Partai dan Hukum Besi Oligarki
Partai
dan Hukum Besi Oligarki - Pada
awal abad kedua puluh muncul sebuah mahakarya dalam khazanah ilmu politik yang
ditulis oleh seorang lulusan sejarah dan kemudian memfokuskan diri pada kajian
sosiologi politik berjudul Zur Soziologie des Parteiwesens in der Modernen
Demokratie, Untersuchungen über die oligarchischen Tendenzen des Gruppenlebens.
Dalam
bahasa Inggris buku tersebut diterjemahkan menjadi On the Sociology of
Political Partiesin Modern Democracy: a Study on Oligarchic Tendencies in
Political Aggregations. Pengarangnya adalah Robert Michels, seorang pengajar
dan sekaligus politikus mantan aktivis Partai Sosial Demokrat Jerman, yang
kemudian keluar dari partainya dengan kekecewaan.
Hal utama yang menyebabkannya angkat kaki adalah
kesebalannya yang membuncah akan sebuah kenyataan bahwa partai, yang menurut
logika naifnya harusnya dikembangkan dengan berlandaskan aspirasi dan
kepentingan kader dan para pendukungnya, dalam kenyataannya hanya diatur oleh
segelintir orang. Di dalam partai tidak ada sebuah transaksi
demokratis yang benar-benar menghitung suara akar rumput.
Aspirasi
populis objektif pun kerap menjadi sulit untuk dikonversi menjadi kebijakan
partai. Secara normatif partai memang dibentuk sebagai wadah setiap kader untuk
berkiprah. Namun, dalam konteks riil politik, khususnya dalam soal power game ,
dunia partai adalah dunia kaum elite dengan watak otokratik.
Partai,
bahkan yang mengaku sebagai sosialis demokrat sekalipun, baginyaakansegera
terjebak dalam sebuah pola organisasi oligarkis. Berdasarkan amatan Michels nyaris
tidak ada satu partai pun yang tidak terhinggapi oleh penyakit yang
bernuansakan elitisme ini. Di situlah kemudian dia dengan mantap mengatakan
fenomenainisebagai” ironlaw ” atau ”hukum besi”.
Oligarki Kekinian
Fenomena
di atas tentu tidak mengecualikan Indonesia. Di negara ini beberapa partai
bahkan telah dihinggapi oleh elitismeyangakut, ditandaiketergantungan yang
nyaris total pada figur. Titah figur-figur ini harus terjadi meski bisa jadi
secara substansi tidak aspiratif dan bahkan menabrak aturan main.
Dalam nuansa ini tidak heran kalau kemudian berbagai
peristiwa politik–baik di lingkungan partai maupun di luar partai, apakah yang
berupa konflik ataupun konsensus–lebih ditentukan oleh kekuatan eksklusif dari
balik layar yang berasal dari aspirasi para elite. Dus ,
pelibatan massa atau kader sejatinya hanyalah semu. Tak lebih dari sekadar
penggembira dan pemberi legitimasi atas kehendak para elite itu.
Bulan-bulan
belakangan ini kita disuguhkan oleh serentetan pagelaran politik yang demikian
bising. Simak saja misalnya mulai dari terbentuknya koalisi menjelang pilpres,
konflik internal partaipartai yakni Golkar dan PPP, kegagalan pembentukan alat
kelengkapan Dewan (AKD) yang berlanjut pada terbentuknya ”DPR Tandingan”,
penyusunan kabinet Presiden Jokowi, hingga yang teranyar perseteruan KPK versus
Polri sebagai efek dari terpilihnya Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Polri
menggantikan Jenderal Sutarman.
Semua
itu sepintas tampak berasal dari penyebab yang berbeda-beda. Namun, secara umum
jelas dapat dilihat dari perspektif hukum besi oligarki, di mana secara
mendasar akar penyebab itu semua adalah (pertarungan) kepentingan para elite.
Pembentukan koalisi apakah KIH dan KMP adalah kesepakatan para elite partai,
khususnya di level ketua-ketua partai.
Pertarungan
internal partai-partai adalah jelas pertarungan para elite, antara mereka yang
tengah dan ingin terus berkuasa dan yang tak sabar lagi untuk berkuasa, dengan
pernak-pernik seputar aturan main sebagai legitimasi untuk bertarung.
Penyusunan kabinet dan segenap posisi penting dalam pemerintahan adalah hasil
transaksi para elite atau bahkan para ”mahaelite” yang segera saja dapat dengan
mudah menyingkirkan harapan dan aspirasi akar rumput, termasuk aspirasi mereka
yang sebenarnya sudah berkeringat.
