Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 (3/3)

Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 (3/3)
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
Jakarta, 8 Agustus 2010/28 Sya’ban 1432

Kedudukan Kejaksaan Dalam UU No 5 Tahun 1991

Berbeda dengan UU No 15 Tahun 1961 yang dalam konsideransnya menyebut Kejaksaan adalah ”alat negara” dan juga ”alat revolusi”,  UU No 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam konsiderannya tidak lagi menyebut kejaksaan sebagai ”alat negara” tetapi menyebutnya sebagai ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tatanan susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan”.  Jadi telah terjadi pergeseran cukup penting dalam memandang kedudukan institusi Kejaksaan, dari ”alat negara” menjadi ”lembaga pemerintahan”. Penegasan ini, lebih mempertajam dari rumusan UU No 15 Tahun 1961, yang menempatkan Kejaksaan sepenuhnya berada dalam ranah eksekutif.

Selanjutnya dikatakan bahwa Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan” (Pasal 18 ayat 1). Istilah Departemen Kejaksaan dan Menteri sebagai penyelenggaranya sebagaimana diatur di dalam UU No 15 Tahun 1961 dihapuskan. Jaksa Agung sendiri ”diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggungjawab kepada Presiden” (Pasal 19). Penegasan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah kewenangan Presiden, serta pertanggungjawabannya kepada Presiden,  sekali lagi mempertegas bahwa kejaksaan adalah sepenuhnya berada di bawah ranah kekuasaan eksekutif. Penegasan ini adalah sejalan pula dengan konsideran mengingat yang digunakan dalam penyusunan undang-undang ini, yakni  sebagaimana UU No 15 Tahun 1961 tidaklah menjadikan ketentuan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar pembentukannya. Undang-undang ini, selain menggunakan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, malah menjadikan UU No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai konsideran mengingatnya.

Sebagaimana ketentuan dalam UU No 15 Tahun 1961, UU No 5 Tahun 1991 ini juga tidak mengatur tentang masa jabatan Jaksa Agung.  Hal yang sama sebenarnya juga tidak ada di dalam hukum tatanegara Belanda dan ketentuan-ketentuan di dalam HIR dan RIB, karena Jaksa Agung adalah jaksa karier yang akan pensiun pada usia tertentu, atau setiap saat dia dapat diberhentikan oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Perdana Menteri. Dalam UU No 5 Tahun 1991 tidak ada pula pembatasan apakah Jaksa Agung diangkat dari Jaksa karier, ataukah pengangkatan itu bersifat politik. Kedua-duanya dapat dilakukan oleh Presiden, berdasarkan pertimbangan subyektif Presiden sendiri. Namun konvensi ketatenegaraan yang telah berlangsung sejak tahun 1971, yakni Jaksa Agung selalu diangkat dan diberhentikan Presiden pada awal dan akhir masa bakti kabinet terus berlangsung. Konvensi itu terus diikuti sesudah Presiden Suharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden pada tanggal 21 Maret 1998. Pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung di awal dan diakhir masa bakti kabinet, diikuti juga selama UU No 5 Tahun 1991 ini berlaku, yakni di bawah Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Konvensi adalah hukum dasar yang tidak tertulis, namun terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara.

Sedikit ”pengecualian” memang terjadi pada masa Presiden Suharto berhenti, beliau, dengan inisiatifnya sendiri menyatakan bahwa Kabinet Pembangunan VII yang dipimpinnya demisioner. Dengan pernyataan demisioner – hal yang tidak pernah dipraktikkan di manapun juga di dunia ini dalam sistem pemerintahan Presidensial – maka para menteri sebenarnya tidaklah otomatis berhenti, sampai diberhentikan dan dilantik menteri-menteri baru oleh Presiden penggantinya, yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden. Presiden Habibie mengumumkan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 23 Maret 1998 dengan memberhentikan para menteri Kabinet Pembangunan VII dan mengangkat menteri-menteri dan pejabat setingkat menteri yang baru, tetapi ketika itu Presiden Habibie tidak memberhentikan Jaksa Agung Sudjono Chanafiah Atmonegoro.

