Urgensi Sumpah Dalam Perspektif Islam
Urgensi Sumpah Dalam Perspektif Islam - Isu
kepemimpinan nasional kembali mengemuka seiring dengan makin dekatnya
pelaksanaan Pemilihan Umum. Jika dicermati, wacana pencalonan seseorang sebagai
anggota legislatif atau eksekutif memiliki effectt erhadap kehidupan bangsa
ini, baik langsung maupun tidak. Karena, sosok wakil rakyat atau pemimpin akan
membawa perubahan banyak sisi kehidupan, baik politik maupun non-politik.
Namun,dibalik wacana pencalonannya, secara umum, selalu muncul penilaian publik
terkait dengan komitmen, integritas, dan janji-janjinya yang pernah dilontarkan
sebelumnya. Menarik apa yang ditulis oleh Taufik Effendi, Mantan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara (Media Indonesia,12/4/2005) tentang komitmen seseorang dalam
melaksanakan Sumpah Jabatan.
Menurutnya, sumpah jabatan sudah
menjadi bagian acara wajib dalam sebuah seremoni pelantikan jabatan.
Kehadirannya pun sakral karena di dalamnya mengandung unsur spiritualitas. Hal
ini dapat dilihat dari teks Demi Allah, saya bersumpah/berjanji bahwa
saya.......... Pada posisi inilah,sumpah menjadiraison d`etre “pewahyuan”
jabatan yang menuntut agar dijalankan secara benar dan penuh tanggung jawab.
Oleh sebab itu, penting--sebelum pelantikan dilaksanakan terlebih dahulu dihadirkan para
rohaniwan masing-masing agama guna menjelaskan arti, makna, dan konsekuensi
sumpah jabatan itu sendiri.Dalam lafal sumpah yang diucapkan di bawah
persaksian kitab suci. Intinya,pengikraran kesetiaan, komitmen, dan kesanggupan atas nama Tuhan bahwa jabatan yang dipangkunya
tidak akan disia-siakan, tetapi dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh
tanggung jawab.
Dengan demikian, diharapkan potensi
penyimpangan dan penyelewengan jabatan dapat dikontrol, bahkan ditekan dari
dalam (jiwa) masing-masing pemimpin karena ikatan sumpah yang pernah
diucapkannya. Dalam Islam, ada beberapa kata sinonim (murâdhifat) yang
mempunyai arti kata sumpah, yakni; Yamîn, Half, Îla, dan Qasam.Yang umum
dipakai ialah yamîn, arti yamîn,yang dalam bahasa Arab diartikan dengatangan
kanan. Hubungan tangan kanan dengan kata sumpah dikarenakan kebiasaan orang
Arab ketika melaksanakan sumpah mengambil dan memegang tangan orang yang
diajaknya bersumpah dengan tangan kanannya, hingga kemudian sumpah itu disebut
dengan yamîn.
Dalam sejarah
Arab,terutama di Mesir,ada kebiasaan bagi tentara yang akan maju ke medan
perang terlebih dahulu berbai’at dengan meletakkan tangan kanan mereka di atas
kitab al-Qur’an, sebagai tanda mereka akan berjuang dibawah naungan perintah
tuhan. Sedangkankata yamîn dalam istilah fiqh sebagaimana disebutkan oleh Imam
Rafi dan Imam Nawawi dalam Kifayatul Akhyar Juz II halaman 152, “Sumpah menurut
syara adalah menyatakan sesuatu atau menguatkan dengan menyebut lafal ‘Allah”
atau sifat-sifatnya.”Definisi ini diperkuat oleh para ulama fikih bahwa sumpah
secara terminologisnya adalahPenegasan dengan ucapan sesuatu yang mungkin
terjadi baik terhadap sesuatu yang telah terjadi, maupun yang akan terjadi. Dari definisi ini dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa sumpah itu berlaku untuk masa yang telah lalu,dan juga
yang akan datang.
Sumpah terhadap sesuatu yang telah
lalu merupakan pernyataan terhadap apa yang terjadi dilihat dan didengar
tentang orang lain. Dalampengertian bahasa Indonesia sehari-hari,dapat
dibedakan antara sumpah dengan janji, karena sumpah itu harus didahului dengan
ucapan “Demi Allah” dan yang semisalnya, sedangkan janji tidak mesti demikian.
