Ketidaksanggupan Menanggung Murka Allah

Ketidaksanggupan Menanggung Murka Allah
Duhai sang jiwa (an-nafs) Mengapa aku melihatmu merasa tentram begitu saja, kegembiraan dan kesenangan telah menguasaimu. sementara gejala-gejala kemurkaan tampak tertuju kepadamu, dan tanda-tanda kernarahan Tuhan  sangat jelas terdapat dalam dirimu pada peristiwa-peristiwa yang kau alami?

Engkau begitu merasa tenang dan berdiam diri. Seringkali pengalaman-pengalamanmu tersita dengan kegembiraan dan kesenangan. Sedang engkau sendiri melihat gejala-gejala kemurkaan dari Allah pada dirimu, lalu engkau tidak menangisinya, dan —atas alasan itu— tidak merasa menderita, seolah-olah engkau sanggup menanggung kemurkaan Allah dan mengabaikan azab-Nya. Jauh... Jauh...

Dari antara yang selain Allah, engkau itu (hai jiwa) begitu lemah Bahkan pada bencana dunia yang paling kecil sekalipun engkau merasakan kepedihan. Maka bagaimana dengan dahsyatnya kemurkaan Allah dan perihnya siksa-Nya?

Justru sanksi-sanksi Allah itu tidak dapat menghalangimu untuk merasa gentar, maka bagaimanakah Tuhan akan memperlakukan orang yang tidak tergetar akan kemurkaanNya? Tidak merasakan sakit akan kepedihan azab-Nya? Tidak memperbaiki tatakramanya kepada-Nya, dan tidak menghadap kepadaNya dengan melepas diri dari semua itu, sebagai ungkapan syukur atas kesinambungan nikmat-nikmat-Nya? Serta tidak tergetar dan bergegas kepada-Nya, tatkala melihat akibat-akibat buruk dan sanksi-sanksi-Nya di dunia secara khusus, kepada baik dirinya sendiri maupun keluarganya?

Celakalah engkau, wahai jiwa (an-nafs). Tidakkah engkau telah melihat sendiri, bahwa Tuhan Pelindung (Mawla)-mu telah menjauhkanmu dari apa yang dulu pernah diteguhkan dalam kalbumu — yakni, ketangkasan dalam kesiagaan, kokohnya kewaspadaan, kesinambungan dalam dzikir (mengingatNya), juga kegelisahan tatkala lupa akan DiriNya dan azab-Nya yang pedih?

Allah pernah menyukai kalbumu pada saat-saat pertama dan cobaan Allah kepada dirimu dulu adalah pembelajaran untukmu, bentuk dan kedekatan (taqrib)-Nya denganmu dan kelembutan kasih-Nya kepadamu.

Maka, Dia memperingatkan kalbumu dari kelalaian-kelalaian. Melimpahkanmu dengan karunia yang terasa manis tatkala dalam ketaatan ... juga dahsyatnya ekstase spiritual (ladzdah) melalui munajat (kepada-Nya).
Kemudian tiba-tiba engkau berada pada jarak yang jauh dari Allah di pagi dan sore hari; terusir dari pintu-Nya, terlempar dari dekatNya: kehinaan dari-Nya telah menimpamu.

Engkau selalu berlarut-larut dalam kelalaian demi kelalaian yang membuatmu tidak bangkit untuk sadar. Kealpaan yang ada padamu terus berlangsung lama tidak menyadarkanmu, engkau berada dalam ketergelinciran (zallah) menuju ketergelinciran yang lain. Sehingga, kesedihan (karena dosa-dosa, pent.) tidak lagi menyelimutimu, tidak pula kegundahan hati (ghamm) ada lagi bersamamu, bahkan kewaspadaan yang bersamamu telah beralih, sehingga tidak lagi mampu menyadarkan dan memberimu peringatan.

Kemudian Dia memberimu penghalang (hijab), sebagai sanksi dari-Nya, dan penerimaan terhadap peringatan dan kepatuhan pada teguran ... Sehingga engkau terjerumus dalam keadaaan yang paling nista, yang kemudian diikuti dua keadaan: pengabaian yang berkepanjangan dan kelalaian yang berlarut-larut akan pengawasan dari Yang Maha Agung lagi Maha Perkasa, selanjutnya kecenderungan syahwatmu dalam keengganan pada penerimaan peringatan dan kepatuhan setelah teguran.