Saya berpendapat keberadaan Atmonegoro tetap sah sebagai Jaksa Agung dengan status demisioner – karena Presiden Suharto tidak membubarkan kabinet, melainkan menyatakannya demosioner, sampai Presiden Habibie  mengangkat kembali yang bersangkutan sebagai Jaksa Agung dalam kabinet Reformasi Pembangunan, atau menggantinya dengan orang lain. Dalam kenyataannya pada tanggal 17 Juni 1998, Presiden Habibie memberhentikan Atmonegoro dan mengangkat Andi Muhammad Ghalib sebagai Jaksa Agung. Andi Ghalib diberhentikan sementara dari jabatannya tanggal 14 Juni 1999. Presiden Habibie kemudian mengangkat Wakil Jaksa Agung Ismudjoko sebagai Jaksa Agung ad interim sampai berakhirnya masa jabatan Presiden Habibie tanggal 20 Oktober 1999.


Kedudukan Kejaksaan Dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 

UU No 5 Tahun 1991 ini berlaku terus sampai kita memasuki era reformasi. Perubahan terhadap UU ini baru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati, yakni pada tahun 2004, ketika seluruh proses perubahan UUD 1945 telah selesai. Di era Pemerintahan Presiden Megawati, baik DPR maupun Pemerintah sama-sama berkeinginan untuk melakukan perubahan atas UU No 5 Tahun 1991. Namun karena RUU yang berasal dari Badan Legislasi DPR masuk lebih dahulu, yakni tanggal 25 Oktober 2002, maka RUU inilah yang dijadikan pembahasan. Sementara RUU yang berasal dari Pemerintah dijadikan sebagai sandingan dan dimasukkan ke dalam Daftar Isian Masalah (DIM).

Rumusan pasal-pasal dalam bab IX UUD 1945 tentang ”Kekuasaan Kehakiman” yang melatarbelakangi penyusunan dan pembahasan RUU ini memang mengalami perubahan cukup besar jika dibandingkan dengan rumusan sebelumnya. Setelah perubahan, ketentuan IX Pasal 24 ayat (1) berbunyi  ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Ayat (2) ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan peradilan agama, lingkungan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi”. Ayat (3) ”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang”.

Kalau kita membaca seluruh ketentuan di dalam Bab IX ini, sebagaimana juga dalam keseluruhan teks UUD 1945 setelah perubahan, niscaya kita tidak akan menemukan kata ”kejaksaan” disebutkan di dalamnya. Kata ”polisi” yang sebelumnya juga tidak ada, setelah perubahan mendapatkan tempat yang khusus diatur dalam Bab XII tentang Pertahanan Negara (Pasal 30 ayat 4 dan 5). Oleh karena kata kejaksaan tidak terdapat dalam UUD 1945 setelah perubahan, maka reka-rekaan akademis dan politis untuk menempatkan kedudukan Kejaksaan kembali terjadi. Di kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selalu berkeinginan agar lembaga-lembaga penegak hukum ”independen”, sudah barangtentu tidak menginginkan Kejaksaan berada di bawah ranah eksekutif. Sebagian akademisi berpendapat sama. Mereka berpendapat sudah seharusnya institusi kejaksaan ditempatkan ke dalam ranah kekuasaan yudikatif sebagaimana bunyi Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.

Di Badan Legislasi DPR, para politisi bekerja merumuskan amandemen UU No 5 Tahun 1991 untuk menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga independen. Usul Inisiatif DPR atas perubahan UU No 5 Tahun 1991 akhirnya diterima oleh Rapat Paripurna DPR dan dikirimkan oleh DPR kepada Presiden tanggal 25 Oktober 2002. Sementara itu, di kalangan Pemerintah juga dilakukan upaya yang sama, yakni ingin merubah keseluruhan UU No 5 Tahun 1991 dan membentuk UU Kejaksaan yang baru, bukan sekedar perubahan parsial seperti inisiatif DPR. Perbedaan prinsipil antara RUU inisiatif DPR dengan Pemerintah ialah dalam menafsirkan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 dalam kaitannya dengan kedudukan Kejaksaan serta proses rekruitmen Jaksa Agung dan masa jabatan Jaksa Agung. Sedangkan persamaannya, kedua pihak sama-sama ingin menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bekerja secara independen, lepas dari pengaruh.

