Makmun Nawawi: Hakikat Menyelami Nikmat Allah
Dikisahkan, suatu hari di sebuah negeri, matahari tidak terbit. Para petani
bangun pagi-pagi agar bisa berangkat ke sawah dan ladangnya, namun keadaan
gelap gulita.
Para pegawai dan pekerja pun demikian, bangun sejak awal agar mereka bisa
berangkat ke tempat tugasnya. Namun, kegelapan benar-benar pekat.
Hal yang sama juga menimpa pelajar dan mahasiswa di mana mereka tidak bisa
berangkat ke tempat studinya karena gelap begitu mencekam.
Sepanjang hari itu, semua orang tidak ada yang melakukan aktivitas. Mereka
semua menganggur dan kehidupan pun terhenti. Keadaan benar-benar chaos dan
kacau balau. Bayi-bayi, tubuhnya menggigil dan lemas karena kedinginan.
Kecemasan dan ketakutan menghantui semua orang.
Begitu tiba malam hari, bulan pun tidak tampak! Orang-orang pun semuanya
berangkat ke tempat ibadahnya, meneriakkan selawat dan menghamburkan doa.
Mereka berteriak histeris seraya merunduk berdoa agar matahari bisa kembali
bersinar. Malam itu tidak ada seorang pun yang bisa memejamkan mata.
Keesokan harinya, saat pagi menjelang, ternyata matahari kembali bersinar dari
orbitnya. Orang-orang pun saling bersahutan mengekspresikan kegirangan yang
tiada terperi. Sambil mengangkat tangan ke langit, mereka pun tak
henti-hentinya menggemakan puji syukur kepada Allah, seraya saling memberikan
ucapan selamat satu sama lain di antara mereka.
Kemudian, salah seorang bijak bestari di negeri itu pun berujar, “Mengapa
kalian hanya bersyukur kepada Allah lantaran terbitnya matahari di hari ini
saja? Bukankah matahari itu bersinar setiap pagi (hari)? Bukankah kalian tahu
kalau kalian sudah mereguk beragam nikmat Allah sepanjang masa?”
Itulah sebagian watak asli sekaligus kealpaan dan kelalaian manusia ketika
mereka didera oleh berbagai macam kesulitan dan kepanikan, baru mereka kembali
pada Allah (An-Nahl [16]: 53), seraya mengakui nikmat-Nya. Itu pun hanya
terhadap sebagian kecil nikmat, padahal sudah teramat banyak nikmat Allah yang
dicurahkan padanya (Ibrahim [14]: 32-34), yang tanpa disadarinya.
Kita baru bisa menyelami nikmat Allah jika bertalian dengan hal-hal material
atau yang kasat mata, misalnya, diberikan harta melimpah, jabatan dan posisi
yang enak, terbebas dari kecelakaan, lulus dalam testing sekolah atau
pekerjaan, dan pendamping atau pasangan hidup yang setia.
Padahal, nikmat Allah itu terus dikucurkan pada hamba-Nya di setiap tarikan
napas mereka, yang sekaligus menjadi penopang utama kehidupan mereka, tanpa
mereka sadari. Misalnya, jantung yang terus berdetak, napas yang terus
menghirup udara bebas, mata yang bisa menatap, mulut yang bisa bicara, hidung
yang bisa mengendus rupa-rupa aroma, kuping yang bisa mendengar, kulit yang
bisa merasakan dingin atau panas, kita bisa tidur, terjaga, jalan ke mana suka,
dan seterusnya.
Tidak cukupkah kita dengan gugahan Allah yang berkali-kali dalam Surah
Ar-Rahman, “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Maka, betapa lancungnya dan tidak etis sekali jika kita hanya mau taat dan
beribadah kepada Allah di kala kita didera kesulitan dan menyimpan segudang
keinginan.
Sumber:
www.republika.co.id
0 Response to "Makmun Nawawi: Hakikat Menyelami Nikmat Allah"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!