itu, model dakwah kultural akan tetap relevan karena metodologinya kan
lebih banyak kondisional dan mengakomodir lokalitas.
Lantas, apakah dakwah yang disampaikan Nabi SAW
maupun para sahabatnya bisa disebut pendekatannya kultural?
Begini. Nabi, atau para sahabat itu kan
berdakwah disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Sayyidina Umar bin
Khattab misalnya pernah bilang, "Khatibu an-naas 'ala qadri uqulihim"
(sampaikanlah ajaran Islam sesuai kadar kemampuan mereka). Jadi, saya kira cara
Nabi SAW maupun sahabatnya itu bisa saja kita sebut kultural. Kita lihat
bagaimana cara Nabi SAW mendekati kabilah-kabilah yang ada saat itu. Karena
itu, dapat kita tiru, tentu dengan kondisi masyarakat yang berbeda kini. Dan
sebenarnya apa yang dilakukan Nabi SAW dan sahabatnya itu kan cerminan dari
ketiga bentuk seperti disebut dalam Alquran, yakni Mauidah hasanah, jaadil hum
billati hiya ahsan, dan bil hikmah.
0 Response to "KH Hussein Umar: Dakwah Kultural Bagian Dari Strategi Dakwah Islam"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!