Korupsi rampas hak masyarakat
Oleh Karel A
Polakitan
Deras desakan berbagai
kalangan agar seorang yang sudah divonis pelaku korupsi dihukum mati. Karena
bagi mereka, penjara tidak akan memberikan efek jera. Sehingga tidak heran bila
pelaku korupsi semakin banyak dengan jumlah uang yang capai miliaran rupiah.
"Ini sangat tidak adil. Mereka mengambil yang bukan haknya. Korupsi
mengambil atas hak masyarakat pendidikan, kesehatan, pangan, dan akses
masyarakat," kata Marthen Frans, warga masyarakat, Kelurahan Kinilow I,
Kecamatan Tomohon Utara.
Menurut dia, atas pengambilan terhadap hak-hak masyarakat tersebut, hukuman
mati menjadi sebuah pilihan yang tepat bagi seorang terpidana korupsi.
Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Community Movement,
Empowerment and Environment (C-MORE), Sulawesi Utara, Boaz Wilar, mengatakan,
seorang koruptor bisa saja dihukum mati.
Namun, harus memperhatikan putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan Mahkamah Agung sebagai pengadilan
kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap.
"Memang yang diperlukan sekarang ini adalah keputusan hukum yang bisa
memberikan efek jera bagi individu yang melakukan korupsi, atau untuk orang
yang memiliki niat melakukan korupsi," katanya.
Bila tidak, kata akademisi Universitas Pembangunan Indonesia ini, korupsi hanya
dipandang sebagai sebuah kejahatan biasa karena dari sisi hukuman hanya
mendapatkan tergolong ringan karena hanya beberapa tahun.
Hukuman penjara tidak akan memberikan efek jera bagi koruptor, dibenari Direktur
Gratifikasi Komisi Pemberantaasan Korupsi (KPK), Giri Suprapdiono, kala berada
di Manado usai semiloka koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi, awal
Oktober lalu.
Menurut dia, ada pilihan lebih bagus untuk seorang koruptor dengan cara
dimiskinkan. Ketika dimiskinkan masuk penjara: tidak bisa beli kamar, atau AC
dan sewa pengacara atau menyuap aparat penegak hukum, serta mencegah munculnya
tindakan kejahatan baru seperti mengancam aparat.
Dia mengatakan, seorang terpidana korupsi bisa saja dihukum mati, namun hanya
terkait dengan kondisi tertentu seperti mengkorupsi uang bencana alam yang
dialokasikan untuk orang yang mengalami kesusahan.
"Di luar itu, seorang terpidana korupsi bisa dikenakan hukuman seumur
hidup. Memang wacana hukuman mati masih terjadi pertentangan karena ada kubu
yang setuju dan di pihak lain menolak. Sehingg pilihan untuk memiskinkan
koruptor lebih tepat dilakukan," katanya.
Cara lainnya untuk memiskinkan, kata dia, dengan mengembangkan "social
cost corruption" untuk pelaku korupsi.
Seorang melakukan pembabatan hutan, misalnya. Selama ini nilai kerugian yang
dihitung hanya kayu yang diambil, namun tidak menghitung dampak lainnya yang
hilang seperti kerusakan lingkungan, gangguan terhadap masyarakat adat atau
hilangnya objek pariwisata.
"Nilai-nilai yang hilang ini harus dihitung. Bisa saja setelah kalkulasi
akan melebihi dari nilai kerugian negara akibat pembabatan hutan,"
katanya.
Di sisi lain Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, Sinyo H Sarundajang pada sebuah
konferensi pers bersama dengan KPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangununan, beberapa pekan lalu mengatakan, KPK fokus mencegah terjadinya
korupsi pada sektor-sektor strategis seperti pertambangan, ketahanan pangan dan
pendapatan.
"Karena itu dalam upaya pencegahan korupsi menuju mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik di Sulawesi Utara, KPK bekerja sama dengan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyelenggarakan semiloka pencegahan
korupsi," katanya.
