Indonesia Dalam Krisis Kepatuhan Hukum
Indonesia Dalam Krisis Kepatuhan Hukum
Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan
kesadaran hukum dan diwujudkan dalam bentuk prilaku sebagai cermin kepatuhan
hukum di dalam masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu
tradisi prilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak
undang-undang atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua
subyek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum
masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya
sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam
hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul
dari resiko hidup bersama.
Namun kalau dilihat secara materiil, yang di
dalam hukum pembuktian pidana selalu berpegang pada kebenaran yang senyatanya
terjadi yang dalam hal ini disebut dengan kebenaran materiil, ternyata sungguh
sulit membangun budaya hukum materiil di negeri ini, hal ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum
di negeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum
merupakan bentuk prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara
instinktif, maupun secara rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan
penghormatan terhadap hukum yang berlaku.
Pakar Sosiologi Hukum Prof.DR. Satjipto
Raharjo, dalam bukunya “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Penerbit
Kompas, 2003”, secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak
bersalah, sekalipun putusan judex factie ( PN dan PT) telah menyatakan yang
bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di
negeri ini”. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan
kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam mengenai
perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam
budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan.
Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita
sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita
tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan
hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah
sebenarnya kepatuhan hukum itu ?.
Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan
hukum yang melahirkan bentuk “kesetiaan” masyarakat terhadap nilai-nilai hukum
yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang
senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan
dirasakan oleh sesama anggota masyarakat.
Perlu Penulis tegaskan lagi, bahwa kepatuhan
hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat
terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main (rule of the game) sebagai
konsekuensi hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk
prilaku yang senyatanya patuh pada hukum ( antara das sein dengan das sollen
dalam fakta adalah sama).
Secara a contra-rio jika di dalam masyarakat
banyak kita dapatkan bahwa masyarakat tidak patuh pada hukum hal ini
dikarenakan individu dan masyarakat dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan
dimana antara tuntutan kesetiaan yang satu bertentangan dengan tuntutan
kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada pilihan setia
terhadap hukum atau setia terhadap “kepentingan pribadinya”, setia dan patuh
pada atasan yang memerintahkan berperang dan membunuh atau setia kepada hati
nuraninya yang mengatakan bahwa membunuh itu tidak baik, atau yang lebih umum
seperti yang sering terjadi masyarakat tidak patuh pada aturan lalu-lintas,
perbuatan korupsi, perbuatan anarkisme dan main hakim sendiri (eigen rechting)
karena mereka lebih mendahulukan setia kepada kepentingan pribadinya atau
kelompoknya, dll.
Apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih
berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam
penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum
karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik,
penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini, kesetiaan
terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau
masyarakat kita tidak patuh pada hukum.
Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan
lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah
mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai
faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat
dirasakan jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontiniu menegakkan
hukum tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum
tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada
kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan
hukum.
Namun jika hukum diberlakukan secara
diskriminatif, penuh rekayasa politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai
sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat
akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau
kekerasan fisik (eigen rechting). Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia
telah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi
tujuannya, dan buadaya prilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan
secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang
berduit, dan berkuasa. Quo Vadis Penegakan Hukum Indonesia…?? (sept-2011)
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.
Sumber: http://www.kantorhukum-lhs.com/1.php?id=indonesia-dalam-krisis-kepatuhan-hukum
0 Response to "Indonesia Dalam Krisis Kepatuhan Hukum"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!