Sistem Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan dalam Hukum Pidana Indonesia

Sistem Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan dalam Hukum Pidana Indonesia
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana pemerkosaan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini, hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan yang berdasarkan alat bukti dan meyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiel, berbeda dengan hukum acara perdata dan cukup puas dengan kebenaran formil.

Mencari kebenaran materiel tersebut tidaklah mudah, karena untuk mendapatkan kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan tertentu yang telah lampau, semakin lama waktu lampau itu semakin sukar bagi hakim untuk menemukan kebenaran atas keadaan itu, oleh karena itulah hukum pidana sebenarnya hanya dapat menentukan jalan sebanyak mungkin adanya persesuaian antara keyakinan hakim dengan kebenaran sejati.

Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan didapatkan dari jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan dan atau benda, yang berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadian masa lalu yang diduga menjadi perbuatan pidana.

Suatu pembuktian dalam perkara pidana adalah “penelitian” dan “koreksi” dalam memnghadapi masalah dari berbagai masalah untuk mendapatkan kejelasan dengan metode ilmu logika, pekerjaan yang amat sukar inilah seringkali dijumpai “kesesatan hakim” yang disadari atau tidak disadari memberikan warna dari seni peradilan.

Pembuktian di muka sidang pengadilan adalah merupakan titik sentral dari hukum acara pidana khususnya dalam proses pemeriksaan perkara pidana di muka sidang pengadilan.

Pembuktian di muka sidang pengadilan adalah suatu usaha penuntut umum dalam mengajukan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang di muka sidang pengadilan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Sebagaimana telah diuraikan dimuka, pada dasarnya pembuktian adalah suatu proses persidangan dimana masing-masing berupaya untuk menyakinkan atau memberi kepastian mengenai kebenaran atau ketidak benaran peristiwa atau keadaan tertentu. Dengan demikian tujuan pembuktian adalah putusan hakim atas perkara yang diperiksa yang didasarkan atas pembuktian tersebut.

Dengan adanya putusan tersebut, sekaligus tercipta suatu kepastian hukum atau kepastian hak dari masing-masing pihak. Ini juga merupakan tujuan dari pembuktian yang dilakukan oleh masing-masing pihak.

Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan ini, bervariasi menurut waktu dan tempat. Indonesia seperti halnya Belanda menganut suatu sistem yang yang meyebutkan bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang di ajukan.

Dalam hukum acara pidana dikenal dengan beberapa macam sistem pembuktian yaitu:
1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Acara Positif.
Pembuktian menurut sistem pembuktian ini hanya didasarkan pada alat bukti yang telah disebutkan atau ditetapkan oleh undang-undang oleh karena itulah sistem ini disebut secara positif, artinya jika suatu perbuatan telah terbukti sesuai dengan alat bukti yang telah disebutkan dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

Andi Hamzah, sebagaimana mengutip pendapat D. Simon menyebutkan bahwa pembuktian menurut sistem ini berusaha untuk menyingkirkan pertimbangan yang subyektif dari hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian.

