Hukuman Mati dalam Konteks Internasional
Hukuman Mati dalam Konteks Internasional - Polemik
seputar hukuman mati masih hangat diperbincangkan masyarakat. Polemik ini
semakin dalam ketika Brasil dan Belanda mengajukan protes dengan memanggil duta
besarnya di Indonesia.
Ancaman serupa kemungkinan juga
akan dilakukan Australia yang warga negaranya akan menerima eksekusi mati.
Perdebatan kemudian bergeser menjadi masalah kehormatan dan kedaulatan negara
yang menolak diintervensi melalui ancaman-ancaman tersebut.
Saya pikir kita perlu mengembalikan
diskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukuman mati pada hak hidup dan
norma-normanya dalam hubungan internasional. Dua tema ini adalah tema yang amat
sulit dan perlu kajian yang mendalam dan tentu tidak akan cukup dalam ruang
yang terbatas ini.
Oleh sebab itu kolom ini mungkin
hanya memberikan sebuah analisis untuk mengantarkan diskusi agar lebih
konstruktif dan menyentuh masalah-masalah mendasar mengenai hukuman mati.
Masalah pokok dari hukuman mati adalah sejauh mana hak hidup itu berlaku
universal atau merupakan cultural relativism (berlaku khusus sesuai dengan
konteks tertentu).
Apabila hak hidup tersebut berlaku
universal, tidak ada pengecualian apa pun yang dapat digunakan untuk mencabut
hak tersebut. Namun apabila ia berlaku khusus, ada kondisi tertentu yang
memberi ruang untuk mencabut hukuman mati. Turunan dari paradigma tersebut
secara sederhana adalah pertanyaan tentang apakah hak hidup ini sebuah keadaan
yang sangat sakral atau bukan?
Melalui eksekusi enam terpidana
mati, kita secara tidak langsung memasuki perdebatan tentang hak hidup ini.
Namun hak hidup dalam konteks hak asasi manusia tidak hanya menyangkut hukuman
mati. Hak hidup juga menjadi perdebatan dalam masalahmasalah eutanasia ,
aborsi, membunuh untuk mempertahankan diri, dan terkait dengan moralitas dalam
peperangan.
Dalam masalah aborsi sebagai
contoh, mereka yang menolak aborsi memiliki argumen bahwa janin dalam kandungan
berapa pun usianya telah memiliki hak hidup yang tidak dapat dihilangkan dengan
alasan apa pun. Negara harus melindungi janin tersebut terutama karena si janin
tidak memiliki kemampuan untuk membela diri.
Sementara mereka yang menyetujui
aborsi mengaitkan hak hidup si janin dengan hak hidup sang ibu. Sang ibu juga
berhak untuk mempertahankan hak hidupnya. Apabila sang ibu mendapat risiko baik
psikologis maupun fisik karena janin yang dikandungnya, ia memiliki hak untuk
mencabut hak hidup si janin.
Polemik itu juga berkembang dalam
kasus hukuman mati. Pendapat yang mendukung hukuman mati sebagian besar
memiliki argumen bahwa hak hidup terpidana dapat dicabut karena kejahatan kejam
yang mereka lakukan. Sementara mereka yang menolak hukuman mati berpendapat
bahwa hak hidup adalah sebuah kondisi yang sakral dan asasi di mana melalui hak
itulah tujuan dari kehidupan manusia dilekatkan.
Apa yang
menarik dari polemik tersebut adalah kecenderungan negara-negara di dunia untuk
mengurangi daftar kejahatan berat yang dianggap dapat diganjar dengan hukuman
mati dan di beberapa negara di Eropa, bahkan menghapuskan hukuman mati sebagai
sanksi. Contoh adalah
di China. Negara ini terkenal sebagai negara yang paling banyak melakukan
eksekusi mati.
Sebuah lembaga hak asasi manusia
yang beroperasi di China, Dui Hua Foundation, menyebutkan 5.000-6.000 eksekusi
dilakukan pada tahun 2007 (Washington Post , 24/12/ 2008). Sepuluh tahun yang
lalu, jumlahnya dapat mencapai puluhan ribu. Di China, kejahatan yang berat
antara lain korupsi, bandar narkoba, pembunuhan, dan kejahatan lain.
