Konsep Pernikahan Adat Jawa

Konsep Pernikahan Adat Jawa
Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral, agung dan monumental bagi setiap pasangan hidup. Karena itu pernikahan bukan hanya sekedar mengikuti agama dan meneruskan naluri para leluhur, untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan hubungan yang sah antara laki-laki dan perempuan. Namun juga memiliki arti yang sangat mendalam dan luas bagi kehidupan manusia dalam menuju bahtera kehidupan seperti yang dicita-citakannya.

Pernikahan adalah sebuah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk suatu keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Yang mana dari pasangan tersebut akan terlahir keturunan-keturunan yang pada akhirnya mengisi dan mengubah warna kehidupan dunia ini.        

Pernikahan menurut masyarakat Jawa adalah hubungan cinta kasih yang tulus antara seorang pemuda dan pemudi, yang pada dasarnya terjadi karena sering bertemu antara kedua belah pihak, yakni perempuan dan laki-laki. Dalam suatu pepatah jawa mengatakan "tresno jalaran soko kulino" yang artinya cinta kasih itu tumbuh karena terbiasa. Dalam hukum adat, pernikahan selain merupakan suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, yang bertujuan untuk mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami.

Terjadinya pernikahan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Dalam buku “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat” Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa pernikahan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, karena pernikahan itu tidak hanya menyangkut laki-laki dan perempuan saja, namun juga melibatkan orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing. Selain itu dalam pelaksanaannya juga terdapat ketentuan-ketentuan yang merupakan suatu budaya yang selalu dilakukan, yang mana ini sudah dilakukan sejak dulu. Dari situ dapat diartikan bahwa campur tangan dari orang tua sangat berpengaruh sekali.

Pada zaman dahulu orang tua sering memaksa anak-anak mereka untuk menikah sesuai dengan pilihan mereka atau dengan kata lain melakukan perjodohan. Sering kali orang tua menjodohkan anaknya dengan orang yang masih ada hubungan keluarga. Dalam masyarakat Jawa, hal ini dinamakan nuntumake balong pisah, artinya menyatukan kembali tulang-tulang yang sudah terpisah. Jadi yang dimaksudkan disini yaitu menyatukan kembali hubungan keluarga yang jauh.

Namun pada era modern ini kebiasaan-kebiasaan seperti itu sudah banyak ditinggalkan. Seorang anak sudah dapat menentukan siapa yang akan menjadi calon pasangannya. Akan tetapi tetap dengan pertimbangan dan izin dari orang tua. Adapun sistem pernikahannya disebut dengan “kawin bebas” artinya orang boleh kawin dengan siapa saja, sepanjang hal itu diizinkan dan sesuai dengan kesusilaan setempat di sepanjang peraturan yang digariskan oleh agama. Maksud dari sepanjang kesusilaan adalah pernikahan tadi tidak mengadatkan, tidak menentukan keharusan dengan siapa boleh menikah dan dengan siapa tidak boleh menikah.

Meskipun demikian pihak orang tua masih menginginkan agar dalam mencari jodoh, anak-anak mereka memperhatikan beberapa  hal sebagaimana dikatakan orang Jawa “bibit, bobot, dan bebet” dari si laki-laki atau perempuan yang bersangkutan. Apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan yang baik, yang dapat dilihat dari sifat watak perilaku dan kesehatannya, sebagaimana keadaan orang tuanya, apakah anak itu bukan anak nakal dan sebagainya. Dan bagaimana pula bobotnya, harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya, apakah anak itu bukan anak yang tidak jelas asal usulnya dan sebagainya. Bagaimana pula bebetnya yakni apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan dan martabat yang baik. 

Selain harus jelas bibit, bobot, dan bebet bagi si calon pasangan,orang tua biasanya juga memperhatikan berbagai perhitungan ritual lain, agar hubungan pernikahan tersebut dapat langgeng, bahagia dan dimudahkan rizkinya, yang pada akhirnya akan melahirkan anak-anak yang cerdas, patuh pada orang tua, serta taat beribadah. Dari sini jelas peranan orang tua atau keluarga dalam memberi petunjuk terhadap anak-anak mereka dalam mencari pasangan hidupnya masih terlihat mencolok. Hal ini masih sangat dipercayai khususnya oleh masyarakat Jawa.

Referensi:
-Bushar Muhammad,  Pokok-Pokok Hukum Adat. (Jakarta: PT. Pradya Paramita1995)
-Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat.(Bandung: Citra Aditiya Bakti. 1995)
-Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. 1995)                                                                                                                                          
-Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1988)

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Konsep Pernikahan Adat Jawa"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!