Menandingi Budaya Korupsi


Menandingi Budaya Korupsi
Ketika seorang guru besar akademik Prof. Dr.-Ing. Ir. Rudi Rubiandini (kepala SKK Migas), dan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Dr. H. M. Akil Mochhtar, SH., MH. ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap, serta banyak para politisi, menteri, polisi, jaksa, hakim, pengacara, birokrat, teknokrat, kepala daerah, dan bahkan pengusaha yang menjadi tersangka kasus korupsi. Fakta ini menjadi pembenar bahwa korupsi telah menjadi budaya masyarakat kita.


Dalam kajian antropologi yang disebut sebagai kebudayaan adalah sesuatu yang ada dan terbiasa dalam masyarakat. Seperti konsep kebudayaan Emile Durkheim (1858-1917) bahwa kebudayaan merupakan kesamaan pola pikir, gagasan, dan perilaku (representasi kolektif) dari individu-individu dalam masyarakat. Sesuatu yang dianggap tabu, profan, jahat, dosa, buruk, dan salah bagi suatu kelompok, tetapi menjadi suatu hal yang biasa dilakukan oleh kelompok lain, itulah kebudayaan bagi kelompok tersebut. Seperti budaya korupsi, semua orang sepakat bahwa korupsi adalah sebuah kejahatan, perbuatan buruk, melanggar hukum, dan sebuah dosa besar, tetapi mengapa korupsi masih begitu marak terjadi di masyarakat kita, bahkan dilakukan oleh orang-orang yang ‘terlihat’ pintar, bermoral, dan ‘beragama’.
Perilaku suap-menyuap memang sudah ada sejak lama di masyarakat kita. Bagi masyarakat di zaman penjajahan sampai zaman orde baru, suap-menyuap bukanlah sesuatu yang aneh, karena sudah menjadi pemandangan biasa dan diterima dalam masyarakat. Sudah menjadi pola pikir masyarakat bahwa kita tidak akan bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), mendapatkan jabatan tertentu, naik jabatan, memenangkan perkara di pengadilan, mendapatkan proyek di pemerintahan jika kita tidak menyuap pejabat terkait. Bahkan presiden, anggota dewan, gubernur, bupati, walikota, hingga kepala desa tidak akan terpilih tanpa memberikan ‘suap’ kepada rakyat, dan rakyat pun senang disuap.

Saya tercengang melihat budaya masyarakat kita, khususnya di tempat saya lahir dan dibesarkan (maaf saya tidak menyebut lokasinya). Untuk menjadi Guru, PNS, ABRI, polisi, dan pegawai pemerintahan lainnya, harus mengeluarkan uang puluhan sampai ratusan juta untuk menyogok birokrasi, istilahnya uang pelicin. Siapa yang berani membayar lebih mahal dialah yang ‘berhasil’ mendapatkan pekerjaan bergengsi tersebut, dan masyarakat menganggapnya sebagai hal yang wajar, sebagai investasi untuk kehidupan yang lebih layak dan terhormat di masyarakat. 
Sangat sulit memberantas perilaku menyimpang yang telah menjadi budaya tersebut. Penegakan hukum sama sekali tidak terjadi, karena mereka memiliki pola pikir yang sama bahwa suap-menyuap seperti itu wajar terjadi di daerah saya, boleh jadi mereka menjadi aparat penegak hukum pun melalui ‘pelicin’. 

Pada level yang berbeda, kita masih ingat kasus korupsi berjamaah pemilihan Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Miranda Goeltom memberikan cek pelawat ratusan juta rupiah yang diterima sebagai hal yang wajar oleh sejumlah politisi senayan. Baik Miranda Goeltom, Rudi Rubiandini, dan Akil Mochtar sama-sama tidak terlihat ekspresi penyesalannya dan bahkan tidak mengaku bersalah ketika ditangkap KPK. Pertanyaanya, apakah kita akan terus membiarkan hal itu terjadi? Lalu bagaimana cara memberantas perilaku korupsi yang membumi ini?

Menurut hemat saya, yang harus kita lakukan yaitu menciptakan kebudayaan baru yang mampu menandingi budaya korupsi tersebut. Mengutip seorang ahli antropologi Ward H. Goodenough (1994) dalam tesisnya “Toward a Working Theory of Culture” menyatakan bahwa “a people’s culture as they understand it, consist of the agregate of different individual understanding of the expectations of others.... importantly, how this processes affect one onother”, bahwa kebudayaan itu lahir dari apa yang orang pahami tentang hal itu, artinya budaya korupsi lahir karena orang memahami bahwa korupsi adalah hal yang biasa. 

Dari artikel Goodenough tersebut, saya melihat bahwa harus ada orang-orang yang memiliki pemahaman sebaliknya, yang kemudian terkumpul menjadi kelompok dominan dalam masyarakat sebagai “a group’s language and culture” (kelompok budaya dan komunikasi), yang melakukan proses interaksi sosial dan psikologis secara terus-menerus sehingga mempengaruhi dan mengubah pemahaman masyarakat. Lambat laun kelompok lama akan berkurang karena sedikit demi sedikit individu dalam kelompok tersebut memiliki pemahaman yang sama dengan kelompok yang baru, sehingga budaya korupsi pun akan hilang. 

Oleh karena itu, kita harus siap menjadi agen budaya untuk mengajak orang-orang di lingkungan kerja, kantor, lembaga, departemen, dan rumah tangga kita untuk menjauhi tindakan korupsi. Jika hanya mengandalkan penegakan hukum, tidak akan merubah budaya korupsi dalam masyarakat, karena hanya sebagai penindak dari tindakan korupsi yang telah menjadi budaya. Untuk merubah budaya yang jelek harus ditandingi dengan budaya yang baik, sehingga budaya baik menjadi pemenang, dan menjadi representasi kolektif masyarakat kita. 

Mulyadin Permana
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Antropologi FISIP UI 
dan  aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) DKI Jakarta.


Sumber: http://news.okezone.com/read/2013/11/13/58/896074/menandingi-budaya-korupsi

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Menandingi Budaya Korupsi"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!