Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia (1/2)
Oleh: Yusril Ihza
Mahendra
Bismillah
ar-Rahman ar-Rahim,
Pertama-tama
saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk ikut berpartisipasi dalam seminar tentang Hukum Islam di Asia
Tenggara yang diselenggarakan mulai hari ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa
saya adalah ahli di bidang Hukum Islam, mengingat fokus kajian akademis saya
adalah hukum tatanegara. Namun mengingat topik seminar ini adalah transformasi
syariat Islam ke dalam hukum nasional, maka titik singgungnya dengan hukum tata
negara, sejarah hukum, sosiologi hukum dan filsafat hukum kiranya jelas
keterkaitannya. Bidang-bidang terakhir ini juga menjadi minat kajian akademis
saya selama ini. Sebab itulah, saya memberanikan diri untuk ikut berpartisipasi
dalam seminar ini, dengan harapan, sayapun akan dapat belajar dari para
pemakalah yang lain dan para peserta seminar ini. Saya bukan pura-pura tawaddhu’,
karena saya yakin sayapun dapat berguru menimba ilmu dengan mereka.
Akar Historis
dan Sosiologis Hukum Islam
Sepanjang
telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa
sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu,
dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui
majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti
tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya
adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai
masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa,
yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul
Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz
Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.
Ajaran Islam,
sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum,
yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri,
yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik
sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia
ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya,
yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar
kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas
umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan
masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam
memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam
kehidupan masyarakat itu.
Jika kita
melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa
lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya,
nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga
dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat
menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata
hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di
Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga
di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua
kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi
hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau
kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam setidak-tidaknya di bidang hukum
keluarga dan hukum perdata sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya.
Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa
pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan
hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat
sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat
kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di
daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui
dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan
Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari
berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya
masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni
orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang
tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.
Berbagai suku
yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa
kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama
mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi
lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun
mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran
Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di
antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya
masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang
beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam
suatu komunitas yang baru.
Pada awal abad
ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat
di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari
bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan
telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium
Freijer yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer
itu yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab,
diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya
menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil
dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek
yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa
itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu
menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.
Di pulau Jawa,
masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui
pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian
pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat
struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi
Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur
birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi
koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam
menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang
keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan
antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan
hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam
diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum
Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai
harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua
pendukung hukum itu.
Fenomena
benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan
Minangkabau. Benturan ituterjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun
proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama
kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka.
Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan
hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat
pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian
empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai
menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk
pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.
Hasil telaah
akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika
Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu
daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan
kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera
kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum
Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda
lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan
Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan
bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum
Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing terutama
Cina dan India sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat
suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang
dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum Islam,
tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima
oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum
Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori
iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan
ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari.
Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat
itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa
hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka
tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di
negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati
dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada
tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya
ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD
1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam
sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan
bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di
dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan
mayoritas.
Patut kita
menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945
itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia
Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan
Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang
mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung
berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda.
Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan
pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir
negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.
Setelah kita
merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara
untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan
hukum negara yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya
berbagai kekuatan politik di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga
negara, serta struktur pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang
tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat. Namun kita harus mengakui
pembangunan hukum di bidang hukum pidana dan perdata, termasuk hukum ekonomi
berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan
proses pembangunan norma-norma hukum di bidang iniberjalan relatif cepat untuk
mendukung pembangunan ekonomi kita.
Keadaan ini
berjalan lebih cepat lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945
telah diamandeman, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan
Presiden dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak
lagi norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH
Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai
peraturan perundang-undangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang
hukum dagang dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi.
Namun Wetboek van Sraftrechts atau KUH Pidana masih tetap berlaku. Tetapi
berbagai norma hukum baru yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus telah
dilahirkan, sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan
upaya untuk memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU
Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum
Setelah kita
merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang
RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan
perundang-undangan kita. Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan
ketetapan, maka semua undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang
dasar.Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materil terhadap
undang-undang dasar. Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di
dalam undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam
undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan
tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.
Dilihat dari
sudut teori ilmu hukum, undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya
undang-undang dasar itu adalah sumber dalam kita menggali hukum dalam
merumuskan kaidah-kaidah hukum positif, dalam hal ini undang-undang. Sudah
barangtentu undang-undang dasar semata, tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai
sumber hukum dalam merumuskan norma hukukm positif, mengingat sifat terbatas
dari pengaturan di dalam undang-undang dasar itu sendiri. Undang-undang dasar
adalah hukum dasar yang tertulis, yang pada umumnya memuat aturan-aturan dasar
dalam penyelenggaran negara, kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk jaminan
hak-hak asasi manusia dan hak asasi warganegara. Di samping undang-undang dasar
terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yakni berbagai konvensi yang tumbuh
dan terpelihara di dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan
kaidah-kaidah hukum positif di bidang hukum tatanegara dan administrasi negara
khususnya, bukan hanya hukum dasar yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi
juga hukum dasar yang tidak tertulis itu.
Dalam
merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para perumus kaidah-kaidah
hukum positif harus pula merujuk pada faktor-faktor filosofis bernegara kita,
jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran
hukum masyarakat, dan kaidah-kaidah hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Sebab itulah, dalam merumuskan kaidah hukum postif,kita
tidak boleh bertindak sembarangan, oleh karena jika kaidah-kaidah yang kita
rumuskan itu bertentangan dengan apa yang saya sebutkan ini, maka kaidah hukum
yang kita rumuskan itu sukar untuk dilaksanakan di dalam praktik. Unsur-unsur
filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan
bangsa kita, dapat kita simak di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945. Tentu kita dapat menguraikan dan menafsirkan rumusan-rumusan itu
dari sudut filsafat hukum, walau tentu di kalangan para ahli akan terdapat
perbedaan-perbedaan penekanan dan pandangan.
Sumber: http://yusril.ihzamahendra.com/
0 Response to "Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia (1/2)"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!