China adalah negara yang paling
banyak mengeksekusi hukuman mati. Sebelum tahun 2011, China memiliki 68 daftar
kejahatan berat yang dapat diganjar hukuman mati. Namun dengan banyaknya
tekanan, China mengurangi 13 kejahatan dari daftar tersebut. Kejahatan yang
dikurangi antara lain menyelundupkan besi, mengajari metode mencuri, dan
mencuri harta dalam makam kuburan.
Di Amerika Serikat, kecenderungan
untuk mengurangi kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati juga terjadi dalam
sistem hukumnya. Hal ini diawali dengan diperkenalkannya pengategorian
pembunuhan tingkat pertama dan kedua. Kejahatan berat yang dapat dihukum mati
adalah kejahatan tingkat pertama seperti pembunuhan berencana, pembakaran,
pemerkosaan.
Daftar kejahatan ini semakin lama
semakin berkurang dan syarat untuk dikategorikan sebagai pembunuhan tingkat
pertama semakin diperberat. Sementara itu di tingkat pemerintahan federal, ada
beberapa negara bagian yang tidak membolehkan hukuman mati, yang telah
menghapuskan hukuman mati atau telah melakukan moratorium hukuman mati.
Ada 18 negara bagian yang telah
menghapuskan hukuman mati. Negara bagian yang sejak awal tidak memiliki hukuman
mati adalah Michigan (1846) dan Maryland adalah negara ke- 18 yang menghapuskan
hukuman mati. Di Eropa, upaya untuk menghapuskan hukuman mati berawal dari
berakhirnya Perang Dunia II. Kekejaman Nazi di bawah Hitler telah membawa
trauma yang besar bagi masyarakat Eropa dan mengupayakan sebuah perangkat yang
dapat melindungi mereka dari kejahatan yang terjadi di masa lalu.
Dari wilayah
inilah sejumlah perangkat hukum hak asasi manusia lahir dan diadopsi oleh PBB
seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia, Konvensi Hak Sipil dan Politik serta
beberapa konvensi lain. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan apabila Eropa menjadi ujung tombak dari advokasi
masalah hak asasi manusia.
Di tingkat regional, mereka
memiliki The Charter of Fundamental Rights of The European Union (EU) dan The
European Convention on Human Rights of The Council of Europe yang secara tegas
menghapus hukuman mati. Hanya Belarusia dan Kazakhstan yang masih mempraktikkan
hukuman mati.
Menurunnya dan dihapuskannya
hukuman mati di beberapa negara di dunia antara lain
disebabkanalasan-alasanmoral, filosofis, etik, dan zaman yang sudah semakin
modern. Kelompok yang mendukung dan menolak hukuman mati adalah kenyataan yang
tak dapat ditolak, tetapi dialog ilmiah atau politik
diantaramerekaberlangsungsecara ilmiah dan objektif.
Selain itu ada studi-studi seputar
efektivitas hukuman mati dalam mengurangi tingkat kejahatan yang ingin diberantas.
Pengalaman itu juga perlu menjadi tantangan buat kita di Indonesia. Pemerintah
perlu memfasilitasi atau menjelaskan denganbaikpilihan-pilihanyang mereka
putuskan dalam soal hukuman mati dan jangan dibiarkan hanya menjadi debat kusir
yang tidak produktif.
Dalam hubungan internasional,
Indonesia juga perlu lebih elegan menyampaikan alasan-alasannya ketika
mempertahankan hukuman mati; jawaban Indonesia perlu kontekstual dan tidak abai
pada perkembangan zaman. Pada akhirnya bila pergaulan internasional bergerak ke
arah penghapusan hukuman mati, argumen kedaulatan bangsa menjadi lemah
(irrelevant ).
Oleh: Dinna Wisnu,
PhD Co-Founder
& Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas
Paramadina
Sumber: http://nasional.sindonews.com/ | Rabu, 21
Januari 2015 − 11:21 WIB
0 Response to "Hukuman Mati dalam Konteks Internasional"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!