Anggodo dan Retorika Ganyang Mafia Hukum
Anggodo
dan Retorika Ganyang Mafia Hukum - Dengan membuka transkrip percakapan (hasil sadapan Komisi
Pemberantasan Korupsi) antara Anggodo, keluarga, pengacara, dan jaringannya,
Mahkamah Konstitusi telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa ini tentang
modus para mafia menggerogoti uang negara dan berupaya membentengi diri agar
terhindar dari jerat hukum.
Meski demikian, para penegak hukum tampaknya terus mencari pembenaran untuk
mempertahankan gengsi lembaga dengan oknum-oknumnya yang terlibat jejaring
mafioso itu.
Gambaran seperti dalam reality show itu menunjukkan betapa dahsyat kekuatan
para pengusaha hitam di negeri ini. Mereka bukan saja memperdaya oknum pejabat,
tetapi ikut berupaya melumpuhkan atau mendelegitimasi lembaga pemberantas
korupsi produk reformasi (KPK). Indikasinya amat kuat, yang terjadi bukannya
para penegak hukum yang memberantas korupsi, justru sebaliknya: para koruptor
berkonsolidasi mengangkangi, bahkan mau meniadakan lembaga pemberantas korupsi.
Darurat korupsi
Kenyataan ini memperkuat keyakinan, negara ini sedang dalam sindikat mafia yang
rapi dan terus menggerogoti harta negara. Selama ini rakyat hanya mendengar
cerita, isu, atau kabar burung, di mana pada tingkat tertentu semua itu kadang
tak dipercaya karena begitu sulit untuk membuktikannya. Karena itu, ada
sebagian yang kaget dan nyaris tak percaya saat menonton pertunjukan pemutaran
rekaman di hadapan sidang MK itu.
Ironisnya, para pejabat yang berwenang, yang seharusnya menegakkan hukum atau
memberantasnya, seolah tak peduli atau mendiamkannya. Bahkan, jika ada pihak
yang secara proaktif mengungkap dan melaporkan kasus-kasus korupsi, justru
dianggap sebagai ”pengganggu” yang perlu diwaspadai. Setidaknya kasus-kasus itu
(umumnya) dipetieskan atau jarang ditindaklanjuti dengan berbagai dalih.
Padahal, rakyat telah berupaya menyajikan fakta sebagai bukti dengan aneka
pengorbanan.
Dalam konteks ini, pada tingkat tertentu, sebenarnya para pejabat yang
berwenang bukan saja amat tidak menghargai upaya rakyat yang membantu
pemberantasan korupsi, sebaliknya memosisikan mereka sebagai musuh yang
dihadapi oleh jaringan mafia yang perlu dilumpuhkan.
Bila tidak, sebagian pihak diajak kerja sama untuk masuk konspirasi guna
mengamankan kasus-kasus korupsi. Dalam proses-proses seperti itu, para pihak
yang berwenang memanfaatkan kasus-kasus korupsi yang dilaporkan guna meraih
keuntungan materi dan sang koruptor dijadikan ATM penegak hukum.
Fenomena seperti ini sudah lama berlangsung terjadi di jajaran eksekutif,
yudikatif, dan legislatif, mulai dari tingkat nasional hingga daerah. Kita
memang sedang berada dalam situasi ”darurat korupsi”.
Banyak pihak sudah mengingatkan agar pemerintah melalui jajaran penegak hukum
bersungguh-sungguh menanganinya. Sebab, upaya menciptakan kesejahteraan rakyat
tidak akan pernah terwujud jika praktik korupsi masih terus merajalela.
Hanya meredam gejolak
Kita memang harus memberikan apresiasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) yang punya komitmen memberantas korupsi dan baru saja (5/11/2009)
mengumumkan program pemberantasan mafia hukum (Ganyang Mafia) sebagai bagian
agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2.
Meski demikian, kebijakan itu terasa agak ironis. Pertama, SBY seolah-olah baru
tersadar dan atau baru peduli dengan mafia peradilan setelah memperoleh tekanan
publik yang begitu masif berangkat dari kasus KPK lawan Polri. Padahal,
masyarakat awam sudah menganggap itu sebagai rahasia umum, hanya mereka tak
punya kekuatan untuk langsung memberantasnya.
Kedua, kebijakan SBY itu terkesan hanya untuk meredam gejolak sekaligus
memelihara pencitraan. Apalagi agenda itu tidak menunjukkan strategi untuk aksi
nyata mengganyang para mafia setelah masyarakat menyampaikan kasus dengan
berkirim surat melalui Kotak Pos 9949. Tidak jelas tindak lanjutnya. Boleh jadi
akan sama nasibnya dengan berbagai kasus lain yang selama ini terus diendapkan
dan dijadikan obyek oleh para penegak hukum. Tepatnya, agenda itu bukan
mustahil hanya sebagai jargon politik pencitraan.
Ketiga, saat agenda itu diluncurkan, seolah masalah korupsi hanya terkait
jaringan mafia peradilan. Padahal, lokus utama korupsi adalah para pejabat di
jajaran eksekutif yang memiliki kuasa dalam mengelola berbagai proyek strategis
dan pengadaan barang (yang biasa di-mark up harganya berlipat-lipat) dengan
anggaran yang ada di bawah kendali mereka. Bukankah banyak dugaan korupsi atau
penyalahgunaan jabatan yang dilakukan para menteri, gubernur, bupati, dan wali
kota yang hingga kini terus diendapkan?
Presiden SBY tahu kondisi internal dan perilaku pejabat di jajaran eksekutif.
Hanya, sebagai manusia, SBY banyak bertoleransi dengan berupaya membangun
argumen perlunya lebih dulu bukti hukum terhadap pejabat yang diduga korupsi.
Padahal, juga diketahui, hukum sudah ada dalam kendali mafia, para pejabat
terperangkap dan menikmati buah konspirasi mafioso itu.
Laode
Ida Sosiolog; Wakil Ketua DPD; Artikel Ini Pendapat Pribadi
Sumber: http://opinikompas.blogspot.com/2010/02/anggodo-dan-retorika-ganyang-mafia.html
0 Response to "Anggodo dan Retorika Ganyang Mafia Hukum"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!