Urgensi Perjanjian Suci Dalam Perkawinan
Urgensi Perjanjian Suci Dalam
Perkawinan - Semua orang
mengidamkan kebahagiaan saat memutuskan menikah dengan pasangan yang
dicintainya. Bahkan cita-cita meraih kebahagiaan keluarga melekat pada hati dan
jiwa pasangan saat masa perkenalan atau ta'aruf. Idealisasi tujuan perkawinan
bagi semua pasangan nikah merupakan sesuatu yang wajar dan manusiawi. Hal itu
sesuai dengan tuntutan Alquran: "Dan diantara tanda kebesaran Allah adalah
Ia menciptakan pasangan dari jenis kamu sendiri, agar kamu merasa tenteram
kepadanya dan Allah menjadikan diantaramu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang mau
berfikir" Arruum;21. Ayat tersebut memberikan penegasan bahwa
tujuan perkawinan adalah agar diperoleh kebahagiaan baik lahir maupun bathin. Kalimat
“litaskunuu ilaiha” dalam ayat tersebut sering ditafsirkan dengan “litamilu
ilaiha wath maannu biha"“ agar suami mendapatkan kedamaian dan
ketenteraman bersama isterinya dan sebaliknya isteri merasa damai dan nyaman
bersama suaminya.
Nabi Saw membuat kriteria yang
sangat lugas tentang faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam memilih
jodoh. Pertama, faktor kebaikan fisik dengan ukuran kecantikan bagi wanita dan
ketampanan bagi pria. Kedua, faktor kemapanan material. Hal ini menjadi
pertimbangan pasangan dalam memilih jodoh dengan harapan adanya modal finansial
yang dapat digunakan untuk membangun kehidupan keluarga. Ketiga, faktor
keturunan. Faktor ini sangat penting karena dianggap dapat mempengaruhi
kebaikan masa depan keluarga dari segi nasab dan keturunan. Keempat, faktor
agama sebagai faktor yang sangat menentukan arah tujuan sebuah
perkawinan. Agama lah yang bisa mengarahkan kedua pasangan untuk menerima
segala kemungkinan yang terjadi dalam perkawinan.
Agama memberikan guidance bagaimana
seseorang mensyukuri setiap karunia yang diberikan Tuhan atas keluarganya dan
bersabar menyikapi segala ujian dan cobaan perkawinan. Tingkat kemapanan dalam
beragama diharapkan dapat memberikan dampak positif pasangan nikah dalam
memanage aneka persoalan keluarga yang muncul. Rasulullah Saw menggunakan kata
"fazhfar bidzaatiddiin" dengan pengertian memberikan prioritas bagi
kemapanan agama dibandingkan dengan 3 (tiga) faktor lainnya dalam memilih
pasangan nikah.
Pintu gerbang pertama untuk
memasuki dunia baru yang bernama "keluarga" diawali dengan sebuah
ikrar suci yakni Ijab qabul dalam akad nikah. Ijab qabul merupakan top of
condition atau puncak dari syarat dan pilar pernikahan. Ijab adalah pelimpahan
wewenang dan tanggung jawab orang tua atau wali nikah terhadap anak
perempuannya dalam hal pengasuhan, perlindungan, pemenuhan segala kebutuhan
hidup lahir dan bathin selanjutnya diserahkan kepada laki-laki yang menjadi
suami dari anak perempuannya. Ijab di tanda I dengan sighat atau ucapan:
"saya nikahkan dan saya kawinkan anak perempuan saya kepada engkau dengan
mahar sekian tunai". Laki-laki calon suami menjawab Ijab tersebut dengan
sighat atau ucapan qabul: "saya terima nikahnya dan kawinnya anak
perempuan bapak dengan maskawin tersebut tunai".
Ucapan Ijab dan Qabul sangat ringan
diucapkan oleh kedua pihak yang melakukan kesepakatan yang bermakna perjanjian.
Karena Ijab qabul merupakan "aqdun" atau "ahdun" yang
bermakna perjanjian. Meskipun ringan diucapkan akan tetapi memiliki makna
tanggung jawab yang berat. Al-quran menempatkan posisi Ijab Qabul pada level
perjanjian suci yang berat dengan kalimat "mitsaqan ghaliizha". Ijab
Qabul melahirkan amanah dan tanggung jawab suami dan isteri. Suami memiliki
tugas melanjutkan tugas orang tua mempelai perempuan; menafkahi isteri lahir
batin, membimbing dan melindungi serta memberikan kasih sayang dan perhatian.
Isteri memiliki tugas dan tanggung jawab memberikan kasih dan sayang kepada
suami, mendampingi suami disaat suka dan duka, menjadi ibu yang baik dari anak-anak
yang lahir dari mereka berdua serta selalu menjaga sikap berbakti kepada suami.
Begitu sucinya
peristiwa Ijab Qabul dalam suatu pernikahan banyak riwayat yang menceritakan
bahwa malaikat turut menyaksikan Ijab dan Qabul". Bukan hanya Malaikat, Allah pun
turut serta menyaksikan Ijab suci itu. Dalam hadits qudsi Allah berfirman:
"Aku adalah yang ketiga diantara dua orang yang bersyarikah (berijab
qabul) selama keduanya tidak saling mengkhianati. Jika salah seorang saja
berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka berdua" Hadits qudsi
tersebut merupakan garansi dan jaminan Allah kepada pelaku perjanjian suci
yakni suami dan isteri untuk selalu berada dalam kebahagiaan sepanjang kedua
pihak tersebut selalu menjaga amanah dan menjaga hak-hak keduanya. Sebaliknya
Allah memberikan warning tentang adanya konsekuensi yang harus ditanggung bagi
pihak-pihak yang menodai perjanjian suci tersebut.
Penting sekali bagi semua orang
yang melakukan perjanjian suci untuk selalu menjaga komitmen memelihara
nilai-nilai sakral yang ada didalamnya. Agar perjalanan kehidupan rumah tangga
keduanya selalu di dalam naungan rahmat dan berkah Allah. Inilah makna hidayah
Allah dalam sebuah perkawinan. Allah menurunkan syariat perkawinan dengan
segala piranti teknis berbentuk panduan untuk merencanakan, memulai,
melaksanakan dan memelihara kebahagiaan. Allah sendiri yang memberikan jaminan
kebahagiaan itu apabila para pihak yang membangun komitmen bersama tersebut
selalu amanah dan memelihara hak-hak kedua pasangan serta menegakkan hak-hak
Allah dengan selalu menegakkan ibadah kepadaNya.
Oleh: Anwar Saadi
(Kasubdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan Binsyar Ditjen Bimas Islam)
Sumber: http://bimasislam.kemenag.go.id/ Thursday, 10 April 2014 | 23:48
terimakasi banyak, sangat menarik sekali pembahasannya...
ReplyDelete