Bagi DPR ketentuan Pasal 24 ayat (3) haruslah ditafsirkan bahwa Kejaksaan adalah ”lembaga penegak hukum yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mananpun”. Jadi DPR ingin agar lembaga ini terpisah dari ranah kekuasaan eksekutif dan sepenuhnya menjadi mandiri dan independen. Oleh karena itu, dalam hal rekruitment Jaksa Agung, DPR mengusulkan agar  pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung ”diresmikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.  Calon Jaksa Agung diajukan oleh Presiden kepada DPR untuk disetujui oleh DPR. Setelah seorang calon disetujui, maka Presiden kemudian meresmikan calon itu menjadi Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah pejabat negara (Pasal 19). Masa jabatan Jaksa Agung dibatasi selama 5 tahun (Pasal 19D).

Pemerintah sebaliknya berkeinginan mempertahankan kedudukan Kejaksaan sebagai ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan” namun dilakukan secara ”independen dalam tata susunan kekuasaan badan penegak hukum dan keadilan”. Jadi, Pemerintah tidak berkeinginan agar Kejaksaan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan itu, keluar dari ranah eksekutif. Jaksa Agung adalah pejabat negara, tetapi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 21). Namun mereka yang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda. Dengan demikian, Pemerintah ingin Jaksa Agung diangkat dari pejabat karier untuk mengokohkan profesionalisme Kejaksaan. Oleh karena Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan Presiden, maka sebagaimana dalam UU No 5 tahun 1991, tidak diatur batas masa jabatan Jaksa Agung. Pemerintah berpendapat bahwa konvensi ketatanegaraanlah yang akan membatasi masa jabatan Jaksa Agung itu, sehingga tidak perlu dimasukkan ke dalam rumusan suatu pasal dalam RUU ini.

Pembahasan RUU ini dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat. Sebagian besar fraksi-fraksi DPR menarik usulan mereka tentang Jaksa Agung yang independen dan dikeluarkan dari ranah eksekutif. Mereka juga menarik usulan agar Jaksa Agung dipilih DPR dan diresmikan oleh Presiden. Pemerintah dan DPR akhirnya sama-sama menyepakati bahwa Jaksa Agung tetaplah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, karena dalam sistem Presidensial, Kejaksaan Agung memang berada di bawah ranah eksekutif, maka menjadi kewenangan Presidenlah untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung. DPR juga sepakat untuk menarik usulannya tentang pembatasan masa jabatan Jaksa Agung selama 5 tahun. Karena, seperti dikatakan oleh M Tahir Saimima dari Fraksi PPP, Jaksa Agung itu biasanya adalah pejabat setingkat menteri. Jadi sebagaimana menteri-menteri, mereka diangkat diawal masa jabatan Presiden dan diberhentikan ketika masa jabatan Presiden berakhir.

Apakah dengan tetap mempertahankan kedudukan Kejaksaan dalam ranah eksekutif tidak bertentangan dengan  rumusan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan?  Saya berpendapat semua itu tergantung pada penafsiran kita atas seluruh ketentuan dalam BAB IX UUD 1945 yang membicarakan Kekuasaan Kehakiman dalam konteks Peradilan. ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sementara lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman itu disebutkan secara limitatif yakni ”dilakukan oleh  sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya…dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” (Pasal 24 ayat 1 dan 2). Sementara ”badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.

Ketika menulis makalah ini, saya belum sempat membaca ulang risalah pembahasan perubahan UUD 1945 di Badan Pekarja MPR ketika merumuskan pasal ini. Namun, di sinilah dasar hukum pembentukan Kejaksaan itu, sebagai badan, yang dalam praktik maupun aturan-aturan normatifnya, yakni tugas utamanya melakukan penuntutan dalam perkara pidana.  Dalam melakukan penuntutan itu, dan juga nantinya dalam melaksanakan putusan pidana, maka Kejaksaan adalah badan yang secara fungsional terkait dengan kekuasaan kehakiman. Kalau hanya ”terkait” tidaklah harus diartikan Kejaksaan itu sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman itu sendiri. Petugas Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan juga terkait dengan kekuasaan kehakiman, dalam konteks teori criminal justice system. Namun dalam sejarahnya, rumah tahanan dan lembaga pemsyarakatan tetap berada di bawah Departemen Kehakiman yang merupakan ranah kekuasaan eksekutif.


