Etika Melepaskan Jabatan
Etika
Melepaskan Jabatan - Seorang
teman mulai bertanya terkait pemilihan kepala daerah baik Gubernur, Bupati dan
Walikota. Pertanyaannya adalah bagaimana pandangan saya terkait keharusan bagi
anggota Dewan (DPR, DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) untuk mundur saat
mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan sedangkan kepala daerah yang sedang
menjabat cukup menggunakan izin cuti?
Pembahasan
terkait permasalahan mundur jabatan untuk maju sebagai calon kepala daerah
memang kembali hangat. Semua ini terkait isi revisi UU Nomor 8 Tahun 2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Kesan yang dimunculkan
politisi Senayan khususnya Komisi II DPR RI dinilai ingin keadilan yang sama.
Keadilan
yang sama ini diartikan sederhana yaitu bila anggota dewan mundur ya kepala
daerah yang sedang memerintah juga mundur. Walaupun pada akhirnya, para
politisi menandatangani kesepakatan revisi UU Pilkada. Tetap saja penting
memahami makna keadilan yang sama tersebut.
Kuasa Jabatan
Penulis
melihat bahwa perjuangan untuk "keadilan yang sama" antara petahana
dan anggota dewan merupakan hal yang wajar. Hal ini disepakati penulis sebagai
bentuk keseriusan untuk berkontestasi dalam pilkada. Biar pemainan adil,
semuanya harus menanggalkan atribut yang sedang dipakai.
Alasan-alasan
ini bukan sebatas iri atau takut bersaing, namun bentuk melatih etika
berpolitik. Gubernur, Bupati dan Walikota yang sedang menjabat toh juga bagian
dari kader partai layaknya anggota dewan. Kecuali kepala daerah tersebut
merupakan calon perseorangan saat pilkada sebelumnya. Namun jumlahnya tidak
begitu signifikan untuk dijadikan dasar kecemburuan.
Akan
tetapi, petahana yang masih menjabat sebelum tahapan pilkada bisa saja
menggunakan kekuasaan sebagai alat politik. Sebagai contoh, Pertama, kepala
daerah pada satu tahun terakhir masa jabatan bisa menambah kunjungan langsung
ke rakyat atau blusukan. Jadwal blusukan bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi
rakyat untuk kembali memilih sang kepala daerah.
Kedua,
kepala daerah dengan alasan mengkampanyekan program pemerintah yang dinilai
positif diperbolehkan memasang baliho, spanduk juga alat sosialisasi lain.
Bayangkan, bila alat-alat peraga kampanye program pemerintah ini tersebar di
seluruh pelosok suatu daerah. Tentu saja rakyat akan melihat setiap hari dan
mempengaruhi alam bawah sadarnya untuk memperkuat niat memilih kepala daerah pada
pilkada yang.
Ketiga,
kepala daerah yang masih memimpin tentu mampu mengutak atik jabatan anak buah
atau mempromosikan naik jabatan atau malah menekan dengan memindahkan lokasi
kerja. Hal ini tentu mempengaruhi para pegawai negeri sipil walaupun sulit
membuktikan bahwa para kepala dinas atau beberapa oknum pegawai yang menjadi
tim pemenangan sang kepala daerah kembali menduduki kursi eksekutif daerah.
Pegawai yang berniat naik jabatan atau dipermudah dalam kenaikan pangkat tentu
berjuang mati-matian menambah pundi-pundi suara sang jagoan.
Politik Santun
Dengan
melihat tiga potensi penyalahgunaan kekuasaan bagi para petahana saat tahapan
pilkada berlangsung menimbulkan keresahan. Bagaimana mungkin kita bisa
membedakan antara jabatan kepala daerah dengan bakal calon kepala daerah?
Padahal orangnya sama antara yang sedang menjabat dan ingin kembali menjabat.
Oleh
karena itu, pejabat publik khususnya eksekutif daerah mulai dari Gubernur,
Bupati dan Walikota wajib mempertegas posisi. Kepala daerah harus menjadi
percontohan bagi pendidikan politik bangsa yang di mulai dari daerah. Makna
percontohan disini adalah memperlihatkan dan mengajarkan bagaimana tata cara
merebut kekuasaan dengan adil dan benar.
Kepala
daerah yang berniat maju sebagai calon kepala daerah harus menanggalkan
jabatannya. Bagaimana pun, izin cuti juga bermakna tidak berperan baik aktif
dan passif dalam pemerintahan daerah. Maka, cuti sama saja dengan tidak
berkuasa atau bisa disamakan dengan menanggalkan kuasa jabatan.
Tujuan
menanggalkan jabatan adalah agar calon kepala daerah memfokuskan diri pada
program pemenangan. Calon kepala daerah tidak boleh disibukkan dengan aktivitas
terkait kekuasaan jabatan publik. Dengan demikian setiap calon memiliki posisi
yang sama untuk merebut kursi kepemimpinan pemerintahan daerah.
Di
lain sisi, etika politik akan menguat dengan contoh melepas jabatan publik.
Setiap orang akan belajar bahwa berpolitik adalah suatu alat untuk mencapai
tujuan bersama dalam upaya mensejahterakan rakyat. Teknis mencapai tujuan itu
dimulai dengan keseriusan mengambil hati pemilih (rakyat) secara fair.
Teknisnya,
para kepala daerah harus menyiapkan program 5 tahun pemerintahan yang harus
dilaksanakan secara terukur. Dari 5 tahun, semua program diselesaikan dalam
tempo 4 tahun. Artinya, kepala daerah memliki waktu 1 tahun untuk mengevaluasi
program pemerintahan.
Lalu
membuat rekomendasi berupa catatan bagi kepala daerah untuk 5 tahun ke depan.
Setelah itu melepaskan jabatannya dan mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Mereka para calon kepala daerah wajib mengedepankan kepentingan rakyat melalui
sosialisasi program dan penjemputan aspirasi.
Kampanye
berlandaskan keadilan membuktikan bahwa kita sedang berhadapan dengan para
calon kepala daerah yang siap menempuh jalan susah menyelesaikan kesusahan
rakyat. Mari berjuang memperbaiki bangsa dengan menunjukkan bahwa politik itu
bagian dari proses ikhtiar menciptakan tatanan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Bila
kepala daerah bersikukuh mempertahankan jabatannya, bukankah berarti mereka
sama saja dengan calon siluman. Satu sisi sebagai bakal calon kepala daerah dan
di sisi lain sebagai kepala daerah.
Oleh:
Andrian Habibi
Koordinator
Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia
Sumber:
www.gresnews.com | Senin, 13 Juni 2016, 15:00:00 WIB
0 Response to "Etika Melepaskan Jabatan"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!