Term sumpah dalam syariat Islam didasari oleh al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan Ijma’
Ulama. Term Sumpah disebutkan dalam surat al-Maidah :1;89, al-Imran: 77,
al-Nahl: 91, al-Isra’:34, Saba’:3, Al-Taghabun: 7. Ayat-ayat tersebut
menegaskan tentang sumpah dan pelaksanaannya agar tidak membatalkan sumpah
sesudah meneguhkannya.
Rasulullah
Saw. memperingatkan pula dalam hal melakukan sumpah seharus diperhatikan
tuntunannya antara lain: “Sesungguhnya Allah melarang kamu sekalian bersumpah
dengan nama nenek moyangmu; barang siapa akan bersumpah, bersumpahlah dengan
nama Allah atau diam.”Ibnu ‘Umar juga meriwayatkan bahwa ia mendengar
Rasulullah Saw. Bersabda,
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka ia telah kafir atau
telah musyrik.” Sumpah itu harus dikaitkan kepada Allah, maka bagi orang yang
beragama, yang percaya kepada Allah, sumpah itu mempunyai nilai agung dan
dianggap sakti atau keramat. Hal demikian didasari pada keyakinan bahwa janji
atau sumpah itu adalah seuatu yang harus ditepati. Bagi yang meyakininya, takut
akan ditimpa dosa dan bahkan lebih besar daripada sanksi kafarah terhadap yang
melanggarnya.Kewajiban menetapi janji itu tersirat dalam beberapa ayat
al-Qur’an antara lain: Surat al-Maidah:1, 89, al-Nahl: 91, al-Isra: 34, dan
al-Imran: 77.
Demikian beberapa dalil yang dapat
dijadikan pegangan untuk melaksanakan sumpah. Lantas,setelah sumpah diucapkan,
sanksi apakah yang diberikan jika seseorang melanggar sumpahatau janjinya? Di
antara sabda Rasulullah Saw. terkait dengan sanksi terhadap yang melanggar
sumpah, yang cukup terkenal adalah dikelompokkannya pelanggar sumpah itu ke
dalam orang yang munafik, Rasulullah Saw, bersabda: “Tanda orang munafik itu
ada tiga, apabila berkata ia berdusta, bila ia berjanji ia ingkari, bila ia
diberi amanat ia khianati.” Ayat-ayat serta hadits Nabi Saw. tersebut di atas
mengharuskan orang yang mengucapkan sumpah untuk selalu mentaatinya, sanksi
dosa bagi pelanggarnya menempatkan sumpah itu di tempat yang dianggap sakral
bagi orang yang beragama.
Bagi para pejabat negara, pegawai
negeri, profesional, dan lain sebagainya, sumpah jabatan memang sebuah
keharusan. Pasalnya, dengan ilmu dan keahliannya, mereka memiliki hak dan
kewajiban yang tidak dipunyai oleh warga negara biasa, atau setidaknya mereka
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara biasa, tetapi dalam
taraf yang berbeda. Menurut Taufik, ada dua kemungkinan utama yang menyebabkan
sumpah jabatan tidak memberikan dampak signifikan. Pertama, karena pribadi yang
bermasalah. Yaitu kepribadian yang rakus, serakah, tidak taat pada asas, dan
sifat-sifat ataupun perilaku negatif lainnya. Yang demikian ini adalah cermin
buruk serta rendahnya kadar moralitas.
Padahal, sejarah menunjukkan bahwa
moralitas rendahan tidak dapat mengantarkan pada pencapaian cita-cita ataupun
tujuan, baik tujuan negara, organisasi, perusahaan, dan lain sebagainya.Kedua,
sistem tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak mendukung. Karena itu,
dibutuhkan penyehatan secara komprehensif di berbagai dimensi kehidupan
(sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, maupun sektor-sektor yang lain).
Khusus untuk pegawai negeri sipil, ketentuan konduite perlu diterapkan secara
jujur dan tepat sebagai dasar pembinaan karier berlandaskan sistem merit.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan firman Allah dalam surat
Ali-Imran ayat 77, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji
(nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka
itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan
berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari
kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. bagi mereka azab yang pedih.”
Semoga tulisan ini semakin meneguhkan sumpah dan janji yang telah kita
ucapkan.Wallahu ‘a’lam bishawwab.
Oleh: Jamaluddin M.
Marky, M. Si, Lc. (Kasi Penyuluhan dan Pengembangan Syariah)
Sumber: http://bimasislam.kemenag.go.id/ Wednesday, 26 March 2014 | 16:05
0 Response to "Urgensi Sumpah Dalam Perspektif Islam"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!