Hukum Bagi Menantu yang Tinggal di Rumah Mertua
Pertanyaan:
Bung pokrol,
saya mohon bantuan, untuk sahabat saya yang sedang bingung. Sahabat saya sudah
15 tahun berkeluarga, tinggal bersama mertua di Pondok Mertua Indah. Setelah
selama 15 tahun menghuni rumah mertua, tentu rumah telah direnovasi dan
diperindah sesuai kebutuhan dan pertumbuhan ekonomi sahabat saya yang adalah
seorang dosen teknik di sebuah perguruan tinggi swasta. Sekarang keluarga
istrinya menghendaki sahabat saya bersama keluarganya untuk keluar dari rumah
tersebut. Mereka semua dari keluarga Batak. Istri sahabat saya itu sampai
hampir tiap hari bertengkar dengan ibunya. Sahabat saya ingin tahu, bagaimana
dengan biaya membangun rumah yang sudah dia keluarkan selama ini dengan biaya
maintenance selama 15 tahun rumah mertuanya. Adakah bekal untuk dia mendapatkan
rumah pengganti? Upaya kekeluargaan serasa sudah gagal ditempuh. Terima kasih
bung pokrol atas kesempatan yang diberikan pada saya.
Jawaban:
Menurut hukum
Indonesia, suami istri diharuskan untuk mempunyai tempat kediaman yang tetap
yang ditentukan oleh suami istri bersama (lihat Pasal 32 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo
Pasal 78 Kompilasi Hukum Islam). Terutama bagi masyarakat yang beragama Islam,
berlaku Kompilasi Hukum Islam yang menentukan bahwa suami wajib
menyediakan tempat kediaman bagi istri di mana tempat kediaman ini adalah
tempat tinggal yang layak untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan
pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Diwajibkan pula bagi suami
untuk melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta
disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya (lihatPasal 81 KHI).
Idealnya,
pasangan suami istri setelah menikah meninggalkan rumah orang tua untuk
membangun rumah tangganya sendiri. Akan tetapi, dalam praktiknya, banyak alasan
maupun kendala yang kemudian mengharuskan pasangan tersebut untuk tetap tinggal
di rumah orang tua atau di rumah mertua (yang Anda sebut sebagai “Pondok Mertua
Indah”). Seperti halnya yang dialami oleh sahabat Anda yang kebetulan menumpang
di rumah mertuanya (orang tua istri).
Sebenarnya,
selain hukum negara, di Indonesia masih berlaku juga hukum adat, termasuk adat
Batak. Pada dasarnya, perkawinan menurut hukum adat Batak adalah “harga
mempelai perempuan”. Perempuan dilepaskan dari kelompoknya, tidak sekedar dari
lingkungan tempat dia dilahirkan, dengan pembayaran sejumlah uang yang
disetujui bersama, atau dengan penyerahan benda berharga. Dengan cara ini
perempuan dikeluarkan dari kekuasaan kerabat lelakinya yang terdekat (misal:
ayahnya). Sehingga perempuan yang dinikahi akan keluar dari rumah orang
tuanya untuk tinggal di rumah suaminya. Namun, memang tidak menutup
kemungkinan, pihak suami yang pada akhirnya setelah menikah menumpang di rumah
mertua yakni orang tua istri.
Menurut hukum
adat Batak menumpang pada mertua ini disebut Marsonduk Hela. J.C.
Vergouwen dalam bukunya “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” (hal. 283)
menjelaskan bahwa dalam bentuk perkawinan yang menumpang pada mertua ini,
seorang menantu tinggal di rumah mertuanya dan menantu ini disonduk (diberi
makan). Bentuk perkawinan seperti ini boleh dikatakan jarang terjadi. Apa yang
menjadi penyebab terkadang adalah bapak si pemuda itu miskin dan tidak memiliki
cukup syarat untuk melaksanakan pembayaran perkawinan yang lazim.
Selain itu
Vergouwen juga menyebutkan bahwa ada kalanya menantu seperti itu (menumpang
pada mertua) hanya dikehendaki jika keluarga memerlukan tenaga bantuan,
misalnya karena banyak anak kecil yang masih terlalu muda untuk bisa menyumbang
dalam pekerjaan. Namun, lebih jauh Vergouwen mengatakan, motif dari hubungan
menumpang seperti ini tidak selalu karena salah satu pihak tergolong orang
tidak punya, juga bukan karena tidak memerlukan tenaga orang lain, tetapi
mungkin karena kasih sayang seorang ayah yang terlalu dalam kepada puteri
satu-satunya dan tidak ingin berpisah darinya; dalam kasus seperti ini si
pemuda pada umumnya berharap akan mendapatkan harta bawaan yang lumayan. Oleh
karena itu, keadaan hidup menumpang tidak akan berjalan lama karena ia akan
selalu diremehkan orang.
Terkait dengan
sahabat Anda bersama keluarganya yang dikehendaki oleh mertuanya untuk keluar
dari rumah mertua namun sahabat Anda berkeinginan untuk memperoleh kembali
biaya pembangunan maupun biaya renovasi rumah mertua yang telah dikeluarkannya,
menurut hemat kami, upaya yang dapat dilakukan memang melalui upaya-upaya
kekeluargaan.
Apabila pihak
suami (menantu) ingin mendapatkan sesuatu sebagai bentuk modal atau bekal untuk
mendapatkan rumah pengganti, hendaknya hal tersebut kembali dikomunikasikan
secara baik-baik. Mengingat, sahabat Anda juga telah menumpang selama 15 (lima
belas) tahun di rumah mertua dan mungkin sudah saatnya untuk sahabat Anda dan
keluarganya untuk hidup mandiri terlepas dari mertua. Dari ranah hukum, tidak
ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan mertua untuk mengembalikan
biaya pembangunan rumah tersebut.
Di sisi lain,
jika memang keadaan memungkinkan, sahabat Anda dapat meminjam modal dari orang
tuanya sendiri atau mertuanya dengan mekanisme pengembalian yang lunak sebelum
sahabat Anda benar-benar mandiri. Walaupun memang, perlu digarisbawahi bahwa
pinjaman ini akan memiliki akibat hukum di kemudian hari jika tidak dilunasi.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Kompilasi
Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991)
Sumber:
www.hukumonline.com
0 Response to "Hukum Bagi Menantu yang Tinggal di Rumah Mertua"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!