Menyoal Status Negara
Judul
Buku : Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia
Penulis :
Abdul Aziz Hakim
Penerbit
: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan :
Pertama, 2011
Tebal :
xii + 284 halaman
Peresensi
: Supriyadi*)
Sebenarnya,
mau disebut negara apakah Indonesia ini? Negara hukum yang menerapkan demokrasi
atau negara bar-bar yang kejam? Secara tertulis dan formal, Indonesia adalah
sebuah negara republik yang berlandaskan hukum serta mencoba mengaplikasikan
demokrasi sebagai sistemnya. Dengan kata lain, Indonesia adalah negara hukum
yang demokratis. Jika demikian, muncul lagi pertanyaan; benarkan Indonesia itu
negara yang demikian?
Pertanyaan
tersebut terlontar karena kebimbangan penanya akan status Indonesia saat ini.
Secara tertulis dan formal, Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum adalah
negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi rakyatnya. Maksudnya adalah
segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa,
semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum (hlm. 8).
Meski
Indonesia adalah negara hukum, dalam praktik politik dan kepemerintahan di
Indonesia masih mempraktikkan bar-barisme. Hukum di Indonesia belum bisa tegak
sebagaimana mestinya. Hukum dikendalikan oleh yang berkuasa dan yang bermodal.
Sementara rakyat kecil terus tertindas oleh hukum “bar-bar”. Telah banyak
contoh yang membuktikan bahwa hukum di Indonesia ini memihak kepada yang
bermodal. Sementara koruptor “kelas kakap” bebas jalan-jalan ke Singapura. Di
satu sisi, rakyat kecil yang tidak bersalah harus digusur rumahnya, dipenjara,
bahkan dibunuh secara misterius.
Secara
tertulis dan formal, Indonesia juga negara demokrasi. Demokrasi adalah pola
pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam
keputusan yang diambil oleh mereka yang diberi wewenang. Legitimasi pemerintah
adalah kemauan rakyat yang memilih dan mengontrolnya. Rakyat memilih
wakil-wakilnya dengan bebas dan melalui mereka ini pemerintahannya. Di samping
itu, dalam negara dengan penduduk jutaan, para warga negara mengambil bagian
juga dalam pemerintahan melalui persetujuan dan kritik yang dapat diutarakan
dengan bebas, khususnya dalam media massa (hlm. 174)
Namun
demikian, dalam praktiknya politik dimanipulasi oleh para elit untuk
kepentingan pribadi dan golongan. Pemerintahan tidak mengutamakan kinerja,
tetapi hanya bagi-bagi “kue keuasaan”. Bahkan hingga media massa pun bisa
dikuasai oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Sementara banyak aspirasi dan
suara rakyat yang dibungkam.
Sikap
represif juga masih menjadi andalan bagi pemerintah yang mengaku demokratis.
Dengan demikian, status negara Indonesia memang tidak sesuai antara konsep dan
aplikasinya. Negara hukum dan demokrasi di Indonesia hanya menjadi bahan
tertulis yang dipajang di setiap pelajaran siswa sekolah menengah. Tidak hanya
itu, status sebagai negara hukum dan demokrasi hanya menjadi topeng belaka tanpa
adanya realisasi. Abdul Aziz Hakim dalam bukunya yang berjudul “Negara Hukum
dan Demokrasi Di Indonesia” menguraikan konsep-konsep negara hukum dan
demokrasi. Di tengah karut-marutnya kondisi hukum dan demokrasi di Indonesia
saat ini, rakyat sering kali disuguhi dengan berbagai kasus yang
merepresentasikan krisis moral para elit sehingga rakyat pun mengalami krisis
kepercayaan.
Bangunan
negara hukum di Indonesia masih belum tegak karena tiangnya masih labil dan
atapnya masih bocor sehingga menyusahkan banyak orang yang tidak ternaungi.
Jeffrey A Winters pun menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara demokrasi tanpa
hukum. Jangankan demokrasi bisa ditegakkan, tiang-tiang utama hukum saja masih
rapuh. Bangunan negara hukum yang kokoh dan estetik menuntut beberapa tiang
yang harus dipasang. Menurut Artidjo Al Kostar, ada lima tiang yang harus
ditegakkan dalam membangun negara hukum. Pertama, adanya tiang sistem
penegakkan hukum yang berkerangka melindungi martabat kemanusiaan bagi segenap
rakyat Indonesia. Kedua, konsekuensi yuridis dari pilihan nilai mendahulukan
hak dasar rakyat maka hukum protektif harus tertuang dalam berbagai perangkat,
antara lain dalam aturan hukum distribusi ekonomi, peradilan pidana, lingkungan
hidup, perdagangan, pertanahan, dan hak-hak strategis lainnya.
Ketiga,
bangunan negara hukum yang standar perlu kepelaporan pemimpin negara dalam
menaati dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Kesediaan pemimpin negara untuk
dituntut di hadapan hukum merupakan tiang utama kedaulatan hukum negara.
Keempat, negara hukum memerlukan tiang kehadiran masyarakat madani yang kuat.
Dan kelima, negara hukum memerlukan tiang independensi peradilan.
Negara
hukum tidak instant, tetapi haruslah dibangun. Negara hukum adalah konsep
modern yang tidak tumbuh dalam masyarakat Indonesia sendiri. Proses menjadi
negara hukum bukan menjadi sejarah sosial-politik bangsa ini. Negara hukum
ialah bangunan yang dipaksakan dari luar (hlm. 7).
Begitu
pula dengan konsep demokrasi yang diyakini menjadi sistem yang baik yang bisa
memperkuat negara secara ekonomi, militer, maupun politik. Konsep dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat tidak boleh dikesampingkan oleh kepentingan
pribadi dan kelompok. Kedaulatan rakyat menjadi harga mati dalam negara
demokrasi.
Akhirnya,
dengan membaca buku yang berjudul “Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia”,
para pembaca diajak untuk berpikir kritis menyoroti status negara Indonesia dan
mengejawantahkan; apakah benar Indonesia itu telah menepati statusnya sebagai
negara hukum dan demokrasi. Jika memang benar Indonesia itu adalah negara
hukum, tentunya prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia benar-benar
nyata. Sementara jika memang benar Indonesia ini adalah negara yang
mengaplikasikan demokrasi, seberapa banyak porsi rakyat beraksi dan mendapatkan
hasil dari aksi tersebut.
*)
Peresensi adalah pengamat sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta
0 Response to "Menyoal Status Negara"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!