Penegakan Hukum Gaya "Campur Sari"
Konflik
kepentingan penguasa dalam penegakan hukum menguatkan persepsi tentang
ketidakpastian hukum. Institusi penegak hukum pun menjadi macan ompong yang
hanya berani membidik dan menyergap koruptor yang lemah secara politis.
Kalau saja
Hakim Syarifuddin Umar punya backing politik mumpuni, dia mungkin tak pernah
bisa disentuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi, karena secara politis
dia lemah, dia menurut saja saat digiring ke ruang tahanan KPK karena diduga
menerima suap.
Pemahaman kita
tentang Konflik kepentingan kekuasaan dalam penegakan hukum diberi pendalaman
oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, baru-baru ini. Usai
bersilahturahmi dengan mantan Ketua KPK Antasari Azhar di ruang tahanannya,
Jimly menggambarkan Antasari sebagai korban dari peradilan sesat.
Sebuah
Peradilan itu dijalankan oleh orang-orang yang pandai dalam bidang hukum. Kalau
orang-orang pandai di peradilan bersedia membuat skenario peradilan sesat,
pasti karena ada permintaan, atau tekanan. Kalau mereka diminta at all cost
membuat vonis bersalah terhadap seorang pejabat tinggi negara dengan jabatan
dan kewenangan sebesar Ketua KPK, pihak yang meminta pastilah kekuatan dengan kekuasaan
maha besar. Ketika Anda menggenggam kekuasaan sangat besar, semua orang tahu
bahwa permintaan khusus Anda tak boleh dtolak oleh siapa pun.
Demikianlah,
penanganan kasus hukum yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat
(PD) M Nazaruddin, pun tidak bersih dari konflik kepentingan. Bagi
sejumlah kalangan, perkembangan kasus Nazaruddin serta cara penanganannya
mencerminkan banyak keanehan. Dan, dari rangkaian kejanggalan itu, sebagian
publik bisa membaca adanya konflik kepentingan dalam memroses kasus hukum
Nazaruddin.
Kejanggalan
pertama adalah peran dan posisi yang diambil Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono. Publik melihat bahwa SBY ikut-ikutan memojokan kader PD
bernama Nazaruddin itu. Seperti diketahui, SBY Bersama Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) Mahfud MD menggelar jumpa pers pada.Jumat (20/5), dengan agenda
gelar kasus Nazaruddin. Di forum itu, Nazaruddin justru 'dihabisi' dengan
menambah kasus pemberian uang kepada Sekretaris Jenderal MK. Upaya pembelaan
diri Nazaruddin bersama rekan-rekannya sesama kader PD di ruang publik seperti
tersapu angin puting beliung.
Memang, di
permukaan, muncul kesan tentang SBY yang sangat luar biasa. Sebagai Ketua Dewan
Pembina PD, dia tidak berusaha melindungi kader PD yang bermasalah dengan
hukum. Tapi, karena kasus Nazaruddin juga bernuansa politis, banyak juga yang
berkesimpulan lain. Ada yang berpendapat presiden menunggangi kasus Nazaruddin
untuk memperbaiki citranya. SBY ingin memberi bukti kepada publik bahwa dia
tidak melakukan tebang pilih dan berharap bisa mengubah persepsi publik
mengenai inkonsistensinya dalam penegakan hukum.
Akan tetapi,
manuver SBY itu belum cukup kuat untuk mengubah persepsi publik. Sebab. muncul
pertanyaan ini; kalau dalam kasus Nazaruddin respons SBY begitu agresif, mengapa
pada kasus lain yang juga melibatkan kader PD SBY nyaris tidak memberi respons?
Begitu juga pada kasus-kasus besar seperti skandal Bank Century, mafia hukum
dan mafia pajak.
Karena itu,
sejumlah politisi yakin bahwa ada motif lain dari SBY dalam kasus Nazaruddin.
Paling masuk akal adalah motif pencitraan. Kalau benar motifnya seperti itu,
SBY dinilai tidak etis.
.
Selain itu, kehadiran dan peran SBY dalam jumpa pers bersama itu juga bisa
menjadi bumerang bagi SBY sendiri. Muncul pertanyaan, Kehadiran dan peran SBY
di jumpa pers itu dalam kapasitas sebagai apa? Sebagai presiden atau sebagai
Ketua Dewan Pembina PD? Tidak pada tempatnya jika ketua Dewan Pembina PD
membahas kasus Nazaruddin di kantor presiden. Sebagai presiden pun, terlalu
berlebihan jika SBY memaksakan kehadirannya di jumpa pers itu, apalagi hanya
untuk mempersilahkan Ketua MK membeberkan kasus Nazaruddin.
Kejanggalan pun
berlanjut hingga langkah KPK mencekal Nazaruddin. Banyak kalangan mau tak mau
mempertanyakan cekal (pencegahan dan penangkalan) itu. Masalahnya, Nazaruddin
Belum pernah diperiksa KPK, serta belum juga berstatus tersangka. Dasar hukum
apa yang dipakai untuk pencekalan itu? Belakangan, ada penjelasan bahwa untuk
kepentingan penyelidikan dan penyidikan sebuah kasus, KPK berwenang mencekal
seseorang kendati yang bersangkutan tidak berstatus tersangka.
