Kepemimpinan Trisakti
Kepemimpinan
Trisakti - Pada awal musim
hujan yang baru turun di tanah Jakarta, kami sekumpulan dosen, aktivis
kemanusiaan, dan jurnalis dari Aceh sampai Papua bertemu dalam forum
Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan. Selama tiga hari kami bertukar
pengalaman bersama tentang persoalan di antara kita dalam konteks keindonesiaan.
Salah satu persoalan penting yang kami diskusikan terkait dengan kepemimpinan
Indonesia. Bagi kami, kepemimpinan Indonesia menjadi problematik ketika hanya
diputuskan segelintir lapisan sosial elite Jakarta yang memiliki akses dominan
atas kekuasaan ekonomi-politik di negeri ini. Kepemimpinan Indonesia ke
depan yang melingkupi gugus kebinekaan Indonesia dalam segenap dimensinya sudah
saatnya dirundingkan oleh segenap pluralitas Indonesia, terutama kaum muda.
Persoalan kepemimpinan Indonesia menjadi tantangan ke depan sekaligus krisis
dalam kehidupan kita berbangsa. Krisis kepemimpinan Indonesia ini tampil dalam
beberapa indikator utama, yang memperlihatkan runtuhnya prinsip-prinsip dalam
Trisakti yang pernah dicanangkan oleh Soekarno pada 1963 sebagai parameter
kemajuan bangsa. Tiga prinsip itu adalah berdaulat secara politik, mandiri
secara ekonomi, dan berkepribadian dalam ranah sosial-kebudayaan. Meskipun
Trisakti ini diucapkan hampir 50 tahun lalu, tetapi prinsip-prinsipnya masih
relevan dalam konteks demokratisasi di Indonesia.
Dimensi Trisakti
Dalam kedaulatan politik, konteks demokratisasi memperluas ruang kedaulatan. Di
sini bukan lagi terbatas pada kedaulatan negara, lebih dari itu adalah
kedaulatan warga negara dalam menentukan posisi politiknya.
Terkait kedaulatan warga negara akhir-akhir ini, kita menyaksikan jajak
pendapat dari beberapa lembaga survei ternama di Indonesia tentang kepemimpinan
nasional di 2014 yang masih didominasi oleh elite-elite lama. Sebutlah seperti
Megawati Soekarnoputri (PDI-P), Aburizal Bakrie (Partai Golkar), Prabowo
Subianto (Gerindra), dan Hatta Rajasa (PAN).
Munculnya tokoh-tokoh elite lama di ruang publik utama dalam wacana
kepemimpinan nasional menunjukkan terjadinya dua krisis politik. Pertama,
terjadinya krisis regenerasi kepemimpinan dalam ruang masyarakat politik.
Kedua, partai sebagai katalisator politik gagal menampilkan sosok kepemimpinan
muda organik yang berasal dari akar rumput dalam pentas politik nasional.
Kedaulatan politik warga, yang di dalamnya termasuk kedaulatan untuk menentukan
regenerasi kepemimpinan di negeri ini, dihalangi oleh partai politik yang
terbonsai oleh aktivitas oligarki elite-elite politik.
Persoalan kemandirian ekonomi muncul dalam bentuk semakin menguatnya
ketidakadilan sosial. Empat belas tahun lebih proses reformasi bergulir di
Indonesia, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tumbuh sampai 6 persen pada tahun
2012 hanya dinikmati sekelompok kecil elite ekonomi-politik di Indonesia.
Apabila angka kemiskinan diukur melalui standar Bank Dunia sebesar 2 dollar AS
per hari, maka jumlah warga miskin di Indonesia berjumlah 100 juta jiwa atau 42
persen dari jumlah penduduk Indonesia(EnnySri Hartati, 2012). Pertumbuhan
ekonomi yang tengah menaik tidak berjalan seiring dengan penyerapan lapangan
kerja kita.
