Etika dan Upaya Memberantas Korupsi
Tahun 2013,
telah berlalu. Berbagai permasalahan pun turut menyertai pergantian tahun
masehi, diantaranya masalah korupsi yang tak pernah kunjung menghilang dari
permukaan bumi tercinta ini. Upaya memberantas tikus-tikus kantor yang terlalu
sering mengerogoti pundi-pundi masa depan rakyat jika kita boleh jujur, bukan
sekadar slogan semata. Seiring hembusan angin reformasi yang bergulir 1998,
pemerintah dituntut untuk ditetapkan prinsip-prinsip akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses kebijakan publik.
Ironisnya, tuntutan tersebut terkesan sudah sirna dengan lahirnya era baru
kebangkitan koruptor. Kian hari, pertumbuhan korupsi semakin subur, seiring
meningkatnya ekonomi nasional yang mengalami trend positif. Meski sebelumnya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menganggap korupsi sebagai salah
satu wabah penyakit moral yang harus di berantas dan menganggap karena
korupsilah yang menyebabkan bobobroknya moral seseorang. Namun, apa yang di
teriakan alumni Akabri 1973 ini, justru semakin terhunus dirinya dengan semakin
tingginya tingkat korupsi yang dilakukan penyelengara negara dari tingkat pusat
hingga di daerah-daerah terpencil, penegak hukum yang dikepolisian maupun yang
berada dipengadilan pun turut serta mengambil bagian, bahkan politisi
yang tergabung dalam wakil rakyat, tak ketinggalan berbondong-bondong berurusan
dengan hukum.
Permasalahan inilah, yang menjadi beban tersendiri bagi bagi kepala negara
nantinya pasca 2014. Korupsi yang terjadi dalam birokrasi pemerintahan sudah
sangat kronis. Akibatnya, melahirkan kerusakan pada moral pelaku korupsi, tanpa
sedikit ada rasa malu dan penyesalan mereka terus berlomba-lomba melakukan
korupsi, bahkan sampai ada yang membangun dinasti keluarga untuk melegalkan
tindakan tak terpuji ini, seperti yang terjadi di Banten. Berdasarkan rilis
yang disampaikan Lembaga Transparency Internasional Indonesia (TII) mendapatkan
hasil yang sangat memilukan, Indonesia berada di posisi empat negara terbawah
dalam urutan tingkat korupsi. Indeks persepsi korupsi Indonesia berada di angka
32. Hasil ini sekaligus menempati Indonesia dalam urutan 118 sebagai negara
terkorup, dan Indonesia berada di bawah Thailand (urutan 88) dan Filipina
(urutan 108). Sedangkan tiga negara dibawah Indonesia antara lain Vietnam,
Laos, Myanmar. Selain itu, survey yang dilakukan kepada 114 ribu orang di 107
negara menunjukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap intitusi-intitusi
negara di Indonesia semakin menurun terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Kekecewaan yang dialami masyarakat tentu dapat dimaklumi, di lihat dari fakta
yang ada, korupsi yang awalnya sebuah ketabuhan, kini telah menjadi sesuatu
yang lazim. Hampir setiap saat berbagai media di tanah air gencar memberitakan
tindakan korupsi. Ketika di tayangkan oleh media elektronik maupun cetak pun,
mereka tak sungkan-sungkan melambaikan tangan tanpa ada raut muka penyesalan
mau pun bersalah, dengan bangga mereka selalu menjadikan konspirasi sebagai
dalil dari tindakan yang diperbuat.
Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
"mendaulat" kedudukan wakil rakyat sebagai lembaga yang paling korup
di negeri ini. Kesimpulan ini di raih berdasarkan Indeks Korupsi Birokrasi,
selama lima tahun berturut berturut-turut (2009-2013), DPR meraih predikat
lembaga terkorup. Penemuan ini, tentu menjadi catatan sejarah tersendiri bagi
wakil rakyat. Hasil ini sekaligus menunjukan rekor prestasi wakil rakyat hanya
menjadi benalu dalam menjalankan amanah rakyat. Pemberantasan korupsi yang
dilakukan sepanjang 2013, terbukti telah ternoda oleh penegak hukum yang
seharusnya menjadi suri tauladan bagi masyarakat. Dari mulai pegawai biasa di
Mahkamah Agung, aparat kejaksaan, hakim, hingga Ketua Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga tinggi penjaga konstitusi. Mirisinya, Polri dengan slogan
mengayomi & melayani masyarakat, telah ternoda oleh oknum tak bertanggung
jawab yang menyebabkan lembaga ini menjadi bagian lingkaran setan korupsi.