Kesimpulan dan Penutup

Dari uraian panjang lebar di atas, saya ingin menyimpulkan bahwa kedudukan Kejaksaan dalam sistem Parlementer Belanda, sebagaimana juga diikuti di Hindia Belanda, sampai kita merdeka hingga tahun 1959, kedudukan Kejaksaan adalah mendua. Secara organisasi, personil dan keuangan institusi ini berada di bawah Kementerian Kehakiman, namun secara fungsional, lembaga ini bekerja dalam penyelenggaraan badan-badan peradilan, sehingga Jaksa Agung disebut sebagai Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Namun dalam praktiknya di Negeri Belanda, maupun di Indonesia sebagaimana ditunjukkan Jaksa Agung Soeprapto, institusi ini dapat bekerja secara mandiri dan independen, tidak tunduk pada pengaruh kekuasaan eksekutif maupun yudikatif. Faktor individu, rupanya mempengaruhi efektifikas sebuah sistem ketika dia berjalan dalam kenyataan.

Pada semua negara yang menganut sistem Pemerintahan Presidensial, khususnya di Amerika Serikat dan Philipina, Kejaksaan semata-mata menjalankan tugas sebagai penuntut umum (Public Prosecutor). Tugas melakukan penyidikan atas perkara-perkara pidana dilakukan oleh badan yang terpisah, yakni Federal Bureau of Investigation dan National Bureau of Investigation. Namun kedua institusi ini sama-sama berada di bawah Department of Justice. Jadi, di Amerika dan Philipina yang menganut sistem Presidensial itu,  Kejaksaan berada  dalam ranah eksekutif, bukan ranah yudikatif.

Di negara kita, yang juga menganut sistem Presidensial di bawah UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan, dalam tiga Undang-Undang tentang Kejaksaan yang pernah ada  (UU No 15 Tahun 1961; UU No 5 Tahun 1991 dan UU No 16 Tahun 2004), semuanya mengatur bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah, yang juga berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif. Tugas utama kejaksaan sebagai institusi yang berwenang melakukan penuntutan, di manapun di dunia ini memang tidak pernah dikategorikan sebagai tindakan yudikatif dan selalu menjadi tindakan eksekutif. Apalagi Kejaksaan kita mempunyai tugas-tugas lain seperti penyidikan dan pengawasan yang lazim dikategorikan sebagai tindakan ekskutif. Sejak Kejaksaan sepenuhnya ditempatkan di dalam ranah eksekutif di bawah UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959,  maka Jaksa Agung selalu menjadi menjadi anggota kabinet, baik dengan status menteri atau pejabat setingkat menteri.

Semua undang-undang Kejaksaan yang pernah ada di bawah UUD 1945 tidak ada yang mengatur berapa lamakah jabatan Jaksa Agung. Karena dia berstatus menteri atau pejabat setingkat menteri yang menjadi anggota kabinet, maka praktik ketatanegaraan menunjukkan kepada kita bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah sama dengan masa jabatan Presiden dan kabinet yang dibentuknya. Tidak ada kebingungan terhadap masalah ini sepanjang sejarah ketatanegaraan RI, kecuali kasus Hendarman Supandji di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Hendarman diangkat menjadi Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu berdasarkan Keppres No. 34/P Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007, menggantikan Abdul Rachman Saleh yang diangkat melalui Keppres No 187/M Tahun 2004. Semestinya, jabatan Hendarman berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009, bersamaan dengan berakhirnya jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan pembubaraan Kabinet Indonesia Bersatu pada tanggal yang sama. Hendarman tidak diberhentikan meski jabatan Presiden berakhir dan kabinet dibubarkan dan juga tidak pernah diangkat kembali sebagai Jaksa Agung. Namun baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Hendarman sendiri, tetap menganggap dirinya sebagai Jaksa Agung yang sah.

Kontroversi keabsahan Hendarman adalah kontroiversi hukum hukum administrasi negara kita, yang telah menimbulkan polemik di kalangan akademisi, politisi dan praktisi hukum  kurun waktu dua bulan terakhir ini.  Sah atau tidaknya Hendarman,  akan tergantung pada  tafsiran manakah yang benar dalam memahami masa jabatan jaksa agung, yang memang tidak diatur di dalam UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Mahkamah Konstitusi  kini sedang memeriksa perkara pengujian ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang pada akhirnya akan memberikan putusan, apakah Hendarman sah atau tidak menjadi Jaksa Agung setelah tanggal 20 Oktober 2009. Mahkamah Konstitusi adalah ”the guardian of the constitution” dan sekaligus ”the final interpreter of the constitution”, yang putusannya bersifat final dan mengikat semua pihak di negara kita ini.
Wallahu ’alam bissawwab.

Sumber: yusril.ihzamahendra.com

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 (3/3)"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!