Prof Dr Hj Nabilah Lubis: Peran Suami-Istri Sama dalam Perkawinan

Prof Dr Hj Nabilah Lubis: Peran Suami-Istri Sama dalam Perkawinan
Pemikiran Islam di Indonesia saat ini bekembang demikian cepat. Namun di sisi lain, muncul keprihatinan karena tak jarang dianggap menyimpang dari ajaran agama. Sebagian tokoh agama tak tinggal diam, mereka tergerak untuk meluruskan pemahaman mengenai syariat Islam kepada masyarakat. Salah satu di antara yang aktif 'berdakwah' adalah Prof Dr Hj Nabilah Lubis, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di kalangan cendekiawan dan tokoh Muslim di Tanah Air, namanya sudah tidak asing lagi. Nabilah yang juga Ketua Umum Al-Majlis Al-Alami Lil-Alimat Al-Muslimat atau Majelis Internasional Ilmuwan Muslimat ini (MAAI), kerap menjadi pembicara pada seminar dan diskusi, khususnya yang mengangkat tema seputar syariat hukum Islam. Nabilah mengaku tak habis mengerti mengapa kemudian muncul 'pemikiran radikal dan revolusioner' yang ingin mengutak-atik ajaran Islam. Termasuk menyangkut hukum perkawinan Islam. "Apa yang dipersoalkan oleh kalangan pemikir radikal tadi mengenai penetapan iddah bagi laki-laki, bolehnya pernikahan beda agama, pembolehan kawin kontrak dan sebagainya, jelas bertentangan dengan syariat Islam," katanya. Kendati demikian, dia optimis bahwa umat akan dapat melewati tantangan ini yang justru akan dapat memperkuat syiar. Dan dia pun mengaku gembira, karena sampai saat ini, sebagian besar umat Islam masih melaksanakan ajaran yang diwariskan Nabi Muhammad SAW. Berikut pandangan dan pendapat dari perintis bidang filologi di lingkungan UIN ini tentang hukum perkawinan: Saat ini, ada kalangan yang berpandangan paradigma hukum Islam dalam memandang keluarga/perkawinan terlalu berpihak kepada laki-laki?

Tentu hal tersebut tidak akan terjadi bila semua pihak memahami sepenuhnya ajaran Islam. Islam memandang bahwa sebuah keluarga harus dibangun di atas kesadaran suami dan istri akan posisi mereka sebagai hamba Allah SWT. Atas dasar itulah, pada akhirnya keduanya akan menjadikan keluarga sebagai sarana ibadah. Suami menjalankan tanggung jawab yang diberikan Allah guna memenuhi hak-hak istrinya, dan sebaliknya, istri pun menjalankan tugas yang diberikan Allah dalam memenuhi hak-hak suaminya. Masing-masing pihak melaksanakan tugas di keluarga sesuai fungsinya. Nah pola interaksi ini diharapkan memunculkan suasana kondusif bagi keluarga. Pembagian peran jadi proporsional, keduanya saling membantu dengan kesadaran penuh untuk mengharap keridaan Allah.

Bagaimana sebenarnya Islam memandang perkawinan? 
Dalam Islam, perkawinan selalu dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan menjadi salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Banyak ayat dalam Alquran maupun hadis yang menjelaskan mengenai perkawinan ini. Oleh sebab itu, perkawinan adalah sesuatu yang amat penting bagi umat Islam. Lembaga perkawinan pun mengandung banyak hikmah. Terutama dalam membimbing anak-anak agar menjadi generasi yang baik. Sejatinya, generasi yang baik hanya bisa dimunculkan dari lingkungan yang baik, sementara lingkungan yang baik hanya bisa dibangun dari keluarga yang baik pula. Keluarga yang baik, berawal dari sebuah perkawinan yang baik. Terkait hal tersebut, perkawinan baru dapat dikatakan baik bila dilakukan dengan cara yang sesuai hukum Allah SWT. Dengan begitu, wajarlah jika kemudian umat Islam di Tanah Air, apabila menginginkan membangun sebuah negara yang baik melalui keluarga yang baik, maka tentu berkeinginan agar setiap perkawinan yang dilaksanakan dapat berlangsung dengan sah, tak hanya menurut hukum Islam tetapi juga menurut hukum positif. 