Menurut gubernur, menjadi harapan bersama terjadi peningkatan akuntabilitas
pelayanan publik, pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD),
dan sektor strategis di daerah ini.
"Perbaikan demi perbaikan dalam pengelolaan keuangan daerah terus
dilakukan pemerintah daerah. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kabupaten dan
kota yang mendapatkan opini wajar dengan pengecualian. Sementara pemerintah
provinsi dan Kota Bitung memperoleh opini wajar tanpa pengecualian,"
katanya.
Badan Pemeriksa Keuangan memiliki pandangan sendiri terkait pengelolaan keuangan
daerah yang belum memenuhi harapan.
Menurut Kepala BPK Perwakilan Sulawesi Utara, Beni Ruslandi, belum terlihat
pemerintah daerah melakukan penilaian dan identifikasi risiko. Dan ketika
risiko yang terjadi sudah diketahui, pemda harus membuat rencana mitigasi
dampak dari risiko tersebut, sehingga tidak terjadi dampak besar.
"Nah kami belum melihat pemda melakukan analisis risiko, buat dokumentasi
kemudian melakukan perencanaan mitigasi. Akibatnya banyak sekali persoalan yang
muncul dalam pengelolaan keuangan daerah," katanya.
Dia mencontohkan, ketika diketahui salah satu sebab terjadi persoalan
pengelolaan keuangan adalah pegawai yang tidak berkompeten, pemda harus buat
mitigasi agar tidak terjadi dampak luas dalam pengelolaan keuangan.
Dia pesismistis, meskipun pemerintah daerah memiliki sumber daya manusia yang
cukup banyak sehingga menyerap belanja pegawai melebihi 50 persen, belum
menjamin pengelolaan keuangan berjalan baik karena kompotensi yang dimiliki
pegawai masih kurang.
Sebagaimana data BPK pada akhir Juli 2013, berdasarkan laporan hasil
pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah, opini wajar tanpa
pengecualian (WTP) diberikan kepada Provinsi Sulawesi Utara dan Kota Bitung.
Sementara opini wajar dengan pengecualian (WDP) diberikan kepada Kabupaten
Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Selatan, Kota Tomohon, Manado,
Kabupaten Kepulauan Sitaro dan Kabupaten Minahasa Utara. Opini tidak wajar
diberikan kepada Kabupaten Minahasa, dan Kabupaten Kepulauan Sitaro.
Sementara opini tidak memberikan pendapat disematkan BPK kepada Kabupaten
Bolaang Mongondow dan Kabupaten Kepulauan Sangihe.
"Bagaimana bisa mendapatkan opini yang lebih baik bila
rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh BPK tidak ditindaklanjuti,"
katanya.
Dia mengatakan, kelemahan dalam pengelolaan keuangan dapat dikaitkan dengan
etika atau integritas pejabat yang tidak baik, serta kurangnya kompetensi
sumberdaya manusia di inspektorat sehingga berpeluang menyebabkan kerugian
daerah.
Di mata, Deputi Bidang Polsoskam, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), Binsar Simanjuntak, ketika berkunjung ke Manado beberapa pekan lalu,
peningkatan opini pengelolaan keuangan dari tidak wajar, tidak memberikan
pendapat menjadi wajar dengan pengecualian (WDP) atau wajar tanpa pengecualian
(WTP) butuh komitmen pimpinan.
"Komitmen seorang pemimpin ini harus dibuktikan dengan turun ke bawah,
serta memberikan dorongan kepada seluruh jajaran agar berupaya keluar dari
opini pengelolaan keuangan yang buruk. Bila tidak, kondisi yang ada diciptakan
terjadi terus-menerus seperti. Tidak ada perubahan atas opini yang diberikan
BPK," katanya.
Sumber:
www.antaranews.com
0 Response to "Korupsi rampas hak masyarakat"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!