Hukum Shalat Ghaib
Ketika seorang
ulama’ besar dan kharismatik dipanggil ke rahmatullah, seluruh umat akan
merasa kehilangan panutannya. Sebagai rasa turut berduka dan bela sungkawa,
sebagian kaum muslimin yang tidak sempat melakukan shalat jenazah maka mereka
melaksanakan shalat ghaib. Bagaimana pandangan ulama’ tentang pelaksanaan
shalat ghaib untuk mayit?
Shalat ghaib
adalah shalat jenazah yang jenazahnya tidak berada di hadapannya, tetapi
berada di lain tempat, bisa jadi di desa lain ataupun di negara lain.
لاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ عَلَى المَيِّتِ الَّذِيْ فِيْهَا أَىْ
الْبَلَدِ الَّتِيْ كَانَ الْمُصَلِّيْ حاضرا فيها ولم يحضر في ذلك
الميت: وَإِنْ كَبُرَتْ اَلْبَلَدُ لَتَيَسَّرَ الحُضُوْرُ غالبا،
والْمُتَّجَهُ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ الْمَشَقَّةُ وَعَدَمُهَا فَحَيْثُ شَقَّ
الْحُضُوْرُ وَلَوْ فِي اْلبَلَدِ لِكِبَرِهَا وَنَحْوِهِ صَحَّتْ، وَحَيْثُ لاَ
وَلَوْ خاَرِجَ السُّوْرَ لَمْ تَصِحَّ كَمَا نَقَلَهُ الشِّبْرَامُلِسِى عَنْ
اِبْنِ قاَسِمٍ، فَلَوْكاَنَ الْمَيِّتُ خَارِجَ السُّوْرَ قَرِيْبا مِنْهُ فَهُوَ
كَدَاخِلِهِ وَالْمُرَادُ بِالْقَرِبِ هُناَ حَدُّ اْلغَوْثِ (نهاية الزين ص
159-160)
“Tidak sah
shalat mayit di suatu daerah yang memungkinkan untuk datang, namun dia tidak
menghadirinya: walaupun daerah tersebut luas dan mudah dijangkau. Dan menurut
qoul yang diunggulkan sesungguhnya hal yang menjadi pertimbangan adalah ada
atau tidak adanya kesulitan untuk menghadirinya, apabila ada kesulitan maka
shalatnya sah. (Nihayah al-Zain hal.159-160)
Shalat Ghaib
hukumnya sah menurut qaul mu’tamad, pelaksanaan shalat ghaib tersebut dikatakan
sah apabila tidak memungkinkan menghadiri shalat jenazah. Sebagaimana
diterangkan dalam Nihayah al-Zain;
وَتَصِحُّ الصَّلاَةُ عَلَى غَائِبٍ عَنْ بَلَدٍ لِأَنَّهُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ صَلَّى عَلَى النَّجَاشِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ مَوْتِهِ بِالْحَبَشَةِ (نهاية الزين ص 159)
”Sah
pelaksanaan shalat ghaib di suatu daerah, karena Nabi Saw. telah menshalati
orang Najasyi Ra. di Madinah waktu dia wafat di Habasyah. (Nihayah
al-Zain, hal. 159)
Jika seorang
menyalati jenasah di hari meninggalnya setelah dimandikan, hukumnya adalah sah,
sebagaimana pendapat Imam Ar-Rayani. Juga menyalati jenasah yang telah dimakamkan,
hukumnya juga sah karena Rasulullah pernah menyalati jenasah yang sudah dikubur
(HR Bukhari dan Muslim dan Imam Darul-Quthni). (Lihat dalam kitab Kifayatul
Ahyar I hlm 103-104).
Dalam kitab
Shahih Bukhari dan Muslim juga jelas tertera: Ada seorang Najasi meninggal
Rasulullah segera memberi tahu para sahabatnya, sabdanya: ”Saudara kita di
negeri Habasyah telah meninggal shalatlah kalian untuknya.” Mereka pun keluar
menuju lapangan, membuat barisan, dan mengerjakan shalat untuknya. (Tafsir Ibnu
Katsir I hlm. 443)
Dalil ketiga:
”Boleh menyalati beberapa jenasah dengan sekali shalat dan niat untuk semua
secara global.” Disebutkan juga boleh dengan niat ”ijmal” artinya seperti dalam
kalimat saya niat shalat untuk para jenazah muslim… atau, berniat shalat
seperti sang imam menyalati saja. (dalam kitab Fathul Mu’in, juga Ianatut
Thalibin II, 132-135).
Sedangkan
”Batasan ”ghaib” adalah bila seseorang berada di sebuah tempat di mana
panggilan adzan sudah tak terdengar. Di dalam kitab Tuhfah disebutkan: Jika
sudah di luar jangkauan pertolongan.” (Bughyatul Musytarsyidin, hlm 95)
Sebagaimana Keputusan
bahtsul masail Syuriah NU se-Jateng 1984, Ketentuan jarak untuk Shalat
Ghaib ada tiga versi: (1) Jarak 44 meter, (2) Jarak 1666 meter (1 mil), (3)
Jarak 2000 – 3000 meter.
Referensi:
- Fiqih Galak
Gampil MDMM Darut Taqwa Ponpes Ngalah Pasuruan
- KH. Munawwir
Abdul Fattah Krapyak Yogyakarta dalam NU Online
Sumber:
www.sarkub.com
0 Response to "Hukum Shalat Ghaib"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!