Qardhawi: Hukum Menonton Televisi
Televisi sama
halnya seperti radio, surat kabar, dan majalah. Semua itu hanyalah alat atau
media yang digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan sehingga kita tidak dapat
mengatakannya baik atau buruk, halal atau haram. Segalanya tergantung pada
tujuan dan materi acaranya.
Seperti halnya
pedang, di tangan mujahid ia adalah alat untuk berjihad; dan bila di tangan
perampok, maka pedang itu merupakan alat untuk melakukan tindak kejahatan. Oleh
karenanya sesuatu dinilai dari sudut penggunaannya, dan sarana atau media
dinilai sesuai tujuan dan maksudnya.
Televisi dapat
saja menjadi media pembangunan dan pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan
kemasyarakatan. Demikian pula halnya radio, surat kabar, dan sebagainya. Tetapi
di sisi lain, televisi dapat juga menjadi alat penghancur dan perusak. Semua
itu kembali kepada materi acara dan pengaruh yang ditimbulkannya.
Dapat saya
katakan bahwa media-media ini mengandung kemungkinan baik, buruk, halal, dan
haram. Seperti saya katakan sejak semula bahwa seorang Muslim hendaknya dapat
mengendalikan diri terhadap media-media seperti ini, sehingga dia menghidupkan
radio atau televisi jika acaranya berisi kebaikan, dan mematikannya bila berisi
keburukan.
Lewat media ini
seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan berita-berita dan acara-acara
keagamaan, pendidikan, pengajaran, atau acara lainnya yang dapat diterima
(tidak mengandung unsur keburukan/keharaman). Sehingga dalam hal ini anak-anak
dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah dari suguhan hiburan yang menyenangkan
hatinya atau dapat memperoleh manfaat dari tayangan acara pendidikan yang
mereka saksikan.
Namun begitu,
ada acara-acara tertentu yang tidak boleh ditonton, seperti tayangan film-film
Barat yang pada umumnya merusak akhlak. Karena di dalamnya mengandung
unsur-unsur budaya dan kebiasaan yang bertentangan dengan akidah Islam yang
lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan bahwa setiap gadis harus mempunyai
teman kencan dan suka berasyik masyuk.
Kemudian hal
itu dibumbui dengan bermacam-macam kebohongan, dan mengajarkan bagaimana cara
seorang gadis berdusta terhadap keluarganya, bagaimana upayanya agar dapat
bebas keluar rumah, termasuk memberi contoh bagaimana membuat rayuan dengan
kata-kata yang manis. Selain itu, jenis film-film ini juga hanya berisikan
kisah-kisah bohong, dongeng-dongeng khayal, dan semacamnya. Singkatnya, film
seperti ini hanya menjadi sarana untuk mengajarkan moral yang rendah.
Secara objektif
saya katakan bahwa sebagian besar film tidak luput dari sisi negatif seperti
ini, tidak sunyi dari adegan-adegan yang merangsang nafsu seks, minum khamar,
dan tari telanjang. Mereka bahkan berkata, "Tari dan dansa sudah
menjadi kebudayaan dalam dunia kita, dan ini merupakan ciri peradaban
yang tinggi. Wanita yang tidak belajar berdansa adalah wanita yang tidak
modern. Apakah haram jika seorang pemuda duduk berdua dengan seorang gadis sekedar
untuk bercakap-cakap serta saling bertukar janji?"
Inilah yang
menyebabkan orang yang konsisten pada agamanya dan menaruh perhatian terhadap
akhlak anak-anaknya melarang memasukkan media-media seperti televisi dan
sebagainya ke rumahnya. Sebab mereka berprinsip, keburukan yang ditimbulkannya
jauh lebih banyak daripada kebaikannya, dosanya lebih besar daripada
manfaatnya, dan sudah tentu yang demikian adalah haram. Lebih-lebih media
tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan pikiran, yang
cepat sekali menjalarnya, belum lagi waktu yang tersita olehnya dan menjadikan
kewajiban terabaikan.
Tidak diragukan
lagi bahwa hal inilah yang harus disikapi dengan hati-hati, ketika keburukan
dan kerusakan sudah demikian dominan. Namun cobaan ini telah begitu merata, dan
tidak terhitung jumlah manusia yang tidak lagi dapat menghindarkan diri
darinya, karena memang segi-segi positif dan manfaatnya juga ada. Karena itu,
yang paling mudah dan paling layak dilakukan dalam menghadapi kenyataan ini
adalah sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya, yaitu berusaha
memanfaatkan yang baik dan menjauhi yang buruk di antara film bentuk tayangan
sejenisnya.
Hal ini dapat
dihindari oleh seseorang dengan jalan mematikan radio atau televisinya, menutup
surat kabar dan majalah yang memuat gambar-gambar telanjang yang terlarang, dan
menghindari membaca media yang memuat berita-berita dan tulisan yang
buruk.
Manusia adalah
mufti bagi dirinya sendiri, dan dia dapat menutup pintu kerusakan dari dirinya.
Apabila ia tidak dapat mengendalikan dirinya atau keluarganya, maka langkah
yang lebih utama adalah jangan memasukkan media-media tersebut ke dalam
rumahnya sebagai upaya preventif (saddudz dzari'ah).
Inilah pendapat
saya mengenai hal ini, dan Allahlah Yang Maha Memberi Petunjuk dan Memberi
Taufiq ke jalan yang lurus.
Kini tinggal
bagaimana tanggung jawab negara secara umum dan tanggung jawab produser serta
seluruh pihak yang berkaitan dengan media-media informasi tersebut.
Karena bagaimanapun, Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka
terhadap semua itu. Maka hendaklah mereka mempersiapkan diri sejak
sekarang.
0 Response to "Qardhawi: Hukum Menonton Televisi"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!