Keadaan yang pertama: kelalaian yang panjang akibat kurang peduli, bahwa Dia, Allah Swt. selalu mengamati dan mengawasi.
Keadaan yang kedua: kenekatan dan kelancangan kepada-Nya, sesudah adanya teguran dan peringatan, sampai-sampai ini memperlebar jauhnya jarak dari-Nya, dan menjadi penghalang bagi karunia keabadian di sisiNya.
Apakah orang pernah mendengar kondisi yang lebih buruk lagi dan kondisi spiritual (hal)-mu ini? Dan adakah orang yang arif tahu yang lebih hina dan maqam (manzilah)-mu ini? Kemudian bersama-sama dengan perasaan sedih yang hilang darimu, kegundahan yang pergi menjauhimu, rasa sakit yang tidak lagi ada padamu, dan Tuhan Pelindungmu (Mawlaka) telah melihatmu sibuk dengan faktor-faktor (asbab) yang mendorong kepada kehidupan dunia kebalikan dari semua itu, kesibukanmu akan dunia terus berlangsung.

Engkau tidak pernah merasa jemu Engkau begitu bersemangat dan merasa memiliki kekuatan, jika engkau mendapat keuntungan yang lebih dalam kehidupanmu. Engkau merasa gundah ketika engkau melihat kekurangan, dan perasaan yang sama seperti itu tidak terjadi dalam hubunganmu dengan Tuhanmu, kecuali hanya sebentar saja. Engkau telah benar-benar tercela di sisi Allah, namun engkau tidak merasa mendapatkan bencana dengan jauhnya jarakmu dariNya.

Engkau menjalani hari-harimu di pagi dan sore hari, padahal Dia tidak mempedulikanmu dan tidak mendekatimu. Engkau jauh dan dijauhkan dari-Nya. Andaikan tidak karena karunia ampunan-Nya kepadamu, niscaya Dia akan menarik nikmat agama darimu secara keseluruhan, namun Dia masih menyisakan, di samping sanksi hukuman danNya, karunia dan kebaikan. Oleh karena alasan inilah, cinta-Nya menyeluruh bagi semua manusia; yang taat maupun yang berbuat maksiat.

Celakalah engkau, wahai jiwa! Mengapa engkau begitu dalam dan tenggelam dalam ketidakpedulian dan lebih terjerumus dalam cobaan-cobaan duniawi (balaya)?


Celakalah engkau, wahai jiwa! Tahukah engkau, kepada siapa engkau berbuat maksiat? Pernahkah engkau berpikir, dari siapa engkau memalingkan diri?

Celakalah engkau, wahai jiwa! Engkau tidak jera dalam kelalaian, sehingga tidak membuatmu sadar, dan engkau selalu lupa, sehingga tidak membuatmu waspada.


Bagaimana itu tidak berpengaruh kepadamu, sementara dalam keseharianmu engkau bukanlah yang sempurna (nuqshan), dan di setiap hari engkau tidak lekas-lekas mengelakkan diri dari perbuatan maksiat?

Jika engkau bertobat, belum sehari berlalu engkau telah mengulanginya lagi dengan kesalahan yang sama, dan engkau sekali lagi kembali dalam kebinalanmu. Jika engkau bertekad untuk tidak mengulanginya, engkau tidak benar-benar meninggalkannya. Jika engkau benar-benar melakukan apa yang telah menjadi tekadmu itu, engkau belum lepas dari kendala-kendalanya (afat) yakni rasa pamrih agar mendapat pujian dan bangga terhadap apa yang telah engkau lakukan.

Engkau berjanji, namun tidak engkau tepati. Engkau bertekad, setelah itu engkau melanggarnya. Engkau bersumpah demi Allah, namun kau tidak memenuhinya. Jika engkau tidak tahu, itu menjadi alasan (hujjah) yang akan lebih meringankanmu dan dapat menjauhkan kemungkinan dan tuduhan berani kepada Mawla, Tuhan Pelindungrnu.

Akan tetapi, alasan-alasanmu itu semakin menumpuk, bersama-sama kenekatanmu yang tak pernah jera, tatkala engkau adalah pelajar atsar-atsar (sunnah-sunnah) Rasul, penghafal al-Qur’an, termasuk yang mendiskusikan bidang-bidang yang detail dari ilmu hikmah, dan orator nasihat-nasihat yang bijak, dengan menyeru ke jalan Allah, sedangkan engkau endiri menjauhkan diri dari jalan itu, dan engkau memperingatkan manusia kepada Allah, sementara engkau sendiri melupakanNya, engkau mengagungkan-Nya hanya dengan kata-kata, namun dalam praktik engkau tidak mengagungkan-Nya.

Sumber : http://www.sufinews.com/

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Ketidaksanggupan Menanggung Murka Allah"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!