Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia (2/2)
Yusril Ihza Mahendra |
Oleh: Yusril Ihza
Mahendra
Syariat, Fikih
dan Qanun
Dari
uraian-uraian di atas, timbullan pertanyaan, di manakah letak atau posisi hukum
Islam yang saya maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum menguraikan
lebihlanjut jawaban atas pertanyaan ini, saya harus menguraikan lebih dulu,
apakah yang dimaksud dengan “hukum Islam” itu dalam perspektif teoritis ilmu
hukum.Kalau kita membicarakan hukum Islam,kita harus membedakannya antara syariat
Islam, fikih Islam dan qanun. Mengenai syariat Islam itu sendiri, ada perbedaan
pandangan di kalangan para ahli. Ibnu Taymiyyah misalnya berpendapat bahwa
keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadith itu
adalah syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu hukum pengertian yang
sangat luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak membantu.
Ada baiknya
jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat al-Qur’an dan
hadith-hadith yang secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di dalamnya. Kita
juga harus membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma
fundamental, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan
pembatasan seperti ini, maka dengan merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab
al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu baik di bidang peribadatan maupun di bidang
mu’amalah tidaklah banyak jumlahnya. Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat
al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang
mu’amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat
al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih
bersifat umum. Dengan demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung,
apalagi harus dianggap sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di
sebuah negara. Bidang hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum
sesungguhnya hanya terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Bidang-bidang
hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan asas-asasnya saja.
Khsus dibidang pidana, ada dirmuskan berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis
sanksinya, yang dikategorikan sebagai hudud dan ta’zir. Kalau kita menelaah
hadith-hadith Rasulullah, secara umum kitapun dapat mengatakan bahwa
hadith-hadith hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Dalam sejarah
perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith syar’ah telah mengalami
pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah yang melahirkan
fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan para
ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula
dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma
syar’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan
atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam,
yang dikenal dengan istilah Qanun itu.
Pembahasan
dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di bidang hukum yang amat
luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas filsafat hukum untuk memahami
pesan-pesan tersirat al-Qur’an dan hadith, maupun di dalam merumuskan asas-asas
dan tujuan dirumuskannnya suatu kaidah. Fikih Islam telah melahirkan
aliran-aliran atau mazhab-mazhab hukum, yang mencerminkan landasan berpikir,
perkembangan sosial masyarakat di suatu zaman, dan kondisi politik yang sedang
berlaku. Fikih Islam juga mengadopsi adat kebiasaan yang berlaku di suatu
daerah. Para fuqaha kadang-kadang juga mengadopsi hukum Romawi. Menelaah fikih
Islam dengan seksama akan mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa
dinamisnya para ilmuwan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Walau,
tentunya ada zaman keemasan, ada pula zaman kemunduran.
Patut kita
sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya, dan
kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung abad ke 13, ketika
pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah mengalami
kemunduran. Ulama-ulama kita di zaman itu nampaknya belum dibekali kemampuan
intelektual yang canggih untuk membahas fikih Islam dalam konetks masyarakat
Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih yang ditulis pada umumnya adalah
ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam, dan ketika
mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya intelektual merumuskan
Qanun tetap berjalan. Di Melaka, misalnya mereka menyusun Qanun Laut Kesultanan
Melaka. Isinya menurut hemat saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya,
mengingat Melaka adalah negara yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang
sangat strategis itu. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun
serupa di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan
Bima.
Keberlakuan
Hukum Islam
Dengan
uaraian-uraian di atas itu, saya ingin mengatakan bahwa hukum Islam di Indonesia,
sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya
ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam
itu?Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis
hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif,
seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana
hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan
sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib
fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat
mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah
mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat
diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang
dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum
peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara
untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
Ambillah contoh
di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan kepada
buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum’at misalnya. Begitu juga di
bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya.
Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus
memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula
dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan
dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam
sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan
undang-undang dasar negara merdeka.
Adapun hal-hal
yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan,
negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk,
sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan
kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama
dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum
kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh
undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas
menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya
masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan
bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum
yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium
Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam,
walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Setahun yang
lalu, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum
Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan
kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi
hukum positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan
dari Peradilan Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya
berlaku khusus bagi warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela
menundukkan diri kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan
Undang-Undang tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum
Islamke dalam hukum positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum
bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum
Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.
Syariat sebagai
Sumber Hukum
Suatu hal yang
agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islamdalam kaitannya dengan hukum
positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya.
Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud
dan ta’zir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan
hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya merumuskan
delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan
kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya,
karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada
perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan
maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk
pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita
melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung
kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan
Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.
Sudah
barangtentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur
prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi
jika ingin transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materil.
Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis
pembunuhan, antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan salah
sasaran,pembunuhan karena kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu
serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa
ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat
dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk
melaksanakannya.
Problema lain
yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana
hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah
tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima
oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun
pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara
tegas disebutkan di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam
sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi
huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan
masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat
Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syar’iat
yang tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk
ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan
di dalam praktik. Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi
masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam makalah ini.
Pada waktu tim
yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas
untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus
nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber
hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional.
Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik pidana adat seperti orang yang secara terbuka menyatakan
dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP
warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula rumusan
pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak
dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai
hubungan seksual di luar nikah.
Sementara KUHP
warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja
Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah,
tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat
perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda,
hubungan seksual di luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan misalnya
pasangan kumpul kebo bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini
nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka
mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil
jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara.
Dari uraian
saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam,
hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat
Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka
dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah
dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada
pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum
agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum
perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula
mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya
sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang
syariat Islam itu sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau
asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan
kaidah-kaidah hukum nasional.
Di negara kita,
bukan saja hukum Islam dalam pengertian syariat yang dijadikan sebagai
sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan
dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan
berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum
positif kita. Ketika hukum poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu
adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa
pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum
nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum
positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada
mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga
dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang
mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria,
terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah
hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang
mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.
Di manapun di
dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam
merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi
India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa
yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa
studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan
Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang
mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya
di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu
adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat
merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran
hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika
sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan
kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
Demikianlah
uraian saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Akhirnya hanya kepada Allah
jua, saya mengembalikan segala persoalan.
Wallahu’alam
bissawwab
Sumber: http://yusril.ihzamahendra.com/
0 Response to "Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia (2/2)"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!