Qardhawi: Menyikapi Bid'ah di Hari Jumat
Sesungguhnya
bid’ah-bid’ah yang diada-adakan manusia pada hari Jumat itu pada asalnya adalah
ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hal ini tidak diperselisihkan lagi, dan semua itu menjadi "bid'ah"
hanyalah karena diletakkan tidak pada posisinya, baik waktu, tempat, atau
lainnya.
Misalnya, pertama membaca Alquran dengan menggunakan pengeras suara, dengan
suara yang amat keras. Membaca Alquran termasuk syiar Jumat. Tetapi mengeraskan
suara ketika membaca Alquran di masjid tidak diperbolehkan karena dapat
menimbulkan gangguan.
Kedua, memberi nasihat dan bimbingan sebelum khutbah, karena yang demikian itu
tidak disyariatkan pada waktu itu, karena waktu itu adalah waktu untuk
melakukan shalat nafilah, membaca Alquran, berdzikir, dan bershalawat atas Nabi
SAW.
Para salaf yang saleh juga tidak pernah melakukannya, padahal terdapat alasan
untuk melakukannya. Namun, mereka lebih mengerti keadaan dan lebih tahu
menempatkan perkataan. Maka tidak ada sikap lain bagi kita melainkan meneladani
mereka dan mengikuti jejak mereka mengenai apa yang mereka kerjakan dan mereka
tinggalkan.
Ketiga, bermacam-macam bid’ah yang diadakan orang pada hari Jumat, di antaranya
ada yang terdapat di masjid-masjid masyarakat secara umum, ada yang terdapat di
masjid besar, ada yang terdapat di masjid yang satu tetapi tidak terdapat di
masjid lainnya. Alhasil, tidak ada satu pun masjid yang selamat dari bid’ah.
Keempat, adapun bid’ah baru yang dikaitkan dengan bid’ah-bid'ah ini ialah
bid’ah yang hanya ada di Aljazair, yaitu di Ibukotanya, Al-Baidha, tempat
bid'ah ini dilahirkan.
Saya kira, orang yang mau mengubur bid'ah ini tidak akan ditanya karena dosa
apa ia dibunuh, bahkan sebaliknya ia akan mendapatkan pahala pada hari ketika
masing-masing jiwa dibalas usahanya, dan merasa gembira pada hari ketika ada
wajah-wajah yang putih dan ada wajah-wajah yang hitam.
Bid’ah tersebut adalah khutbah ketiga yang berupa pesan-pesan setebal dua
halaman dari sebuah buku besar. Hal ini terjadi di Masjid Abdul Hamid bin Badis
di kawasan Aljazair tengah, pada awal September 1989 M. Pesan-pesan yang saya
namakan dengan khutbah ketiga ini diumumkan setelah juru nasihat selesai menyampaikan
pelajaran.
Ketika itu, salah seorang dari mereka mengambil mikrofon dan menghadap kepada
orang-orang yang shalat (jamaah) sambil berkata, "Wahai kaum mukmin,
janganlah bubar setelah selesai menunaikan shalat, dan tetaplah di tempat
kalian, karena pesan-pesan akan disampaikan kepada anda!”
Maka pesan-pesan itu pun disampaikan. Pesan-pesan ini, meskipun berharga,
tetapi bukan pada tempatnya. Hal itu seharusnya dilakukan: di luar waktu
tersebut, meski tetap pada hari Jumat; lazimnya disampaikan melalui surat
kabar, majalah, dan balai-balai pertemuan; diserahkan kepada pihak yang
berkompeten, yaitu Ahlul Halli wa Al-Aqdi seperti Departemen Pendidikan dan
Pengajaran. Atau misalnya diserahkan kepada suatu tim yang terdiri dari
orang-orang tertentu.
Saya benar-benar mendukung adanya pesan-pesan itu, tetapi demi memelihara
praktik-praktik salaf yang saleh, terus terang saya menentang cara penyampaian
mereka.
Di samping itu, orang yang mau mengkaji ulang Surah Al-Jumu'ah, niscaya ia akan
menjumpai salah satu ayatnya yang memberikan tuntunan kepada para jamaah untuk
langsung bubar setelah selesai menunaikan shalat Jumat, dan tidak usah tinggal
di masjid walaupun untuk melakukan shalat nafilah. Maka barangsiapa yang hendak
melakukan shalat rawatib, hendaklah ia lakukan di rumah.
Sumber: republika.co.id
0 Response to "Qardhawi: Menyikapi Bid'ah di Hari Jumat"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!