Makna Al-Kitab Menurut para Sufi
“Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan
padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2).
Al-kitab dalam perspektif fukaha dan teolog seringkali diidentikkan dengan
Alquran, yakni Kitab Suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
Malaikat Jibril dan mendapatkan pahala bagi yang membacanya. Namun, para sufi
lebih banyak mengartikannya lebih luas, meliputi alam raya dan manusia.
Kalangan sufi berpendapat, sebanyak 260 kali kata ‘kitab’ berulang
penyebutannya di dalam Alquran, baik dalam bentuk mufrad maupun jamak.
Al-kitab, menurut mereka, meliputi tiga bentuk, yaitu makrokosmos, mikrokosmos,
dan wahyu yang dibukukan. Al-kitab dalam bentuk makrokosmos dipersepsikan
sebagai bagian dari Kitabullah.
Banyak sekali jumlah ayat yang dirujuk untuk menguatkan pendapat tersebut,
antara lain, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat:
53).
Surah lainnya menyebutkan, “Dalam silih berganti malam dan siang (dalam)
segala yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, ada tanda-tanda
(kebesaran-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa (kepada-Nya).” (QS. Yunus:
6). Kata perintah untuk membaca dalam surah Al-Alaq ayat 1 dianggap bukan
perintah membaca kitab Alquran.
Sebab, ketika itu Alquran belum diturunkan. Perintah itu lebih mengarah pada
perintah untuk membaca alam raya makrokosmos, sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat-ayat di atas. Keyakinan ini diperkuat kenyataan bahwa Nabi Muhammad ketika
itu masih buta huruf, tidak mampu membaca dan menulis.
Wajar kalau Rasulullah ketika itu bingung mau membaca apa karena ia juga tidak
bisa membaca dan menulis, sehingga dalam riwayat dikatakan tiga kali beliau
menyatakan, “Aku tidak bisa membaca.”
Lalu, pada akhirnya Rasulullah sadar, yang harus dibaca sebenarnya bukan kitab
berisi kumpulan tulisan, melainkan fenomena alam.
Demikian pula kata dzalika al-kitab dalam Al-Baqarah ayat 2, dianggap
bukan kitab Alquran yang ada di hadapan kita karena kata penunjuk yang
digunakan bukan hadza, yang menunjukkan sesuatu yang ada di hadapan kita,
melainkan menggunakan kata dzalika yang biasanya digunakan untuk menunjukkan
sesuatu yang lebih jauh.
Jadi, yang
dimaksud al-kitab dalam ayat “dzalika al-Kitab la raiba fihi hudan li
al-muttaqin” (Kitab itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka
yang bertakwa) bukanlah Alquran atau paling tidak bukan hanya Alquran tetapi
kitab lain, yang boleh jadi itu alam makrokosmos dan atau Lauh Al-Mahfudz.
Bentuk lain dari al-kitab ialah mikrokosmos, yaitu manusia itu sendiri. Manusia
disebut mikrokosmos (al-alam al-shagir), karena dalam diri manusia tersimpul
semua unsur makrokosmos sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel terdahulu.
Manusia ibarat lembaran-lembaran buku yang menyimpan gudang rahasia yang amat
penting.
Itulah sebabnya salah satu hadis yang amat populer dikalangan sufi menyatakan,“Man
arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu”, atau barang siapa telah memahami dirinya,
ia telah memahami Tuhannya. Manusia sebagai makhluk mikrokosmos bukan saja
merupakan pemadatan makrokosmos.
Tetapi, menurut menurut Ibnu Arabi, manusia juga merupakan salinan segala
sesuatu yang dijumpai di dalam hadirat Ilahi. Dikatakan demikian, karena
manusia diciptakan berdasarkan bentuk Allah dan lokus untuk merefleksikan
diri-Nya, sebagaimana hadis yang sering dikutip para sufi, “Manusia
diciptakan atas dasar citra Dzat Yang Maha Benar.”
Banyak dijumpai ayat-ayat dalam Alquran yang menunjuk manusia sebagai ayat,
kalimat, atau kitab yang perlu dibaca sebagaimana halnya kitab-kitab dalam arti
buku. Seperti, “(Ingatlah), ketika malaikat berkata, ‘Hai Maryam,
sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kalimat (yang datang)
daripada-Nya, namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan
di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)’.” (QS.
Ali Imran: 45).
Juga dalam ayat lainnya, “Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas
dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.
Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam, adalah utusan Allah dan kalimat-Nya
yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan roh dari-Nya.” (QS. An-Nisa: 171).
Perhatikan kedua ayat di atas. Isa digambarkan sebagai kalimat, ibaratnya buku
yang harus dibaca. Tidak heran kalau perkataan, perbuatan, dan pengakuannya
direkam lalu dikompilasi, jadilah Kitab Perjanjian Lama. Jadi, Kitab Perjanjian
Lama mirip hadis yang dikenal sebagai kumpulan perkataan, perbuatan, dan takrir
Nabi Muhammad SAW.
Sumber: www.republika.co.id
0 Response to "Makna Al-Kitab Menurut para Sufi"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!