Korps baju coklat ini mengalami peningkatan kekecewaan dari masyarakat ketika
kredibilitas polisi tercoreng oleh petinggi kepolisian, yakni mantan Kepala
Korps Lalu Lintas, Irjen Djoko Susilo. Dirinya bukan saja di jerat permasalahan
korupsi, alumni Akpol angkatan 1984 juga dijerat dengan pasal pencucian
uang. Dalam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tindak Pidana
Korupsi Jakarta memperberat hukuman penjara mantan Gubernur Akpol ini menjadi
18 tahun penjara. Dalam vonis sebelumnya, Djoko diganjar hukuman pidana 10
tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Tak mengherankan ketika memberikan
pemberian pengarahan ke KPU Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja menyebut lembaga
yang paling banyak disorot soal korupsi yakni Polri dan parlemen.
Jika menoleh kebelakang, jelas, peraturan pertama yang ditandatangani SBY setelah
dirinya terpilih dipemilihan presiden tahun 2004, adalah Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Selain itu,
Presiden pada awal gebrakannya telah menandatangani 138 izin pemeriksaan
bagi penyelenggara negara. Jumlah ini, bukannya semakin berkurang, justru
semakin meningkat dari hari ke hari.
Merujuk data yang di sampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus
dan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam kurun tiga tahun
terakhir berjumlah 756 orang. Terdakwa dengan latar belakang anggota
DPR/DPRD paling banyak yang terseret kasus korupsi. selama semester II 2010
hingga semester II 2013 ada 181 anggota legislatif yang terjerat kasus korupsi.
Setelah anggota DPR/DPRD, 161 terdakwa korupsi mempunyai latar belakang pegawai
dinas atau pemerintah provinsi. Selain itu, pegawai swasta yang mencapai 128
orang. Menyusul staf pemerintah kabupaten/daerah sebanyak 93 orang. Lalu di
tempat kelima ada mantan gubernur/bupati/walikota sebanyak 45 orang.kabupaten/daerah
sebanyak 93 orang, mantan gubernur/bupati/walikota sebanyak 45 orang.
Fakta ini menunjukkan, Korupsi yang terjadi bukan sekedar permasalahan yang
dapat diselesaikan oleh kepala negara maupun KPK dengan mudah. Program utama
pemerintah saat ini sangat jelas melakukan pemberantasan tindak
korupsi. Sepatutnya, program ini didukung dari berbagai komponen terutama
penegak hukum di negeri ini. Kondisi yang sangat memperhihatinkan ini sudah
sepatutnya diselesaikan secara cepat, jika dibairkan terus-menerus dapat
dipastikan pada kahirnya rakyat lah yang akan menerima imbas dari tindakan tak
terpuji ini. Keberadaan pendidikan budi pekerti dan moral sepertinya patut
diterapkan dan ditingkatkan, tujuannya agar setiap yang memegang amanah rakyat
baik tingkat tertinggi maupun yang terendah memiliki rasa malu dan rasa
kebangsaan yang tinggi.
Jika perlu, setiap penyelengara negara dinegeri ini harus mengikuti uji
kelayaakan, bukan sekedar bidang akademis semata, tetapi meliputi nilai akhlak
dan moral. Pelaku korupsi dinegeri ini rata-rata mereka yang berpendidikan
tinggi dan memiliki jabatan, bukan mereka yang tak sekolah atau pekerja
rendahan artinya pendidikan moral dan budi pekerti inilah yang harus ditanamkan
di setiap jati diri penyelengara negara bukan sebatas pendidikaan informal
semata. Dengan adanya penanaman moral dan budi pekerti ini setidaknya tertanam
sebuah etika yang menjunjung tinggi nilai KETUHANAN dalam bertingkah laku
didalam menjalankan amanah rakyat, bukan sekedar slogan semata. Harapan
terbesar penulis, di tahun 2014 ini tindakan yang merugikan rakyat dan negara
dapat turun serta menjadikan negeri ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Ferry Ferdiansyah
Penulis Alumni Pasca Sarjana Universitas Mercubuana Jakarta
Program Studi Magister Komunikasi
Sumber: http://news.okezone.com/read/2014/01/06/58/922258/etika-dan-upaya-memberantas-korupsi
0 Response to "Etika dan Upaya Memberantas Korupsi"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!