Prof Dr Azyumardi Azra, MA: Setiap Muslim Berkumpul, Ya JI!
Di dunia intelektual
Indonesia, nama Prof Azyumardi Azra identik dengan gagasan dan pemikiran yang
moderat. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini
memang menganggap hal itu penting. Alasannya, bangsa Indonesia
memiliki keragaman (pluraisme). Di luar kesibukan akademis, pria yang karib
dengan sapaan Bang Edi ini, aktif menjadi pembicara di berbagai forum di dalam
negeri maupun luar negeri.
Pandangan
penulis 20 buku ini dua diterbitkan di Australia dinilai menawarkan
kebernasan. Tak mengherankan, bila kalangan pemerintah maupun pengamat di luar
negeri, menjadikan rujukan berkaitan dengan masalah keislaman di Indonesia.
''Pemahaman mereka tentang Islam amat minim, sehingga timbul persepsi bahwa
Islam itu identik kekerasan. Ini perlu diluruskan," ujarnya sembari
menyebutkan tudingan Jamaah Islamiyah (JI). Berikut hasil wawancara dengan Prof
Dr Azyumardi Azra, MA.
Sebenarnya, apa
yang disebut Jamaah Islamiyah (JI)?
Secara generik,
JI itu ya setiap orang Islam yang berkumpul dan membentuk satu kelompok. Itulah
jamaah, seperti ada jamaah haji, jamaah pengajian dan lain sebagainya. Dalam
Islam sendiri ada ajaran ukhuwah Islamiyah. Nah, setiap orang Muslim ada
kewajiban membangun dan mengembangkan ukhuwah tersebut. Melalui jamaah itulah,
antara lain ukhuwah Islamiyah dikembangkan. Hasilnya, ukhuwah membentuk suatu
komunitas, dan itu juga disebut Jamaah Islamiyah.
Memang harus dibedakan
antara Jamaah Islamiyah, seperti saya sebut tadi, dengan Jamaah Islamiyah yang
dipakai satu kelompok untuk menyebut kelompoknya itu. Kalau yang dimaksudkan JI
sebagai organisasi dan belakangan dituding sebagai pelaku berbagai teror,
sebenarnya bukan hal baru. Pada tahun 50-an, di Mesir sekelompok orang
membentuk organisasi JI, sempalan dari Ikhwanul Muslimin. JI di situ memang
organisasi yang memakai cara-cara kekerasan.
Kalau sebagai
organisasi gerakan, seperti Anda sebut itu, ada nggak di Indonesia?
Kalau secara
organisasi, saya tidak tahu persis. Tapi kalau istilah Jamaah Islamiyah memang
pernah dipakai pada era 80-an, oleh tokoh pergerakan saat itu, yakni Abdullah
Sungkar. Berdasar dokumen-dokumen yang ada dan juga beberapa peneltian yang
pernah dilakukan, menunjukkan Abdullah Sungkar itu rekrutan atau binaan tokoh
anti-Islam di masa lalu, Ali Moertopo. Di bawah kendali Moertopo, tak hanya
nama JI, muncul juga nama-nama lain, seperti Komando Jihad, Warsidi Lampung,
dan lainnya yang dimanfaatkan untuk menghancurkan gerakan dan citra Islam itu
sendiri. Nah, apakah istilah JI yang dipakai Abdullah Sungkar dulu itu dipakai
atau sama dengan JI sebagai organisasi yang sekarang termasuk apakah JI
sekarang ada strukturnya, ketua, sekretaris, dan sebagainya, ya wallahu a'lam.
Sekarang ini kan JI dituduh Barat, terutama AS, sebagai dalang dari berbagai
aksi teror di Indonesia.
Apa makna
tuduhan itu?
Apakah ada
skenario, tertentu di balik tuduhan tersebut? Saya kira ada skenario besar di
balik tuduhan itu. Tapi, terlepas dari ada tidaknya skenario itu, penggunaan
istilah JI jelas mengimbas pada umat Islam. Seperti saya tegaskan tadi, istilah
Jamaah Islamiyah itu kan merujuk kepada komunitas Islam secara keseluruhan.
Hanya saja, saya kira umat Islam tidak perlu emosional menanggapi tuduhan Barat
terhadap JI tersebut. Sebab yang mereka maksud adalah JI sebagai sebuah
gerakan/organisasi, yang menurut informasi intelijen mereka terlibat
berbagai tindak kekerasan dan aksi teror. Lagi pula, kalau disebut Jamaah
Islamiyah, seolah kita semua ikut juga di dalamnya, sebab yang dimaksud hanya
kelompok tertentu yang kebetulan memberi nama kelompoknya dengan JI. Jadi bukan
seluruh umat Islam. Tadi Anda sebut dampak terhadap umat Islam.
Yang paling
konkret, kira-kira dampak dalam bentuk apa?
Mungkin lebih
pada dampak citra. Kenyataan itu semakin memperkuat persepsi Barat bahwa di
kalangan umat Islam itu ada kelompok yang tidak segan-segan melakukan tindakan
kekerasan dan terorisme. Dengan demikian, di kalangan Barat, khususnya mereka
yang pengetahuannya terhadap Islam dangkal, semakin mengidentikkan Islam dengan
kekerasan dan terorisme. Padahal kekerasan itu dilakukan oleh segelintir orang
saja.
Tapi benar
tidak, ideologi dan tujuan gerakan JI itu mendirikan Negara Islam?
