Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara
Isu pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini
dipicu oleh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus
pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43
tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari
Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan opini
yang bernada menyudutkan. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal
tersebut bernilai negatif.
Di sisi lain, Syeh Puji, begitu ia akrab disapa berdalih
untuk mengader calon penerus perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia
karena dianggap masih murni dan belum terkontaminasi arus modernitas. Lagi pula
dalam pandangan Syeh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama.
Sebenarnya kalau kita mau menelisik lebih jauh, fenomena
pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa.
Penulis sangat yakin bahwa mbah buyut kita dulu banyak yang menikahi gadis di
bawah umur. Bahkan jaman dulu pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan
preseden buruk di mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru
akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb.
Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru
sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang
masyarakat. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang
tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita,
memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan
dan wawasan yang lebih luas.
Pernikahan Dini menurut Negara
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia
perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan
bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas
tahun) tahun.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia
pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini
dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik,
psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai
dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para
sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi
harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak
darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari
berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah
hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk
wanita.
Pernikahan Dini menurut Islam
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu
perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai
universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan
(hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri
menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang
mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak
mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin
kabur.
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai
pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang
Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut
negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini
ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah
isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan
kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa
dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons
kasus tersebut.
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa
agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya,
nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan
melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang
belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan
teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang
ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu
berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi
Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan
pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq:
4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi
dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah
di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah
umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu
Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini
tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan
mudah terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis
yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara
yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada
jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang
setara/kafaah”.
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis
bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera
dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang
tuanya”.
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi
positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi
acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui
batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila
di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai
pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya
untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus
dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk
bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ?
Penutup
Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan
sosial bagi manusia pada masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis
dan selalu membawa rahmat bagi semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam
Syatiby dalam magnum opusnya ini harus senantiasa kita perhatikan. Hal ini
bertujuan agar hukum Islam tetap selalu up to date, relevan dan mampu
merespon dinamika perkembangan zaman.
Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah
maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang
pernikahan usia dini adalah dengan pelbagai pertimbangan di atas. Begitu pula
agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif.
Sebuah permasalahan yang cukup dilematis.
Menyikapi masalah tersebut, penulis teringat dengan
gagasan Izzudin Ibn Abdussalam dalam bukunya Qowa’id al Ahkam. Beliau
mengatakan jika terjadi dua kemaslahatan, maka kita dituntut untuk menakar mana
maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan.
Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini
tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan
kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan
diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif
terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ”matang”
mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama. Wallahu
A’lam
Daftar Pustaka :
1.
UU Perkawinan di
www.depag.go.id .
2.
Ibrahim, al Bajuri
hlm. 90 vol. 2 Toha Putra, Semarang.
3.
Ibnu Hajar al
’Asqalani, Fathul Bari vol.9 hlm.237 Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
4.
Jalaluddin Suyuthi,
Jami’ al Shaghir hlm.210 Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
5.
Ibid, hlm.501.
6.
Imam Syatibi, al
Muwafaqot hlm.220 Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
7.
Izzudin Ibn Abd.
Salam, Qowa’id al Ahkam hlm.90 vol.II Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
0 Response to "Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!