Sementara
dalam soal pengangkatan sosok pimpinan Polri yang tidak populis, amat jelas
mengesankan hasil sebuah keputusan elitis yang melibatkan segelintir orang
saja. Di sini jangankan rakyat, kebanyakan kader partai hanya berperan sebagai
penonton.
Mengapa?
Setidaknya
ada lima hal yang menyebabkan hukum besi itu berlaku dan cenderung menguat.
Pertama, partai memang ”milik” segelintir orang. Ini seiring dengan terus
bergantungnya keberlangsungan hidup partai oleh mereka yang memiliki kekuatan
finansial. Studi Perludem (2011) mengindikasikan lemahnya kemandirian partai
dalam mendapatkan dan mengelola keuangan.
Hal mana
tentu saja membuka peluang para ”pemegang saham” yakni para elite untuk terus
berkiprah lebih besar dan lebih menentukan. Kedua, ini ditambah dengan situasi
lemahnya kaderisasi yang berimplikasi setidaknya pada dua hal.
(1)
Ketidakjelasan jenjang karier atas dasar prestasi yang menyebabkan sirkulasi
jabatan dan pimpinan atau elite lebih ditentukan oleh jaring-jaring kepentingan
elite itu sendiri guna mengukuhkan basis oligarkinya. (2) Berkembangnya
pendekatan pragmatisme, di mana ideologi partai tidak lagi dipahami dan
idealisme bekerja untuk partai tersingkirkan, terutama oleh pengabdian kepada
(kepentingan) elite yang jauh lebih menjanjikan.
Ketiga,
mekanisme internal partai yang kerap memberikan porsi lebih kepada jajaran
elite dalam menentukan hidup mati partai. Dalam labirin struktur yang oligarkis
ini, elite partai bergerak nyaris tanpa kontrol. Kontrol yang terjadi adalah
justru sesama elite yang bila tidak diakomodasi dengan cantik, berpotensi besar
memunculkan konflik internal. Di sisi lain banyak hal penting yang diatur
sepintas dalam AD/ART yang selebihnya diserahkan pada keputusan segelintir
orang saja.
Semangat
demokrasi pun kerap masih bersifat anjuran dan ada pada level tradisi, namun
belum secara total dilembagakan. Keempat, aturan main yang belum seutuhnya
menopang demokratisasi partai. Pengaturan keuangan partai yang diamanatkan oleh
UU Partai Politik misalnya justru cenderung memberikan peluang bagi para kader
yang juga pengusaha besar untuk mengukuhkan perannya dalam partai karena
memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat menyumbang sejumlah uang tanpa
batas.
Aturan
main yang ada juga belum mampu memaksa partai-partai untuk membenahi kaderisasi
yang dalam banyak aspeknya menjadi salah satu penyebab bagi munculnya budaya
pragmatisme dan pengukuhan elitisme. Kelima, ”pasar” atau pemilih yang tidak
kritis.
Seandainya
ada korelasi antara partai yang oligarkis dan kegagalan dalam perolehan suara,
tentu partai akan berlomba-lomba untuk mendemokratisasi diri. Namun, setidaknya
hingga saat ini banyak partai yang terjerembab dalam lingkar elitisme dan
oligarki justru berhasil baik dalam pemilu. Situasi ini tentu saja tidak
memberikan stimulus bagi partai untuk memperbaiki diri.
Sebaliknya,
kondisi ini amat melenakan partai-partai yang pada gilirannya mengokohkan
bangunan oligarki partai. Situasi ini tentu saja bukan menjadi alasan kita
untuk menguburkan partai-partai. Tugas kita sekarang justru mengembalikan jati
diri partai dalam bentuk idealnya, sebagai penyambung kepentingan rakyat.
Kalaupun menghapuskan hukum besi tidaklah mudah,
setidaknya kita harus tetap berusaha meminimalkan peluang tegaknya oligarki di
antaranya mengatasi beberapa akar penyebab kemunculannya di atas. Bagaimanapun
partaipartai adalah kebutuhan alamiah dari demokrasi yang bersama kita yakini.
Oleh: Firman Noor PHD, Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI,
Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia
Sumber: nasional.sindonews.com
| Sabtu, 31 Januari 2015 − 11:14 WIB
0 Response to "Partai dan Hukum Besi Oligarki"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!