Itu mungkin
bagian saja dari banyak tujuan mereka. Bisa Negara Islam dalam tingkat lokal di
Indonesia, maupun dalam tingkat regional, yakni Negara Islam Nusantara (Asia
Tenggara), dan internasional sekalipun, meliputi dunia Islam seluruhnya. Dalam
konteks ini, mungkin ingin menghidupkan kembali sistem khilafah Islamiyah
seperti dulu. Sebenarnya itu sah-sah saja mendirikan Negara Islam, atau apapun
bentuknya. Tapi harus ditempuh dengan cara-cara demokratis, baik, dan tidak
dengan kekerasan. Misalnya dengan musyawarah, konstitusi yang tersedia. Islam
kan mengajarkan itu semua, "wa amruhu syura bainakum"
(bermusyawarahlah kamu sekalian dalam satu masalah).
Nah, sekarang
ini kan zaman terbuka, siapa pun bisa melakukan apa yang diinginkan. Tapi harus
pakai aturan yang ada, tak dibenarkan dengan kekerasan. Apalagi dengan cara bom
bunuh diri yang hanya menimbulkan korban manusia tak berdosa yang tak ada
kaitan sama sekali dengan sasaran. Bom bunuh diri itu sendiri adalah salah satu
perbuatan terlarang dalam Islam. Kalau kita bicara soal fundamentalisme agama,
tentu di semua agama ada kelompok radikal.
Bukan hanya
monopoli Islam saja. Kira-kira faktor apa penyebab lahirnya gerakan radikal
dalam Islam? Kompleks ya. Tapi setidaknya ada dua faktor utama, yakni secara
historis dan teologis. Secara historis, gerakan radikal Islam itu merupakan
warisan sejarah. Saat itu, kemunculan kelompok-kelompok radikal adalah pascakepemimpinan
khulafaurrasyidin (khalifah yang empat: Abu Bakar, Umar, Ali, dan Utsman--red).
Misalnya saja kelompok Khawarij, yang sangat radikal dan literal dalam memahami
ayat-ayat Alquran.
Prinsip mereka
itu ya, "Siapa pun yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka mereka
itu kafir," sebagaimana disebutkan dalam Alquran. Mereka kemudian
melakukan gerakan bawah tanah, juga melakukan teror dan kekerasan, bahkan
membunuh beberapa pemimpin di kalangan umat Islam saat itu. Model itu terus
berlangsung dan mewaris ke generasi berikutnya. Sampai abad 15, misalnya ada
kelompok Syiah bernama Assasin, dan Gulat di Turki, yang sangat ekstrem.
Sementara secara teologis, ya pemahaman yang sangat literal, tekstualis,
seperti saya singgung tadi. Misalnya juga idiom yang mereka pakai, "La
hukma illa Allah" (Tak ada hukum kecuali hukum Allah).
Atas dasar
inilah, mereka kemudian memerangi kalangan yang tak memakai hukum Allah,
termasuk kepada umat Islam sendiri. Malah mereka membuat tahapan-tahapan untuk
tujuan mereka itu. Tapi, saya juga perlu ingatkan, memang tidak hanya monopoli
Islam, radikalisme juga ada di agama-agama lain. Saya kira ada studi yang
menarik dari Mark Jurgeuns Meyer, dalam bukunya "Teror Atas Nama
Tuhan". Di situ Jurgeun mengungkapkan bahwa ada terorisme yang
mengatasnamakan agama, seperti di Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan juga
kalangan Islam sendiri. Dan faktornya saya kira sama, pemahaman teks kitab
mereka yang tekstual dan faktor politis.
Apa yang harus
diperbuat umat beragama untuk membendung arus radikalisme dan mencegah tindakan
terorisme?
Saya kira
tindakan apapun dan mengatasnamakan agama manapun yang ditempuh dengan
cara-cara kekerasan tidak dibenarkan. Di sinilah kalangan umat beragama
mempunyai kewajiban moral dan keagamaan untuk mengurangi radikalisme dalam
agama. Tentu ini terkait dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka
terhadap ajaran agamanya masing-masing. Tidak bisa kita misalnya, memahami satu
ayat tanpa melihat rangkaian ayat lainnya. Selain itu, juga perlu dikembangkan
dan ditingkatkan lagi dialog antaragama.
Toleransi
keagamaan juga dinilai cukup penting bagi pengembangan kehidupan beragama. Nah
NU dan Muhammadiyah, dua organisasi besar ini saya kira mempunyai peran besar
dan dapat menjadi pelopor kegiatan-kegiatan tersebut. Ada juga faktor politik
yang saya kira juga cukup penting. Radikalisme selama ini tak jarang timbul
akibat sistem politik yang tidak berimbang dan sekuler.
Karena itu,
saya sependapat dengan Jurgeuns Meyer, bahwa perlu adanya internalisasi nilai-nilai
agama ke dalam sistem politik. Dalam konteks global, juga terjadi
ketidakadilan, dimana Amerika dan sebagian negara-negara Barat lainnya
kebijakannya dinilai merugikan negara atau kelompok tertentu. AS selama ini
tidak adil dan memakai standar ganda, khususnya dalam menghadapi dunia Islam.
Ini saya kira mendesak dilakukan.
0 Response to "Prof Dr Azyumardi Azra, MA: Setiap Muslim Berkumpul, Ya JI!"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!