Kewajiban Haji Bagi Orang Meninggal Menurut Imam Syafi`i

Kewajiban Haji Bagi Orang Meninggal Menurut Imam Syafi`i
Haji merupakan ibadah yang memadukan kesiapan fisik dan kemampuan harta bagi mereka yang telah diwajibkan untuk menunaikannya. Hal ini menjadi syarat mutlak untuk dipenuhi, karena ibadah haji tidak hanya banyak mengeluarkan ongkos tetapi juga sebagian besar berupa ibadah jasmaniah.
Imam asy-Syafi'i membagi kriteria kemampuan (istitā’ah) dalam 2 kategori, yang pertama adalah kemampuan dengan dirinya sendiri (istitā’ah mubāsyarah), dan kemampuan dengan perantara orang lain (istitā’ah tahsīluhu bi ghair).
Adapun orang yang memiliki istitā’ah gair mubāsyarah (tahsīluhu bi gairihi) hajinya dapat diwakilkan kepada orang lain, baik dari kerabatnya sendiri maupun orang lain, dan hajinya sah. Menurutnya, ibadah haji berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain seperti salat dan puasa. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh asy Syafi’i dalam kitab al Umm.  Perbedaan haji dengan salat dan puasa adalah, bahwa Allah telah mewajibkan haji bagi setiap muslim dan Rasulullah menetapkan qada` atasnya kepada orang lain. Allah dan RasulNya tidak menetapkan qada` haji dengan ibadah-ibadah selain haji. Sedangkan dalam puasa, Allah menetapkan kewajiban kafarat bagi orang yang tidak mampu berpuasa, dan dalam salat tidak ada ketetapan qada` dan kafarat bagi orang yang sedang haid. Puasa dan salat harus dikerjakan oleh orang yang bersangkutan, sedangkan haji boleh diwakilkan, bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam qada` haji terdapat unsur sadaqah yang tidak ada dalam puasa dan salat.
Perwakilan dalam haji, menurut beliau dapat ditempuh dengan 2 cara yaitu: pertama. Dengan kekayaan harta yang dia miliki dan ia dapat mengupah seseorang untuk menghajikan dirinya maka haji baginya berhukum wajib seperti mampu dengan dirinya sendiri. Kedua. Bila tidak mempunyai harta, ia dapat menyuruh seseorang yang patuh pada dirinya bila diperintahkan untuk menghajikan dirinya seperti anaknya maka ia diwajibkan berhaji dengan cara memerintahkan anaknya untuk menghajikannya.
Ada beberapa sebab seseorang yang semula termasuk kelompok yang memiliki istitā’ah mubāsyarah (bi nafsihi) lalu beralih menjadi kelompok yang dikategorikan istitā’ah gair mubāsyarah (bi gairihi) antara lain: lanjut usia, sakit, buta, orang mati yang masih mempunyai tanggungan haji, dan sebagainya. Dan dalam pembahasan kali ini lebih ditekankan pada kemampuan dengan perantara orang lain bagi orang yang meninggal dunia yang sudah diwajibkan untuk menunaikan manasik haji.
Ulama mazhab sepakat dengan satu suara bahwa orang yang mampu melaksanakan haji dan dapat memenuhi semua syaratnya, maka dia wajib melaksanakan haji secara langsung, dan tidak boleh menggantikannya kepada orang lain. Kalau digantikan orang lain, maka ia tidak mendapatkan pahala. Menurut Imam asy-Syafi’i, seseorang wajib melaksanakan haji sendiri, dan kalau tidak melaksanakannya, kewajiban haji tersebut tidak gugur karena meninggal karena ia memiliki kelebihan di bidang harta. Apabila seseorang mampu untuk mengongkosi orang lain untuk menghajikan dirinya maka dia wajib haji karena dia dianggap mampu lewat orang lain karena adanya harta dan orang lain yang menggantikannya, dan disyaratkan ongkos haji tersebut merupakan kelebihan dari harta pokok.
Seseorang yang sudah wajib haji dan meninggal sebelum sempat menjalankannya, apabila belum memungkinkan untuk melaksanakannya maka kewajiban haji tersebut gugur dan tidak diwajibkan qada`. Menurut Abu Yahya, tetap wajib qada`. Sedangkan Abu Ishaq berpendapat kewajiban haji gugur sebelum memungkinkan untuk melaksanakannya seperti halnya gugurnya syarat nisab yang rusak sebelum memungkinkan untuk mengeluarkan zakat. Apabila meninggal setelah ada kemungkinan untuk melaksanakannya, maka kewajiban tersebut tidak gugur dan wajib qada` dari harta peninggalannya.
Dalam kitab al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi dijelaskan lebih lanjut tentang kewajiban haji bagi orang yang meninggal dan memungkinkan untuk melaksanakannya sebelum meninggal, maka kewajiban haji tidak gugur dan harus dilaksanakan dengan harta peninggalannya baik orang tersebut berwasiat ataupun tidak.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa apabila seseorang meninggal dunia dan dirinya masih memiliki tanggungan haji (dalam hal ini merupakan haji wajib yang telah dibebankan kepadanya) yaitu  orang tersebut masih dalam menjalankan haji berupa lewatnya  tengah malam hari Nahr (hari raya Idul Adha), setelah melaksanakan lempar jumrah, tawaf, sa'i, maka wajib untuk menghajikannya, baik itu berupa haji qada`, nazar, atau haji yang mengongkosi orang lain, dan haji tersebut dilaksanakan dengan ongkos yang diambil dari harta peninggalannya. Tetapi apabila seseorang meninggal setelah melaksanakan wuquf di Arafah, maka kewajiban haji tersebut gugur.