2. Sistem Pembuktian Negatif Menurut Undang-undang
Sistem pembuktian negatif (Negatife Wettelijk) artinya: Dengan alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang saja belum cukup, tapi masih di butuhkan keyakinan hakim. Dengan kata lain, walaupun cukup pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang diakui undang-undang, tetapi jika hakim tidak mendapatkan keyakinan, maka terdakwa harus di bebaskan.
Dengan demikian. Hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri. Jadi dalam sistem negatif ada 2 hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni:
a.       Wettelijk: Adanya alat bukti yang sah yang ditetapkan oleh Undang-undang.
b.      Negatife: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim menyakini terdakwa.
Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan dalam undang-undamg belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Sistem yang digunakan dalam membuktikan tindak pidana pemerkosaan adalah menggunakan sistem pembuktian negatife wettelijk. Mengacu pada KUHAP maka kita bisa melihat bahwa sistem yang dianut adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang negatif. Hal tersebut dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatukan kepada seseorang kecuali apabilah dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian tindak pidana pemerkosaan harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP) yaitu: alat bukti yang sah sebagaiman tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
untuk memeriksa perkara pidana pemerkosaan yang digunakan adalah acara pemeriksaan biasa. Dalam memeriksa perkara tindak pidana pemerkosaan da tahapan-tahapan yang harus dilalui, secara garis besarnya dibagi menjadi lima tahapan. Tahapan-tahapan tersebut sesuai dengan tingkatannya, dilaksanaklan oleh subyek pelaksanan hukum acara pidana, tahapan dan subyek hukum tersebut adalah:
1.      Tahapan penyidikan (opsoring) dilaksanakan oleh penyidik.
2.      Tahapan penuntutan (vervorging) dilaksanakan oleh penuntut umum
3.      Tahapan mengadili (reacht spraak) dilaksanakan oleh:
a.       Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama dilaksanakan oleh hakim negeri
b.      Jika ada upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan negeri, dilaksanakan oleh hakim tinggi.
c.       Jika ada upaya hukum kasasi terhadap putusan pengadilan tinggi, atau jika ada upaya hukum kasasi terhadap putusan pengadilan negeri yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dilaksanakan oleh hakim agung
d.      Jika ada upaya peninjauan kembali terhadap putusan yang telah punya kekuatan hukum tetap, dilaksanakan oleh hakim agung.
4.      Tahapan melaksanakan putusan hakim (exsekusi) dilaksanakan oleh jaksa.
5.      Tahapan pengawasan dan pengawasan putusan pengadilan oleh hakim pengadilan negeri (hakim pengawas dan pengamat)
Tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu proses yang saling kait mengkait antara tahapan yang satu dengan tahapan selanjutnya, yang pada akhirnya bermuara pada pemeriksaan terdakwa dalam persidangan pengadilan yang kemudian pada giliranya adalah tahap mengawasi dan mengamati putusan pengadilan ketika terpidana berada dalam lembaga permasyarakatan.
Berkaitan dengan pembuktan tindak pidana pemerkosaan, sebagaiamana yang yang dianut dalam hukum pidana Indonesia memakai sistem pembuktian negatife, hakim dalam memutuskan suatu perkara tindak pidana pemerkosaan harus berdasarkan pada alat bukti yang sah menurut undang-undang yang berlaku dan keyakinan hakim, untuk dapat menyatakan seseorang terdakwa yang didakwa melanggar larangan dalam pasal 285 KUHAP, mempunyai kesengajaan melakukan tindak pidana pemerkosaan seperti yang yang dimaksudkan dalam pasal 285 KUHAP, di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan tentang:
a.       Adanya “kehendak” atau “maksud” terdakwa memakai kekerasan
b.      Adanya “kehendak” dan “maksud” terdakwa untuk mengancam memakai kekerasan.
c.       Adnya “kehendak” atau “maksud” terdakwa untuk memaksa
d.      Adanya “mengetahui” pada terdakwa bahwa yang di paksa itu adalah seorang wanita yang bukan istrinya.
e.       Adanya “pengetahuan” pada terdakwa bahwa yang di paksa untuk dilakukan oleh wanita yang tersebut ialah: untuk mengadakan hubungan kelamin dengan dirinya di luar perkawinan.
Ketentuan-ketentuan sebagaimana disebutkan di atas harus berdasarkan pada harus berdasarkan pada alat-alat bukti yang yang ditemukan atau didapatkan. Mengenai alat bukti yang sah menurut undang-undang yang berlaku diatur dalam pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa

Referensi:
-Andi Hamzah, 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Arthajaya.
-Bambang waluyo, 1992. Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
-Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju.
-P.A.F. Lamintang, 1990. Delik-Delik Khusus, Bandung: Bandur Maju. 
-Suharto. R.M, 1997. Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Jakarta: Sinar Grafika.
-Teguh Samudra, 1992. Hukum Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, Bandung: Alumni.

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Sistem Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan dalam Hukum Pidana Indonesia"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!