Perdagangan Karbon dan Perangkap Komodifikasi
Perdagangan Karbon dan Perangkap
Komodifikasi - Pertemuan tahunan
perubahan iklim menyisakan berbagai ketidakpastian tentang masa depan
perjanjian pengganti Protokol Kyoto. Meski demikian, Sekretaris Eksekutif
Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC)
Christiana Figueres memastikan bahwa Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) dan
penurunan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan (REDD+) memiliki peluang
besar untuk dimasukkan ke dalam perjanjian tersebut.
Banyak pihak mungkin menyambut perkembangan ini sebagai hal yang mengutungkan
Indonesia. Saya lebih memilih untuk bersikap hati-hati terutama jika CDM dan
REDD+ diletakkan dalam kerangka perdagangan karbon.
Perlu internalisasi
Ekonom melihat pencemaran sebagai sebuah eksternalitas, yaitu biaya yang tidak
dihitung dalam pengambilan keputusan sehingga menjadi biaya sosial. Karena itu,
eksternalitas perlu diinternalisasi.
Dimulai di Amerika Serikat untuk pengurangan SO2 dan NOx tahun 1990-an,
cap-and- trade sering dijadikan contoh keberhasilan mekanisme pasar untuk
mendorong internalisasi. Dalam cap-and-trade, pemerintah menentukan besaran cap
berupa kuota emisi bagi industri tertentu di wilayah tertentu.
Mereka yang berhasil menurunkan emisi memiliki sisa emisi yang bisa dijual
kepada pihak lain yang emisinya melebihi kuota (Percival, et al, 2013:624-625).
Keberhasilan cap-and-trade di AS mendorong beberapa negara menerapkan metode
ini dalam payments for environmental services (PES), perdagangan karbon di
bawah rezim Protokol Kyoto, atau proposal pendanaan proyek REDD+. Gagasan
dasarnya tetaplah sama: komodifikasi fungsi ekologis lingkungan.
Dalam sebuah artikel, Corbera menunjukkan bagaimana komodifikasi alam terjadi
di dalam konteks REDD+, ditandai dengan pengisolasian fungsi ekologis alam.
Fungsi hutan sebagai penyerap karbon dipisahkan dari fungsi ekologis hutan
lainnya, serta diukur dalam jumlah ton CO2 yang diserap. Melalui proses
monitoring, pelaporan, dan verifikasi, jumlah ton CO2 memperoleh ”nilai
ekonomi” sehingga dapat diperjualbelikan (Corbera, 2012: 613).
Kosoy dan Corbera menyatakan, proses isolasi fungsi lingkungan seperti ini
merupakan bentuk fetisisme komoditas. Isolasi ini memungkinkan diuangkannya
alam, tetapi gagal melihat kompleksitas fungsi ekologis. Hubungan manusia
dengan alam pun direduksi menjadi hubungan dagang (Kosoy dan Corbera, 2010:
1231-1232). Alam tidak lagi dinilai dalam konteks fungsi sosial, budaya, dan
relasi ekologisnya dengan manusia.
Logika pasar
Di samping berpotensi mereduksi fungsi ekologis alam dan relasi alam-manusia, model
perdagangan karbon juga dapat mengubah motivasi konservasi menjadi sepenuhnya
mengikuti logika pasar.
Akibatnya, tidak ada jaminan bahwa konservasi lingkungan akan tetap dilakukan
jika harga karbon jatuh atau jika opportunity costs konservasi meningkat.
Logika pasar memaksa kita untuk melakukan trade-off antara fungsi ekologis alam
dan komoditas.
Di sisi lain, perdagangan karbon dicurigai hanyalah cara negara maju agar
mereka dapat memenuhi target penurunan emisi dengan membeli jatah emisi atau
sertifikat penurunan emisi dari negara lain, tanpa harus menurunkan emisi serta
mengubah pola produksi dan konsumsi di dalam negeri.
Cara seperti ini dikhawatirkan tidak saja menimbulkan penjajahan baru,
”CO2-lonialism”, tetapi juga akan menjauhkan kita dari upaya serius mencegah
pemanasan global (Takacs, 2010: 570; Anderson, 2012: 7).
Perdagangan karbon pun dikhawatirkan mengabaikan aspek keadilan. Dalam konteks
ini, beberapa kalangan berulangkali menyampaikan kekhawatiran bahwa jika tidak
dilaksanakan secara hati-hati, proyek semacam REDD+ bisa mengukuhkan
ketidakadilan sosial yang semakin memarjinalkan masyarakat adat.
Perubahan iklim
Salah satu hal yang menjadi alasan keberhasilan cap-and-trade adalah target
penurunan emisi serta adanya ancaman sanksi bagi mereka yang emisinya melampaui
kuota.
Penetapan kuota yang terlalu longgar akan membuat harga emisi jatuh, seperti
terjadi di pasar emisi Eropa ketika harga kredit karbon turun dari 40 euro per
ton karbon menjadi hampir nol hanya dalam waktu dua tahun (Hunter dan Lacasta,
2010: 584-585).
Sayangnya, baik kuota emisi yang signifikan maupun ancaman pemberian sanksi
yang kredibel, justru absen dalam rezim perubahan iklim internasional.
Kuota emisi yang diharuskan oleh Protokol Kyoto atau dijanjikan oleh negara
maju masih jauh dari mencukupi (UNEP, 2013). Penegakan hukum dan penjatuhan
sanksi bukan pula perkara yang mudah dalam hukum internasional.
Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya sanksi hukum apa pun terhadap AS yang
menolak meratifikasi Protokol Kyoto, terhadap Kanada yang menarik diri dari
Protokol, atau terhadap Rusia, Jepang, dan Selandia Baru yang menolak
berkomitmen menurunkan emisi pasca-2012.
CDM dan REDD+ dapat saja memiliki peranan cukup penting. Namun ketika keduanya
dianggap sekadar peluang dagang, maka Arsel dan Büscher menyatakan: ”Nature is
dead. Long live NatureTM Inc...!” (Arsel dan Büscher, 2012: 53).
Untuk itu diperlukan rambu-rambu agar CDM dan REDD+ benar-benar berfungsi
sebagai mekanisme penurunan emisi yang efektif, adil, dan jujur. Saya percaya,
perubahan iklim terjadi karena kegagalan pasar. Karena itu, menjadikan pasar
sebagai mekanisme utama penurunan emisi adalah tidak tepat.
Andri G Wibisana, Pengajar
Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UI; Visiting Scholar pada Center for Climate
Change Law, Columbia University Law School
0 Response to "Perdagangan Karbon dan Perangkap Komodifikasi"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!