Bagaimana hukum perkawinan yang ada mampu mengakomodir kepentingan umat, dan kenapa kemudian ada yang mempersoalkannya? 
Hukum perkawinan yang sesuai Islam telah sejak akhir tahun 1950-an diperjuangan oleh seluruh partai politik Islam ketika itu. Namun, baru tahun 1970-an, undang-undang yang diharapkan disahkan, yakni UU No 1 Tahun 1974. Ini merupakan produk perundangan pertama di Indonesia yang mengandung syariat Islam. Kemudian tahun 1991, terbit Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang memuat tiga bidang hukum Islam; munakahat (perkawinan), mawarits (warisan), serta waqf (wakaf). Di penghujung tahun 1990-an, beberapa kalangan mengkritik KHI ini. Mereka menilai ketentuan dalam KHI banyak yang sudah tidak sesuai perkembangan zaman, perspektif gender, pluralisme, serta demokrasi. Inilah yang lantas memicu munculnya CLD KHI. 

Menurut Anda, apakah UU No 1 Tahun 1974 dan KHI masih relevan untuk masa sekarang ini, mengingat gencarnya tuntutan untuk merevisinya?
Ya tentu masih sangat relevan dan tetap bisa mengakomodir kepentingan umat. Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam undang-undang itu juga sudah sejalan dan sesuai syariat Islam. 'Kan itu yang terpenting. Lantas kenapa ada yang berkeinginnan untuk 'menyempurnakannya' lagi dengan dalih agar kompetibel dengan perkembangan zaman. Mungkin ada yang terlupakan di sini, bahwa ajaran Islam amatlah fleksibel dan mampu merefleksikan perubahan zaman, dari masa ke masa. Saya justru khawatir, tuntutan itu lebih didasari kehendak untuk mencari celah bagi dilegalkannya nikah beda agama. Bayangkan seandainya hal tersebut menjadi kenyataan, bagaimana keberlangsungan umat di negara ini. Itu yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama. 

Bagaimana penegasannya bahwa hukum Islam dapat diterapkan dari waktu ke waktu? 
Mengutip dari pendapat Prof KH Ibrahim Hosen, dari kacamata ushul fikih, sifat hukum Islam terbagi dua, yakni qath'iy dan zhanny. Yang bersifat qath'iy adalah yang ditegaskan langsung oleh nash Alquran dan sunah, ini harus diterima apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi dengan alasan apa pun. Ijtihad tak berlaku pada qath'iy. Sementara hukum Islam yang zhanny merupakan kebalikannya, yakni tidak ditegaskan secara langsung oleh nash Alquran dan hadis. Ia baru diketahui setelah digali melalui ijtihad para imam mujtahid. Bagian ini lantas dikenal sebagai fikih dan ijtihad boleh dipergunakan. Karena fikih adalah hasil ijtihad, maka dapat difilsafahkan. Kendati demikian, keduanya telah disyariatkan oleh Allah SWT bagi kemaslahatan umat. Jika kita menelaah apa yang diajukan dalam CLD KHI, misalnya, mengenai pembagian waris yang sama rata antara lelaki dan perempuan, penetapan iddah bagi laki-laki, pemberian mahar dari istri, tidak boleh berpoligami, pembolehan kawin kontrak dan sebagainya, itu semua bertentangan dengan kaidah Islam. Ada pula contoh nyatanya. Yakni dengan disahkannya UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sejak itu, undang-undang tersebut langsung populer di masyarakat yang kehidupan rumah tangganya gonjang-ganjing. Makanya, ada kalangan yang menganggp, undang-undang tadi menjadi bukti kemenangan kaum perempuan di Indonesia. Di dalamnya terdapat sebuah pasal yang menyatakan semua pihak dapat mengadukan sebuah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Namun perlu dicermati apa yang akan terjadi: siapa pun dapat mengintervensi hubungan suami istri tanpa mengedepankan prinsip muasyarah bin ma'ruf dalam Islam. Setiap permasalahan di rumah tangga bisa langsung dilaporkan ke yang berwajib. Akibatnya, bukannya akan membawa kebaikan, justru hal seperti ini dapat meningkatkan angka perceraian. 

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

2 Responses to "Prof Dr Hj Nabilah Lubis: Peran Suami-Istri Sama dalam Perkawinan"

  1. Insya Allah, kalo sering mampir kesini jadi makin TAQWA. se-isi tentang ISLAM ada disni n lengkap. Kang, saya pengen punya istri yang SOLEHAH... cari'in duunk!!! hehehe
    tukeran link yuuuk

    ReplyDelete
  2. Aminn Kang.. sama2 masih nyari kang,, usaha & do'a semoga cpt dapat istri yang sholehah..

    ReplyDelete

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!