Dari sekitar 120 juta angkatan kerja, angka pengangguran terbuka tahun 2012
masih 7,61 juta jiwa atau 6, 32 persen. Sementara data MDG (Tujuan Pembangunan
Milenium) memperlihatkan harapan hidup kita memprihatinkan. Sejak tahun 2009
Indonesia mengalami 307 angka kematian setiap 100.000 kelahiran, masih jauh
dari target MDG yang 105 kematian dari 100.000 kelahiran pada 2015.
Problem ketimpangan sosial bukanlah semata-mata persoalan ekonomi. Juga terkait
persoalan kepemimpinan dan institusi politik yang memproduksi dan bekerja
melalui nakhoda kepemimpinan tersebut.
Selama ini rakyat menaruh harapan atas institusi demokrasi untuk membereskan
persoalan-persoalan publik.
Namun, aktivitas kepemimpinan untuk memproduksi kebijakan pada kenyataannya tak
mampu menempatkan negara sebagai pembela bagi mayoritas mereka yang papa,
pembendung bagi kerakusan malapraktik korporasi, serta penghukum bagi kekuatan
oligarki bisnis-politik yang bekerja melalui mekanisme korupsi dan penjarahan
aset publik.
Pada wilayah kebudayaan, kita berhadapan dengan persoalan terkikisnya prinsip
hidup bergotong royong. Suatu prinsip hidup yang tak saja menekankan pada
pentingnya menghormati pluralisme Indonesia, serta saling menolong dan saling
berjuang untuk kemerdekaan yang lainnya sebagai bagian dari warga Indonesia.
Adapun yang kita saksikan saat ini adalah betapa para pemimpin politik hanya
menyepakati prinsip-prinsip kebinekaan secara normatif, tetapi tidak sungkan
menggunakan isu-isu diskriminatif suku, agama, ras, antargolongan (SARA) ketika
berhubungan dengan kepentingan elektoral politik. Kepemimpinan nasional kita
terlibat dengan mendiamkan kekerasan sosial saat kalangan minoritas di berbagai
wilayah negeri ini kehilangan hak-hak sipilnya. Otoritas hukum sebagai penjamin
perlindungan bagi rakyat untuk memiliki kebebasan berkeyakinan dan menjalankan
ibadah tidak bekerja di hadapan suara-suara yang mengklaim sebagai mayoritas.
Kepemimpinan Organik
Berhadapan dengan krisis kepemimpinan kita dalam mewujudkan prinsip-prinsip
utama dalam gagasan Trisakti di atas, maka ada yang harus kita pertimbangkan
dalam menyoal kepemimpinan nasional sebelum menyodorkan tokoh-tokoh alternatif.
Penting untuk kita ingat adalah Indonesia bukan hanya Jawa, lebih khusus lagi
bukan hanya Jakarta.
Proses seleksi kepemimpinan nasional bukan semata-mata melakukan survei melalui
pertanyaan tertutup dengan menyodorkan tokoh-tokoh nasional untuk dipilih oleh
responden dari Sabang sampai Merauke. Melakukan seleksi kepemimpinan Indonesia,
pertama-tama, bukan hanya soal mencari tokoh, melainkan juga menghimpun detail
persoalan yang dihadapi setiap wilayah dengan segenap lokalitasnya sebelum
diabstraksikan sebagai persoalan nasional.
Memilih pemimpin republik harus dilakukan melampaui jajak pendapat teknokratis.
Caranya dengan mulai melibatkan entitas masyarakat sipil di tingkat lokal untuk
membuka pertanyaan dan menemukan figur kepemimpinan organik yang terlibat
dengan persoalan keseharian rakyatnya.
Hanya dengan jalan mendengarkan suara-suara kebinekaan Indonesia, yang
dilakukan mendahului seleksi formal pemilu, maka kita dapat memperjuangkan
kembali prinsip-prinsip Trisakti. Suatu prinsip yang terbukti tidak mampu
dijawab generasi lama yang tengah memimpin republik kita saat ini.
Airlangga
Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas
Airlangga
Sumber
: http://opinikompas.blogspot.com/2013/01/kepemimpinan-trisakti.html
0 Response to "Kepemimpinan Trisakti"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!