Tentu saja
argumentasi seperti itu sulit dipahami mereka yang awam. Akibatnya, langkah KPK
mencekal Nazaruddin ditafsirkan sebagai tindakan pesan sponsor. Apalagi,
pelaksanaan Cekal pun tak kalah heboh. Soalnya, surat cekal Nazaruddin
diterbitkan 24 Mei 2011, tetapi dia sudah berangkat ke Singapura 23 Mei
2011. Wajarlah jika publik berkesimpulan bahwa terjadi konflik kepentingan
dibalik cekal Nazaruddin.
Efektivitas
Cekal
Sudah lama Cekal
selalu ditanggapi dengan sinisme publik karena selalu saja ada nuansa
aneh. Menurut persepsi publik, banyak tindak pencekalan mencerminkan
kehendak setengah hati dari pihak yang mengajukan pencekalan. Soalnya, banyak
surat Cekal diterbitkan saat pihak yang dicekal sudah berada di luar negeri.
Itu sebabnya, pencekalan Nazaruddin yang diminta KPK pun menjadi
pergunjingan karena tidak efektif lagi.
Menurut
undang-undangnya, pihak yang berwenang mengajukan Cekal kepada kementerian
Hukum dan HAM adalah Menteri (perihal keimigrasian, Menteri Keuangan (urusan
piutang negara), Jaksa Agung, Panglima TNI dan belakangan oleh KPK
serta Mabes Polri. Jadi, bersama Menkum dan HAM, para pejabat tinggi
negara itulah yang sebenarnya menjadi faktor penetu efektivitas tindak
pencekalan, bergantung pada masalah atau alasan permohonan Cekal.
Selain
mencantumkan identitas dan alasan Cekal, surat pencekalan pun mencantumkan
jangka waktu pencekalan, dan disampaikan kepada pihak tercekal paling lambat
tujuh hari sejak Cekal ditetapkan.
Cekal paling heboh tentu saja masih terhadap obligor BLBI (Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia). Juni 2006, pemerintah mencekal delapan obligor
BLBI, meliputi Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Ulung Bursa (Bank
Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Lidya Muchtar (Bank
Tamara), Omar Putirai (Bank Tamara), Adis Saputra Januardy (Bank Namura
Internusa), James Januardy (Bank Namura Internusa), dan Agus Anwar (Bank Pelita
dan Bank Istimarat.
Publik segera
bereaksi karena melihat tindak pencekalan itu sudah terlambat. Sebab,
beberapa nama yang dicekal lagi-lagi diduga sudah meninggalkan Indonesia,
bersembunyi di negara lain. Ada yang lama menetap di Singapura,
sementara Sinivasan dinyatakan buron dan masuk ke daftar pencarian orang
(DPO).
Sampai pada
kasus Nunun Nurbaeti, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap
cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, tahun
2004. Nunun tak pernah mau menampakan diri dan diduga bersembunyi di Singapura.
Untuk mengunci pergerakan Nunun, Kementerian Hukum dan HAM mencabut paspor
Indonesia atas nama Nunun.
Dengan mencabut
paspor atas namanya, Nunun hanya bisa bersembunyi di negara terakhir yang
disinggahinya, dan tak bisa bepergian kemana-mana lagi. Berkoordinasi dengan
pihak berwenang setempat, penegak hukum Indonesia mestinya bisa membawa kembali
Nunun ke Jakarta.
Kalau strategi
mencabut Paspor RI bisa mengunci gerak Nunun dan membuka kemungkinan membawa
Nunun kembali ke Jakarta, mengapa strategi serupa tidak diterapkan kepada para
obligor BLBI, Anggoro Widjaya, para koruptor dan tersangka pelanggar hukum lain
yang diketahui melarikan diri keluar negeri? Jangan salahkan anggapan rakyat
tentang adanya praktik tebang pilih, jika strategi Cabut paspor RI hanya dialamatkan
kepada Nunun, tetapi tidak diberlakukan kepada begitu banyak buron lain
yang diketahui melarikan diri dari Indonesia.
Tidak mungkin
tebang pilih penegakan hukum dilakukan tanpa didasari kepentingan. Justru
karena penegak hukum dan penguasa terperangkap dalam konflik kepentingan,
penegakan hukum akhirnya dilaksanakan berdasarkan selera.
Terpeliharanya
konflik kepentingan dalam penegakan hukum itu pada gilirannya
menumbuhkembangkan praktik dan jasa mafia hukum dalam sistem hukum kita. Kalau
sudah begitu, kepastian hukum masih sebatas angan-angan atau harapan saja.
Kapan terwujudnya, tak ada yang tahu. Mari kita tanya pada rumput yang
bergoyang.
Pada akhirnya,
apa yang dikatakan Jimly Asshiddiqie benar; bahwasanya 13 tahun proses
reformasi kita belum membuahkan hasil signifikan di bidang penegakan hukum.
Tertangkapnya Hakim Sjarifuddin Umar menjadi tambahan bukti baru tentang
kegagalan kita di bidang penegakan hukum.
Oleh: Bambang
Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
0 Response to "Penegakan Hukum Gaya "Campur Sari""
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!