Prof Dr M Quraish Shihab: Kloning Manusia tidak Menyaingi Tuhan
Bagaimana
Anda melihat permasalahan sekitar kloning manusia?
Ada beberapa hal yang perlu kita cermati dalam
kloning. Pertama, kalau kloning manusia itu betul terjadi, maka hal itu sama
sekali tidak mengurangi kuasa Tuhan dalam penciptaan. Yang ingin saya katakan:
oh ini jangan lantas manusia dianggap telah mampu menciptakan manusia. Mengapa
saya katakan demikian, sebab pastilah pengetahuan yang diperoleh manusia itu
atas izin Tuhan.
Ia memperoleh pengetahuan berkat potensi yang
Tuhan anugerahkan kepadanya lalu dikembangkan dia punya kemampuan, sehingga dia
bisa menggunakan hukum-hukum alam yang pada akhirnya dapat mengantarkan pada
pengkloningan manusia. Sisi lain yang membedakan, bahwa Tuhan punya kuasa
menciptakan sesuatu tanpa bahan dan proses sebagaimana proses penciptaan bayi
kloning itu.
Di sisi itu, proses penciptaan manusia kloning
melalui bahan yang Tuhan telah ciptakan sebelumnya, yakni sel inti dan lain
sebagainya. Jadi kita tidak perlu menolak hal itu bila benar telah menjadi
fakta dengan menduga hal tersebut sebagai sesuatu untuk menyaingi Tuhan. Kedua,
sisi lain dari kloning, yaitu sesuatu yang dalam kemampuan manusia dapat
melakukannya/mengetahuinya tidak serta merta diizinkan atau dibenarkan oleh
agama.
Kenapa?
Sebab
agama memberi batasan-batasan pengetahuan atau langkah-langkah manusia meraih
pengetahuan tersebut. Batasan-batasan itu adalah manfaat yang dapat diperoleh
dari pengetahuan yang akan dicarinya atau dikembangkannya. Pada prinsipnya,
banyak agamawan menilai manfaat yang diperoleh dari penciptaan manusia melalui
kloning ini jauh lebih sedikit dibanding dengan mudharatnya.
Ketiga, penciptaan manusia kloning itu bukan
hanya menyentuh mudharatnya bagi masyarakat, tapi juga telah mengurangi hak
manusia yang dikloning. Ketika proses penciptaan manusia kloning ini dilakukan,
sedikit banyak tidak ada campur tangan manusia dalam penciptaannya, katakanlah
dalam jenis kelamin misalnya, atau boleh jadi dalam bentuk fisik atau psikis.
Jadi katakanlah kalau dia itu laki-laki, tapi sebenarnya dibiarkan begitu saja
kan bisa lahir perempuan.
Siapa yang mencabut pilihan bahwa dia bisa lahir
perempuan kemudian dia jadikan laki-laki, tak lain adalah orang yang melakukan
kloning tadi. Karena itulah sebenarnya pada satu sisi, upaya mengkloning
manusia itu telah mencabut hak asasi manusia.
Maksud Anda?
Iya, mudharatnya kan jelas lebih besar
daripada manfaatnya. Ada kenyataan dari waktu ke waktu, yakni perkembangan
produk-produk tehnologi ini makin menjauhkan manusia yang satu dengan lainnya.
Bahkan bisa-bisa kalau tadinya tehnologi itu dapat membantu manusia
menyempurnakan apa yang tidak dimilikinya, bisa jadi pada akhirnya hasil
tehnologi akan memperbudak manusia.
Misalnya, ketika manusia mampu menciptakan
pesawat, kali ini hasil tehnologi itu bukan hanya memberikan penyempurnaan bagi
anggota tubuhnya, tapi seakan-akan telah menambah anggota tubuh manusia dengan
sayap, sehingga kalau sebelumnya dia tidak memiliki sayap dan tidak mampu
berenang misalnya, kali ini dengan tehnologi dia mampu.
Semua ini berkembang dengan pesat sehingga ada
hasil-hasil tehnologi yang harus dikendalikan dan dijinakkan bila tidak ingin
hal itu membahayakan manusia dan mencabut hak asasinya. Semua itu harus
disiasati. Salah mensiasati maka bencana itu akan menimpa manusia. Karena
itulah saya ingin mengatakan, bahwa saya kuatir jangan sampai penciptaan
manusia melalui jalan kloning itu pada akhirnya menguasai manusia yang
menciptakannya. Itu sebabnya, kita harus memberi batasan-batasan agar
hasil-hasil tehnologi itu tidak mengarahkan pada merendahkan manusia itu
sendiri.
Kalau dari sisi moral, bagaimana?
Dampaknya itu memberikan kesan kemampuan
manusia yang luar biasa, bisa menjauhkan mereka dari Tuhan dan nilai-nilai
moral. Inilah di antaranya yang dijadikan pertimbangan kaum agamawan dan
moralis untuk sangat hati-hati bagi pengkloningan. Meskipun tanpa dinafikan,
tehnologi kloning itu ada manfaatnya.
Katakanlah ada orang yang membutuhkan ginjal
lantaran keberlangsungan hidupnya tergantung dari bantuan ginjal orang lain,
lalu dicangkokkan. Ini kan dianggap statusnya sama sebagai manusia, atau
dibutuhkan matanya dan lain sebagainya. Karena itulah, sampai saat ini rekayasa
genetika hanya dibolehkan selain terhadap makhluk hidup (manusia dan binatang).