Menurut Imam asy-Syafi'i (dan menjadi mazhab Syafi’i), orang yang meninggal dan mempunyai tanggungan haji, maka diwajibkan ada seseorang yang menunaikan haji untuknya dengan biaya dari harta peninggalannya, baik ia mewasiatkan itu maupun tidak. Sama halnya dengan ahli waris yang diwajibkan untuk melunasi seluruh hutang si pemberi waris, apakah ia berwasiat maupun tidak. Apabila ia tidak memiliki harta peninggalan, disunahkan bagi ahli warisnya untuk menghajikannya. Bila dihajikan oleh ahli waris, baik dilaksanakan sendiri ataupun diwakilkan lagi kepada orang lain, kewajiban haji sudah terpenuhi. Meski seorang asing yang menghajikannya, tetap diperbolehkan, walau tanpa izin dari ahli waris, sebagaimana dibenarkannya melunasi hutang tanpa izin dari ahli warisnya.
Argumentasi Imam asy-Syafi'i (menjadi mazhab Syafi’i) berdasarkan pada persamaan dari Nabi saw. antara haji dan hutang, sehingga pelaksanaan haji disamakan dengan pelunasan hutang. Apabila seseorang meninggal dalam keadaan menanggung kewajiban haji, ia wajib dihajikan dengan biaya dari harta miliknya, kendati ia tidak mewasiatkan hal itu, bahkan hal ini lebih didahulukan daripada melunasi hutang semasa ia hidup karena haji yang belum sempat dilaksanakan merupakan hutang kepada Allah swt. dan hutang kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi dulu.
Dengan demikian, maka masalah haji bagi orang yang memiliki istitā’ah gair mubāsyarah (kemampuan dengan perantara orang lain), dalam hal ini adalah seseorang yang sudah berkewajiban haji dan memungkinkan untuk melaksanakannya sebelum meninggal, ini diqiyaskan dengan kewajiban haji bagi orang yang bernazar. Qiyas ini disebut dengan qiyas aulā, yaitu qiyas yang lebih mengutamakan furu’ daripada asalnya.
Qiyas menurut istilah ahli ilmu usul fiqh adalah: mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nas hukumnya dengan suatu kasus yang ada nas hukumnya, dalam hukum yang ada nasnya, karena persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya.
Maka apabila suatu nas telah menunjukan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nasnyaitu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nasnya, berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum itu ada dimana illat hukum itu ada.
Dalam hal inipun, Nabi saw. mengqiyaskan haji bagi orang yang sudah diwajibkan dan meninggal sebelum sempat melaksanakannya (baik itu haji nazar maupun haji wajib) dengan hutang semasa hidup, yang sama-sama harus dipenuhi. Dan Nabi saw. lebih menekankan pada pemenuhan hak Allah swt. yaitu berupa haji yang masih tertunda. Dan hadis tersebut merupakan salah satu dalil as-Sunnah yang paling jelas dikemukakan untuk qiyas sebagai hujjah syar’iyyah.
Imam asy-Syafi'i mensyaratkan seseorang yang mewakili untuk menghajikan orang yang meninggal haruslah ia orang yang sudah pernah berhaji wajib.
Sedangkan syarat lain yang ditetapkan beliau yaitu: harta yang digunakan untuk mengongkosi orang yang mewakili haji adalah harta waris yang ditinggalkannya.  Dan ia wajib mengeluarkan uang sesuai ongkos haji dari harta warisannya, kalau ia tidak berwasiat untuk mengeluarkan ongkos. Dalam kitab al-Umm, Imam asy-Syafi'i meriwayatkan pendapat dari Atho` dan Thawas bahwasanya mereka berdua berkata:
“haji bagi orang yang meninggal, ongkosnya diambilkan dari harta peninggalannya (harta pokok)”
Oleh Imam asy-syafi’i ini diqiyaskan dengan haji wajib dalam Islam juga memakai harta pokok. Hal ini juga dengan ketentuan bahwa orang yang meninggal masih memiliki harta peninggalan yang cukup untuk ongkos mewakilkan haji. Dan apabila tidak mencukupi, maka disunahkan saja bagi ahli waris untuk melaksanakannya (haji tatawu’).

Referensi:
-Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad Ibn Isma’l, 1401H/1981. Sahih Bukhari, Beirut: Dar al Fikr.
-As-Sarkhasi, Syamsuddin, al-Mabsūt, Beirut: Dar al-Ma’rifat, t.t
-Asy-Syafi`i, Abi Abdillah M. Idris, al Umm, Mesir: al Azhar, 1481 H.
-Ibn al-Humam,  Syarah Fath al-Qadīr, Beirut: Dar al fikr, t.t.
-Khallaf, Abdul Wahab, 1994. Ilmu Usul Fiqh, Semarang: Dina Utama.
-Sabiq, Sayyid, 1996. Fiqh Sunnah, terj. Muhamad Thalib, Bandung: al Ma`arif.

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Kewajiban Haji Bagi Orang Meninggal Menurut Imam Syafi`i"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!