Tanaman misalnya, itu boleh. Itu yang berlaku sampai sekarang ini.
Jika Anda katakan kloning manusia sama halnya
mencabut hak asasinya, kalau begitu bisa menimbulkan konflik dong?
Jelas bisa sekali. Saya contohkan, hasil
tehnologi bisa menjauhkan manusia atau menjadikan manusia itu asosial, misalnya
komputer, yakni internet. Beberapa waktu lalu saya hadiri seminar di Surabaya.
Disebutkan 35 persen dari siswa/mahasiswa di Amerika Serikat itu sudah tidak bergaul.
Mereka berhubungan, berbicara dan lain sebagainya, melalui email/internet.
Akhirnya dia tidak kenal orang. Ini kan menjauhkan manusia dari manusia, itu
jelas menyimpang kan.
Itu sebabnya ulama tidak membenarkan orang
shalat Jumat di rumah dengan mengikuti teve atau mendengarkan radio. Nah,
sekarang bila benar berhasil mengklon satu orang, maka nanti akan banyak lagi
manusia-manusia hasil kloning. Timbul pertanyaan, apa yang menjamin kita semua
dengan lahirnya manusia-manusia kloning tidak muncul semacam network di antara
mereka untuk menguasai manusia yang menciptakannya?
Sangat mungkin mereka tidak saja menguasai, tapi
juga akan membinasakan makhluk atau ciptaan Tuhan lainnya. Itu sebabnya,
tehnologi kloning manusia tidak saja telah menjungkirbalikkan nilai-nilai
agama, tapi juga sekaligus nilai-nilai kemanusiaan. Dia akan menjauhkan dengan
sesamanya. Oh kita tak perlu kawin, karena bisa mencipta manusia dengan jalan
lain tanpa hubungan seks. Masalah muncul, siapa ayah kandungnya, lalu soal
nasab, warisan, dan lain sebagainya. Semua itu berkaitan dengan ikatan
perkawinan yang resmi dan dilegalkan oleh agama. Itu sebabnya para ulama atau
kaum agamawan menolak.
Tadi Anda sebut harus ada batasan-batasan.
Seperti apa batasan dimaksud?
Asal pengkloningan itu tidak pada manusia,
itu saja batasannya. Sebab manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna,
manusia pula yang mestinya menjadi khalifah Allah di bumi. Memang tidak ada
teks khusus dalam Alquran soal ini (kloning). Tapi secara tidak langsung, Allah
menyebutkan bahwa 'Dia telah memuliakan manusia, di darat dan di laut yang Kami
jadikan manusia memiliki banyak kelebihan atas makhluk-makhluk ciptaan yang
lainnya'.
Manusia diciptakan Allah melalui proses yang
sangat suci. Kesucian itu ditandai dengan jalinan perkawinan. Nah, ini ada
manusia yang lahir tanpa proses semua itu. Karena itulah mengapa ada ketentuan
tentang perkawinan, soal siapa yang boleh dan yang tidak (dinikahi). Itu semua
dalam konteks untuk membuktikan kemuliaan manusia tersebut.
Menurut Anda, apakah dalam Alquran dijelaskan
adanya soal dapatnya pembuahan tanpa hubungan seks?
Para ulama, khususnya ulama fikih, banyak
mengemukakan contoh atau perandaian-perandaian dalam bidang hukum. Bahkan
sebagian perandaian itu sangat jauh/dari kenyataan atau imajinasi ilmuan pada
masanya. Tapi ternyata sebagian perandaian tersebut terbukti melalui kenyataan
ilmiah di masa kini. Itu sebabnya perkembangan ilmu fikih dinilai lebih maju
dari ilmu tafsir, misalnya. Toh demikian, sejauh yang saya tahu, saya belum
mengetahui adanya contoh atau perandaian menyangkut kloning atau inseminasi
buatan.
Misalnya dalam buku Albaher Ar-Raaiq Syareh Kanz
Ad-daqaaiq karya Ibnu Najim Al-Hanafi Jilid IV dikemukakan sebagai berikut:
''Apabila seorang lelaki menggauli hamba sahayanya pada selain farajnya
(kemaluan), kemudian dia mengeluarkan sperma, lalu hamba sahayanya itu
mengambil sperma tersebut dan memasukkannya ke farajnya pada saat keluarnya
sperma itu, lalu kemudian dia hamil, maka anak yang lahir menjadi anak dari
lelaki tersebut di atas dan hamba sahaya itu, menjadi ummu al-walad alias ibu
anak tersebut.''
Yang terbaca di atas tadi adalah satu
perandaian. Di situ terbaca pula bahwa anak yang lahir -- selama wanita yang
digauli sah hubungannya sebagai istri atau hamba sahaya dengan pria itu,
maka anak yang lahir tetap dinilai sebagai anak pria tersebut. Karena itu pula
jika terjadi pertemuan sperma seorang suami dan ovum seorang istri yang sah,
baik seperti contoh di atas maupun bila pertemuannya di luar rahim yang
diupayakan oleh dokter ahli dalam sebuah tabung maka anak yang lahir adalah
anak sah dari pemilik sperma.
0 Response to "Prof Dr M Quraish Shihab: Kloning Manusia tidak Menyaingi Tuhan"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!